16. Malam Pelampiasan

253 12 3
                                    

Aku sedang meminum secangkir kopi ketika Ayah menghampiriku dengan mendorong kursi rodanya. Aku tersenyum. "Selamat pagi, Ayah." Ayah membalas sapaanku sebelum mengambil tempat di sampingku. Dia mengoles jam stroberi di roti tawar dan menyodorkannya kepadaku, aku tersenyum sembari meraih rotinya. "Ayah tidak makan?"

Ayah menggelengkan kepalanya. "Ayah akan makan jika Ayah lapar nanti, tapi kamu sudah harus bersiap-siap, ini sudah hampir waktunya kamu berangkat kerja, jadi kamu makan saja,."

Aku bangkit dari dudukku setelah menghabiskan roti itu, aku kemudian membungkuk di depan Ayah, meraih tangannya dan mencium punggungnya. "Aku berangkat dulu, Ayah."

"Hati-hati, Nak."


***


"Elwin!" seru Ravil begitu melihat aku datang. Aku berjalan menghampiri tempat dudukku dan meletakkan tas kerjaku di atas meja sebelum membuka jasku serta menggantungnya di sandaran kursi. Belum sempat duduk di kursi, Ravil memanggilku lagi. Aku menatapnya dengan kesal.

"Ada apa?"

Ravil menyengir lebar sebelum menghampiriku. "Apa kamu tidak tahu?"

"Tahu apa?" tanyaku dengan nada yang kesal.

"Kamu sudah naik pangkat, bodoh!"

"Apa?" Aku membelakkan kedua mataku, tidak percaya akan apa yang barusan dikatakannya. "Aku? Naik pangkat? Kok—"

"Ah, kamu terlalu cerewet. Lihat saja sendiri." Ravil kemudian mendorongku ke papan pengumuman, dan benar saja, namaku tercetak dalam ukuran sedang di sebuah kertas pengumuman yang menyatakan bahwa aku naik pangkat, menjadi seorang sekretaris pribadi direktur muda yang baru saja kembali dari Amerika. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku seolah tidak percaya atas apa yang baru kulihat. Ravil meninju bahuku dengan pelan seolah ingin menyadarkanku dari lamunanku. "Sekarang sudah percaya, bukan?"

Aku masih membulatkan kedua mataku, mulutku menganga lebar. Bagaimana bisa? Ini baru memasuki bulan kelima, tapi aku sudah naik pangkat? Apa tidak salah?

"Bodoh, kamu sungguh bodoh!" Seruan Ravil kembali menyadarkanku ke alam sadar. Aku kembali menatapnya kesal sebelum dia kembali mengatakanku bodoh.

"Aku bukan bodoh, Ravil. Bagaimana mungkin seseorang yang bodoh bisa naik pangkat?"

Ravil menatapku dengan ekspresi polosnya itu. "Iya, ya, kau benar juga. Bagaimana mungkin seseorang yang bodoh sepertimu bisa naik pangkat? Pasti terjadi kesalahan teknis."

Aku menjitak kepala Ravil yang kemudian mendengar ringisannya. "Sekarang bukan aku yang bodoh, tapi kamu!" Aku menatap kesal Ravil. "Ah, benar-benar. Maksudku, ini kan baru memasuki bulan kelima, bagaimana aku bisa naik pangkat secepat ini? Bahkan kamu yang notabene karyawan lama tidak mendapatkan posisi itu."

Ravil terlihat sedang memikir sebelum dia menganggukkan kepalanya. "Benar juga, ah, kau jangan membuatku pusing, ini masalahmu. Udah, ah, aku mau kembali kerja, dan kamu, cepat kamu temui Pak Manajer, meminta penjelasan."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Ravil meninggalkanku yang kemudian kembali menatap papan pengumuman. Sebagian hatiku bersorak senang, tapi sebagiannya lagi bingung. Ah, daripada aku bingung, kenapa aku tidak menemui Pak Manajer saja seperti yang dikatakan Ravil?


***


Kata-kata Pak Manajer masih terngiang-ngiang di kepalaku meski sekarang aku sudah berbaring di kasurku. Aku tidak bisa menutup kedua mataku. Aku masih memikirkan apa yang dikatakan Pak Manajer tadi.

King's Obsession (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang