Gauri sudah bangun pukul lima. Ia harus memeriksa beberapa dokumen yang akan dipakai dalam pertemuan dengan klien.
Tentu, memastikan semua sudah diketik tanpa ada kesalahan, sehingga nanti tak perlu menimbulkan kekacauan saat rapat.
Pukul tujuh, pekerjaannya bisa terselesaikan. Rasa kantuk cukup menyerang. Namun, ia tak mungkin naik ke ranjang untuk tidur.
Guna menyegarkan pikiran, diputuskan untuk mandi. Dengan harapan matanya tetap bisa diajak melek sampai tugasnya selesai.
Setelah badan cukup segar, Gauri lanjut mengisi perut dengan makanan bergizi.
Susu kehamilan, buah, dan roti.
Sarapan yang menurutnya aman. Tak akan membuatnya merasa cepat mual.
"Hai, Baby." Gauri menyapa dengan lembut sembari mengusap-ngusap perutnya halus.
"Udah bangun belum, Sayang?"
"Hari ini, Mama banyak acara. Semoga kita kuat sampai nanti malam, ya. Doakan Mama."
Kemarin malam, rasanya ada pergerakan kecil di dalam sana. Calon bayinya mulai aktif.
Pertama kali dialami di hidupnya, tentu akan tercipta semacam keharuan yang mampu membuat air mata keluar banyak.
Dan kemarin malam, ia menangis hampir satu jam sebelum jatuh dalam tidur nyenyaknya.
"Sehat-sehat, ya, Baby. Kita berjuang." Gauri dengan penuh kasih bicara. Tentu, doanya juga kencang di dalam hati untuk janinnya.
"Mama janji Mama akan kuat bekerja dan nggak kelelahan." Gauri bicara dalam nada optimistis dan semakin yang kian besar.
"Mama mau rujuk dengan Papa kamu."
"Mama juga akan beri tahu Papa, kalau kamu lagi ada di perut Mama. Setuju, Nak?"
"Mama akan beri tahu nanti kalau sudah di Jakarta, Mama mau kasih hasil USG kamu biar Papa yakin Mama hamil kamu, Sayang."
"Menurut kamu, Papa bakal senang nggak kalau tahu Mama hamil kamu, Nak?"
Ingin kembali berkomunikasi dengan calon bayinya, tapi ponsel berbunyi. Tandakan ada panggilan yang masuk. Harus lekas diangkat.
Ternyata telepon dari Affandra.
Detakan jantung Gauri kencang bukan main.
Dirinya pun teringat momen intim mereka berdua dalam acara makan semalam.
Mulai dari pelukan hangat, sampai cumbuan mesra diberikan Affandra di bibirnya.
Hingga kini, sangat masih membekas. Dan bahkan tetap bisa dirasakan bagaimana lihai pria itu memainkan mulut mereka.
"Aku harus fokus." Gauri mengingatkan diri untuk kembali ke dunia nyata seharusnya.
Panggilan segera diangkat.
"Selamat pagi, Pak Affa." Gauri menyapa sopan, sebagaimana sikap ke atasan.
"Ada apa, Pak?" Gauri melanjutkan dengan menanyakan maksud Affandra menelepon.
"Apa kamu sibuk, Gauri?"
"Nggak, Pak Affa." Dijawabnya cepat kembali. Dan pertanyaan diajukan tak dapat balasan.
"Bisa tolong datang ke kamar saya?"
"Saya butuh bantuan kamu, Gauri."
Baru saja akan ditanyakan maksud perintah Affandra, tapi pria itu sudah memutuskan panggilan di antara mereka berdua.
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan jelas berasal dari pintu penghubung.
Gauri lekas saja mendekat ke sana dalam langkah kaki pelan untuk membukakan akses bagi mereka bertemu secara langsung.
Debaran di dalam dada sudah tak mampu diajak berkompromi, namun ia harus bersikap tenang dalam menghadapi Affandra.
Dan ketika daun pintu sudah tak menghalangi pandangan pada sosok sang mantan suami, mata jelas melihat Affandra tanpa atasan.
Hanya mengenakan celana panjang.
"Selamat pagi, Gauri."
Ditengah rasa merinding menyerang karena menyaksikan Affandra tak memakai kemeja, dibuat diri bergidik oleh sapaan mesra pria itu.
"Selamat pagi, Pak Affa."
"Apa yang bisa saya bantu buat Bapak?"
"Masuklah ke sini, Gauri."
Gauri gugup semakin parah saat tangannya ditarik sang mantan suami. Ia pun harus mengikuti kemana Affandra berjalan.
Mereka menuju ke kamar pria itu.
Untuk pertama kali akan didatanginya.
Rasa tegang kian menyeruak di dalam diri, saat mereka tambah dekat dengan ranjang.
Pemberhentian memang di sana.
"Dasi mana harus saya pakai, Gauri?"
Memandangi sosok sang mantan suami yang menawan tanpa tak akan membosankan, tapi harus lekas dialihkan ke objek kedua mata Affandra untuk tahu maksud pria itu.
Ternyata, di atas kasur berjejer beberapa dasi milik sang mantan suami, ada sekitar lima. Berbagai warna serta motif-motif berbeda.
"Yang mana akan cocok dengan kemeja navy saya? Selera kamu biasanya bagus, Gauri."
Affandra sedang memintanya memilih dasi yang pas untuk kemeja pria itu. Maka akan dipilih dengan saksama dan juga teliti.
Dibayangkan Affandra mengenakan atasan elegan dengan kombinasi setiap dasi. Yang paling cocok baginya yakni hitam polos.
Segera diambil oleh benda itu.
Hendak diserahkan pada Affandra tak masih berada di sampingnya. Lekas dicari pria itu lewat tatapan yang bergerilya ke sekeliling.
Ternyata Affandra berdiri di depan lemari dan tengah mengenakan kemeja tadi dimaksud.
Gauri tahu pemandangan seperti ini kurang patut dinikmati karena Affandra bukan lagi pasangan resminya, tapi mata tak bisa dipindahkan dari sosok mantan suaminya.
"Sudah kamu pilih, Gauri?"
Kepalanya lekas dianggukan sembari kedua netra dikedipkan agar tak fokus selalu pada Affandra. Pria itu sudah selesai berpakaian.
Bahkan kini, berjalan ke arahnya.
"Boleh minta tolong pasangkan dasi ini?"
Full ver part ini, di karyakarsa, link ada di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pewaris Untuk Mantan Suami
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Pasca bercerai dari Affandra Weltz, Gauri Chandrata mendapati dirinya mengandung bayi sang mantan suami. Tak akan mudah melewati kehamilan hanya seorang diri, namun ia sudah bertekad untuk melahirka...