“Akhirnya pulang juga!”
Setelah seruannya yang lumayan keras itu, pria paruh baya itu pun meletakkan tas-tas bawaannya yang banyak, besar dan berat itu di lantai lalu menghempaskan dirinya ke sofa. Ia terlihat kecapean menenteng tas-tas yang berat itu, sebab ia tidak berhenti-hentinya menarik napas setelah duduk.
“Tuh kan, aku bilang apa. Seharusnya Paman membiarkanku yang membawanya saja!” Tiba-tiba terdengar suara seorang pria yang menyertai pria paruh baya itu meletakkan barang bawaannya yang lebih sedikit darinya lalu duduk di sampingnya. Ia menyodorkan beberapa helai tissue kepada pria paruh baya itu begitu melihat keringatnya yang mulai bercucuran. Ia menerima sodoran tersebut.
“Gak pa-pa, Paman masih kuat kok. Kan sekalian buat melatih otot,” ucapnya pelan setelah menyeka keringatnya kemudian tertawa dengan lirih.
“Tapi Pa—“
“Sudah biarkan saja. Pria tua itu memang keras kepala,” ucap seseorang yang baru masuk dari luar lalu ikut duduk di sofa. “Tapi kalau saja suatu saat dia pingsan gara-gara memaksakan diri, jangan peduli padanya.”
Pria paruh baya yang mendengar ucapannya langsung mengerutkan keningnya. “Hei, sama suami sendiri kok diancam seperti itu? Pengen aku cepat mati, ya?”
“Salahmu sendiri, tua-tua begitu masih bandel!”
Pria paruh baya itu sebenarnya keberatan dibilang bandel. Tapi karena memang begitu kenyataannya, mau tidak mau ia hanya bisa merenggut tanpa bisa membalas ucapan istrinya. Pria yang lebih muda itu hanya cengengesan melihat reaksinya, tapi tidak berlangsung lama ketika ia menyadari wanita yang duduk di samping istri pria itu hanya diam saja melihat ponselnya. Ia bangkit kemudian duduk di sampingnya.
“Ada apa?”
Perlahan wanita muda itu mendongakkan kepalanya menoleh ke arah pria itu. Ia sempat diam sejenak sampai ia menggeleng dengan pelan kemudian. “Tidak ada apa-apa,” ucapnya seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas tangannya.
Berpikir kalau ia hanya mengecek email yang mungkin saja ia terima, pria itu pun cuek-cuek saja lalu bersandar ke sofa. Pasti akan banyak email ataupun chat. Maklum, mereka baru pulang dari liburan 2 minggu mereka di Hokkaido.
Seperti biasanya, begitu baru pulang dari liburan, orang-orang akan kembali membahas tentang liburan mereka selama ingatan tersebut masih baru dan hangat, begitu juga dengan mereka. Mungkin sekitar 2 jam mereka terus membahas sebagaimana serunya mereka bermain ski di gunung-gunungan salju yang ada di sana. Mereka semua terbahak dengan riang gembira seiring dengan cerita mereka yang seru dan humoris.
Merasa capek, masing-masing dari mereka pun bubar dan mulai melakukan aktivitas sendiri. Ada yang ke dapur, ke kamar, ke toilet, dan sebagainya. Namun tak sampai 5 menit, mereka semua kembali berkumpul lagi di ruang tamu.
“Hei, hei, semuanya, buruan ke sini!”
Oleh karena seruan pria muda itu, ketiga orang lainnya langsung menyerbu diri datang berkumpul.
“Ada apa?”
Tanpa perlu menjawab pertanyaan tersebut, mereka semua langsung tahu masalahnya ketika melirik ke arah televisi yang sedang terbuka itu. Televisi yang menayangkan berita terkini. Mereka semua tercenung di depan televisi, melihat foto seseorang yang terpampang di sana.
Elwin Ratjaya.
Di berita itu meliput bahwa terjadi kecelakaan antara mobil dan truk yang menewaskan seorang pengemudi mobil tersebut, sedangkan pengemudi truk tidak demikian. Korban itu adalah Elwin. Berita itu terus berlanjut, tidak ada yang bisa bersuara dari mereka sampai berita itu berganti ke berita yang lain.
“Apa kalian mendengar apa yang kudengar?” Terdengar suara pria paruh baya itu tidak lama kemudian.
“Kurasa iya. Tapi, apa ini benar Elwin yang itu?” Kali ini ucap wanita paruh baya itu.
“Tentu saja! Sudah jelas itu foto wajahnya, jadi tidak mungkin salah lagi!” serunya sambil tersenyum lebar. Ia terlihat sangat bahagia, tapi tidak dengan yang lainnya dan ia merasa aneh. “Kenapa? Kalian tidak senang dia mati? Kalian sedih, begitu?”
“Tidak sedih, tapi tidak begitu senang juga,” jawab istrinya seraya menggeleng pelan. “Dia memang keterlaluan, tapi bagaimana pun juga dia masih menantu kita. Dia kan belum cerai dengan anak kita.”
“Menantu?” Pria paruh baya itu meludah tepat ke dalam asbak rokok. “Jangankan mengenalnya jadi menantu, jadi kenalanku pun aku tidak sudi! Dasar pria brengsek, berani-beraninya dia permainkan anakku.” Ia terlihat kesal, lalu melirik ke arah pria yang lebih muda. “Kamu tidak begitu, kan, Ven?” tanyanya dan pria itu langsung menggeleng. Sebuah senyuman langsung merekah. “Bagus. Jangan pernah mengecewakanku, ya?”
Pria itu hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus berkata apa. Di kala ini, wanita yang lebih tua itu menimpali, “Bagaimana perasaanmu tentangnya, Ven?”
Pria itu terdiam sejenak, kemudian ia pun tersenyum lalu merangkul wanita muda yang duduk di sampingnya.
“He deserves it, ya kan, Frey?”
Wanita yang dirangkul itu hanya tersenyum tipis.
“Iya.”
**********
KAMU SEDANG MEMBACA
King's Obsession (Complete)
Beletrie(Belum Revisi) "Bangkrut? Hah, syukurin lo sudah jadi gembel." "Hey, kami sudah gak takut lagi sama lo, jadi jangan harap buat nge-bully kami lagi!" "Ops sorry, orang miskin yang gak selevel gak bisa masuk ke group kami." Pada hari yang tertakdirkan...