Hari ini, Gauri kembali ditugaskan hanya di kantor, tak ikut dalam agenda kerja Affandra di luar, sebagaimana tugas sekretaris.Karena sudah dititahkan, maka dirinya harus menurut. Walau merasa tak cukup nyaman akan aturan yang diberlakukan Affandra.
Tidak akan bisa dilawan pula agar hubungan mereka yang merenggang karena berdebat semalam, tak tambah memburuk lagi.
Gauri menghargai sikap yang protektif sang mantan suami. Tapi, rasanya akan berlebihan saat Affandra meminta salah satu ajudan terus mendampinginya di kantor.
Bukan tak tahu terima kasih atau menghargai usaha Affandra, hanya saja dirinya merasa tak pantas menikmati fasilitas seperti ini.
Sebelum Affandra tahu kehamilannya, ia pun masih bisa menjaga diri dengan calon bayi mereka baik, tak ada penjagaan ketat.
Namun untuk penjagaan ajudan hari ini, tidak mungkin bisa dibatalkan. Jadi, akan tetap dibiarkan sampai jam kerjanya usai.
"Ibu Aida, selamat sore."
Gauri memasang telinga dengan baik selama bekerja. Tak mungkin sampai salah dalam menangkap sapaan dari ajudan Affandra.
Gauri lekas memindahkan pandangan dari layar komputer ke asal suara. Tetap ingin ia pastikan ibu Affandra yang dimaksud tadi.
Hitungan beberapa detik saja, sosok Ibu Aida sudah masuk dalam objek kedua matanya.
Ternyata benar mantan mertuanya datang.
Detakan jantung langsung mengeras, ketika wanita berusia enam puluh tiga tahun itu kian mendekat ke arah meja kerjanya.
"Selamat sore, Ibu Aida," ujar Gauri penuh hormat. Kepala sedikit ditundukkan.
Kedua tangan memegang perut. Rasa takut mulai mengguncang, dengan satu demi satu pikiran negatif muncul di kepalanya juga.
"Bisa tolong ikut saya ke ruangan Affa?"
Gauri lekas langsung menerima perintah. Ia berjalan pelan mengikuti mantan mertuanya.
Sampai di tempat dituju pun hanya hitungan detik karena terletak tak sampai lima meter dari meja kerjanya.
Gauri spontan berhenti melangkah, ketika Ibu Aida yang sudah tak lanjut berjalan.
Refleks pula mundur dua kaki, kala mantan ibu mertuanya membalikkan badan.
"Mendekatlah, Gauri."
Tanpa bertanya dulu, dituruti permintaan Ibu Aida. Tak ada keraguan memangkaskan jarak di antara mereka, sesuai perintah diberikan.
Sedetik selepas berdiri di depan mantan ibu mertuanya, Gauri mengulurkan tangan guna menerima beberapa tas belanja diserahkan.
"Saya beli waktu saya di Berlin. Ini untuk bayi laki-laki. Apa jenis kelamin anakmu?"
"Laki-laki, Bu Aida."
"Laki-laki? Sesuai harapan saya."
Jarak pemisah di antaranya dan sang mantan ibu mertua yang tak sampai sejengkal, dapat membuat Ibu Aida bisa meraih perutnya.
Hanya dipegang amat sebentar, namun bisa memberikan efek rasa kejut yang sebabkan sekujur tubuhnya kaku seketika berdiri.
"Jagalah cucu saya dengan baik."
Gauri juga merinding akan pesan mantan mertuanya dalam nada yang lembut dan juga keibuan. Belum pernah didengar selama ini.
Tatapan Ibu Aida juga semakin teduh.
Bahkan, sejak pertama kali berkontak mata beberapa menit lalu, sorot mata sang mantan ibu mertua sama sekali tak menusuk.
Tidak ada kebencian terpancar. Hanya saja, tak ditunjukkan senyuman hangat yang dulu sering Ibu Aida pamerkan pada Affandra.
"Aduh." Gauri mendadak merintah karena merasakan gerakan kuat di perutnya.
Full versi part ini ada di karyakarsa. Link di bio.
Bisa dibeli juga dalam bentuk pdf, pemesanan via WA 081717254225. Only 40k untuk full versi cerita (50 bab) + 10 ekstra part.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pewaris Untuk Mantan Suami
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Pasca bercerai dari Affandra Weltz, Gauri Chandrata mendapati dirinya mengandung bayi sang mantan suami. Tak akan mudah melewati kehamilan hanya seorang diri, namun ia sudah bertekad untuk melahirka...