....................
"Masih sakit?"
Gauri mengangguk pelan, sementara mulut meloloskan lagi ringisan karena kontraksi palsu yang sedang menyerang.
Baru beberapa menit, tapi lumayan keras. Ia pun tak bergerak agar tak kian parah.
Hanya bisa mengatur napas agar dapat tetap menahan semua hantaman rasa sakit di bagian perut yang tengah menyerang.
Sudah beberapa kali dialami hal seperti ini, selama seminggu terakhir. Kata Kenanga dan dokter obgyn khususnya, wajar-wajar saja merasakan kontraksi palsu menjelang HPL.
Namun harus dipantau dengan serius juga, terutama intensitas dari rasa sakit dan berapa lama durasi serangan yang dialaminya.
Jika bertahan lama serta semakin kuat, tentu sudah bukan lagi kontraksi palsu.
Gauri pun menunggu sakitnya mereda. Dan memang berangsur-angsur bisa berkurang.
"Mau minum air?"
Untuk tawaran sang suami, ditunjukkan cepat gelengan sebagai respons yang pertama.
Satu buangan udara panjang dikeluarkan dulu dari mulut, sebelum melontarkan jawaban.
Suaminya seperti tak puas hanya diberikan tanggapan dengan gelengan pelan. Ia harus menyertakan alasan secara lisan.
"Aku mau pipis dulu, Mas. Baru minum."
"Tapi tunggu sakitnya hilang." Ditambahkan jawaban agar Affandra tak bergegas turun dari ranjang dan menemani ke kamar mandi.
"Masih sakit? Mau ke rumah sakit saja?"
Gauri menggeleng kembali. "Sudah mulai hilang, Mas. Tunggu beberapa menit lagi."
"Aku rasa kita nggak usah ke rumah sakit."
"Kecuali nanti kontraksinya tambah kuat dan nggak bisa aku hadapi," terangnya dengan jelas agar sang suami bisa tenang.
"Baik, Sayang."
"Mas nggak tidur? Sudah jam satu pagi. Mas harus ke kantor besok, 'kan."
Pertanyaan yang diajukan, segera mendapat reaksi dari Affandra lewat gelengan pelan.
Tangan pria itu tak henti membelai-belai perut besarnya. Terasa nyaman. Dan semoga bisa secepatnya hilang kontraksi palsu ini.
Dengan begitu, mereka bisa kembali tidur.
Sang suami tak akan mau mendahului dirinya untuk istirahat, pasti menunggu.
"Mas Affa ...,"
"Apa, Sayang?"
"Mau dipeluk."
Sembari terkekeh, lekas saja dilakukannya permintaan dari Gauri. Menempatkan diri lebih merapat ke wanita kesayangannya itu.
Mendekap posesif dan penuh sayang.
Diusap-usap lembut rambut wangi sang istri.
"Apa lagi yang kamu inginkan, hmm?"
"Dicium?" Affandra coba menggoda.
Disaksikan ekspresi Gauri yang berubah. Ada semburat merah di kedua pipi wanita itu.
Tanpa mendengar jawaban sang istri dulu, ia mengecup beberapa kali di bagian kening.
"Masih sakit perutnya?"
"Mulai berkurang, Mas."
"Sungguh?" Affandra memastikan sekali lagi sembari membawa tangan ke perut Gauri.
Membelai-belai lembut. Pergerakan calon bayinya cukup terasa di permukaan kulit.
Diperhatikannya juga dengan saksama raut wajah sang istri. Tampak mimik kesakitan dan juga keluar suara rintihan sesekali.
"Masih bisa ditahan?"
"Iya, Mas Affa."
"Mau ke kamar mandi sekarang?"
"Sebentar lagi, Mas. Belum bisa jalan kayaknya ke kamar mandi."
"Saya gendong, Gauri."
"Ntaran aja, Mas. Belum kebelet pipis juga."
"Oke."
Tepat setelah dijawab, didengar desisan kecil keluar dari mulut istrinya. Mata Gauri juga memejam untuk beberapa saat.
Ingin ditanyakan kembali, seberapa kuat rasa sakit dialami. Tapi, ditunda karena pasti tidak akan membuat nyaman Gauri.
Kepala sang istri lalu disandarkan di bahunya.
Rengkuhan tentu tidak akan dilepaskan.
Begitu juga dengan usapan-usapan halus di perut Gauri yang belum ingin disudahi.
Dirinya tak pandai berkata-kata manis, tapi setidaknya dengan selalu berada di samping sang istri, adalah bentuk tanggung jawabnya paling besar yang bisa dilakukan.
"Mas Affa ...,"
"Hmm?"
Full versi part ini ada di karyakarsa. Link di bio.
Bisa dibeli juga dalam bentuk pdf, pemesanan via WA 081717254225. Only 40k untuk full versi cerita (50 bab) + 10 ekstra part.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pewaris Untuk Mantan Suami
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Pasca bercerai dari Affandra Weltz, Gauri Chandrata mendapati dirinya mengandung bayi sang mantan suami. Tak akan mudah melewati kehamilan hanya seorang diri, namun ia sudah bertekad untuk melahirka...