Gauri tetap memilih ke kantor, walau kondisi badan kurang baik karena tak tidur nyenyak.Baru bisa terlelap sebentar sejak pukul dua dini hari, itu pun karena lelah menangis.
Gauri sudah bangun sejak jam lima pagi oleh rasa mual yang menyerang perutnya cukup hebat, sampai ia harus muntah dua kali.
Sebelum-sebelumnya kerap mual, tapi tak separah tadi pagi. Kepala turut pening.
Kondisi yang seperti ini harusnya membuat ia berani tak masuk kerja dengan izin sakit, namun dipilih untuk tidak dilakukan.
Diam di rumah saja, mustahil bisa membuat penyelesaian masalah dengan Affandra.
Dirinya harus bertemu langsung, mengajak sang mantan suami untuk bicara empat mata tentang prakara yang belum tertuntaskan.
Memang tak akan mengungkapkan dengan jujur fakta kehamilan, setelah semalaman mempertimbangkan lagi ucapan Hemmy.
Semua spekulasi pria itu rasanya masuk akal untuk diterima, sehingga muncul ketakutan jika sampai harus ia dan calon bayinya alami.
Mengubur kenyataan tentang ayah kandung buah hatinya, tentu memupuskan harapan besarnya kembali rujuk dengan Affandra.
Kemarim sempat bertekad akan mengungkap kebenaran, namun niatan kembali hilang.
"Aku harus melihat, Pak Affa," tekad Gauri bulat untuk masuk ke ruangan kerja sang mantan suami. Setelah terus menimbang.
Gauri lekas bangun dari kursinya. Berjalan cepat menuju tempat tujuannya.
Pintu diketuk tiga. Baru kemudian, bagian knop diputar agar bisa dibuka. Tak terkunci.
Dengan niatan yang mantap, Gauri masuk ke dalam, walau belum ada izin dari Affandra.
Matanya langsung tertuju ke meja kerja sang mantan suami. Pria itu memang ada di sana.
Affandra tentu tahu kedatangannya karena ia sempat menangkap pria itu memandang ke arahnya, meski sangatlah sebentar.
Dengan keberanian besar, Gauri berjalan ke meja kerja sang mantan suami agar dapat lebih jelas melihat kondisi pria itu.
"Bapak kenapa belum pulang?" Gauri tanpa ragu melontarkan pertanyaan lebih dulu.
Dari peringai ditunjukkan Affandra, sangatlah tampak dingin dalam ekspresi yang datar.
Dan tak didapatkannya jawaban dari pria itu. Sang mantan suami tetap bekerja. Seakan dirinya tak ada dan tidak pernah bertanya.
Gauri pantang menyerah. Ia harus membuat Affandra bicara, walau beberapa patah kata.
"Bapak sudah makan? Apa mau saya pe–"
"Berhenti bicara."
Gauri cukup kaget dengan nada bicara sang mantan suami yang membentak. Intonasinya tinggi, sehingga ia menjadi diam seketika.
Netranya mulai berkaca-kaca oleh kesedihan.
Rasanya sakit hati menerima perlakuan yang kasar dari Affandra lagi, setelah kemarin.
Kapan kemarahan pria itu akan mereda?"
"Pak Affa …,"
"Saya ingin minta maaf untuk keja–"
"Saya tidak ingin diganggu."
Pengusiran yang sangat jelas untuknya. Dan tak akan bisa diutarakan maksudnya.
"Baik, saya akan pergi, Pak Affa."
Air mata merembes semakin banyak keluar dari netranya. Sungguh, ia menjadi sosok lemah dan terlalu cengeng sekarang.
Perasaan terus bergolak sakit.
Gauri berjalan cepat meninggalkan meja kerja sang mantan suami. Ia ingin pergi sejauh mungkin karena Affandra memintanya.
Namun, saat beberapa meter lagi mencapai pintu, Gauri merasakan pergerakan yang lumayan kencang di dalam perutnya.
Spontan, ia melorotkan diri ke lantai. Tentu dengan gerakan hati-hati agar tidak sampai membuat kandungannya dalam bahaya.
Kewaspadaan meningkat. Takut-takut jika akan ada serangan rasa sakit susulan yang menghantam perutnya lebih parah.
"Ada apa, Gauri?"
Full versi part ini ada di karyakarsa. Link di bio.
Bisa dibeli juga dalam bentuk pdf, pemesanan via WA 081717254225. Only 40k untuk full versi cerita (50 bab) + 10 ekstra part.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pewaris Untuk Mantan Suami
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Pasca bercerai dari Affandra Weltz, Gauri Chandrata mendapati dirinya mengandung bayi sang mantan suami. Tak akan mudah melewati kehamilan hanya seorang diri, namun ia sudah bertekad untuk melahirka...