Lama aku melamun, tak terasa malam sudah tiba dengan cepat. Ponsel yang setengah hancur itu kupasangkan kembali baterainya dan menghidupkannya. Hasilnya, menakjubkan. Dari nama yang sama, total missed call dan pesan ada sebanyak dua ratusan. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, pulsa Nirna banyak juga ya. Apa sedang ada bonus kali?
Tak ingin membuang waktu lebih lama, aku menelepon Nirna balik. Tanpa perlu kuberitahu, kamu bisa menebaknya sendiri apa yang terjadi, bukan? Ya, betul. Dengan suara yang cempreng menahan nangis, Nirna memarahiku tanpa henti. Mungkin kemarahannya akan berlangsung berjam-jam kalau saja aku tidak segera meminta maaf padanya. Setelah dirinya sudah lumayan tenang, aku baru berbicara padanya dan memutuskan untuk menemuinya.
Aku bertemu dengannya di gerbang kampus. Kelas siangnya sudah berakhir sejak tadi dan sekarang sudah masuk kelas malam. Aku terharu pada dirinya yang rela menungguku di sini selama itu karena aku tidak memberi kabar sama sekali. Setelah dipeluk-cium olehnya –yang dengan setengah hati kubalas, kami pun segera beranjak pergi dengan tempat tujuan rumahku. Jarang aku mengajak mereka-mereka ke rumahku. Karena selain merepotkan, ayah akan selalu mempermalukanku dengan memarahiku di depan mereka. Namun karena ia ngotot ingin pergi sampai memanfaatkan permintaan maafku tadi, dengan terpaksa aku mengantarnya ke rumahku.
Saat kami tiba di rumahku, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Biasanya pada jam segini, Ayah sudah tertidur pulas. Maka dari itu aku pun bisa bernapas dengan tenang sekarang dan mengajak Nirna masuk ke r—, hmm...Ayah duduk di hadapan tv.
Ia yang menyadari suara deritan pintu langsung menoleh, "Oh, kamu sudah pu—"
Ok, mulai lagi.
Tanpa ingin mempedulikan tontonannya lagi, ia kini melototiku dengan geram. "Dari mana saja kamu malam-malam begini? Bawa cewek juga. Sudah berapa kali kamu ganti pacar? Dasar anak gila!"
Setidaknya karena masih ingin menjadi anak yang baik, aku tidak mau melawannya dengan pura-pura tidak mendengarnya dan melenceng dari pembicaraan. "Tumben Ayah belum tidur. Sudah jam 11 lho. Apa Ayah tidak ngantuk? Atau insomnia Ayah kambuh lagi?"
"Jangan mencoba untuk ganti topik!" serunya keras. Ck, ketahuan taktikku, ucapku dalam benak. "Kenapa kamu jadi begitu, Win? Ayah sama sekali tidak mengenalmu lagi. Apa kau sudah melupakan Freya? Apa kau tidak merasa bersalah padanya?!!"
Freya lagi, Freya lagi.
"Ayah," panggilku pelan seraya balas menatapnya dengan kesal. "Tolong Ayah koreksi kembali ucapan Ayah. Siapa yang melupakan siapa? Siapa yang merasa bersalah kepada siapa? Freya, Ayah! Freya yang sudah melupakanku, Freya yang bersalah padaku, Freya yang meninggalkanku!"
Hanya sekilas, aku menangkap Ayah tersentak dan rautnya berubah menjadi murung. Tapi dengan cepat wajahnya sudah kembali galak lagi. "Ya sudahlah! Terserah padamu, aku tidak ingin lagi menghiraukan anak sepertimu!" Sekejap kemudian, ia mendorong kursi rodanya dan masuk ke dalam kamarnya, disertai dengan bantingan pintu yang amat kuat.
Langsung saja setelah Ayah masuk ke dalam kamarnya, aku menghela napas dengan panjang lalu mendaratkan diri ke sofa. Sial, sial, sial! Kepalaku pening mendadak. Aku benci keadaan seperti ini. Aku ingin banget duduk diam dan menenangkan perasaan yang naik turun ini. Sialnya, cewek yang sempat kulupakan keberadaannya kembali muncul dan mengganggu ketenanganku.
"Ada apa, Elwin?" tanyanya seraya duduk di sampingku.
"Tidak, tidak ada masalah apa-apa," jawabku pelan sambil menyentuh keningku yang terasa berat secara tiba-tiba.
Inginnya ia membiarkanku, namun ia malah semakin mendekat, "Kamu sedang tengkar dengan Ayahmu, ya?"
"Tidak kok, aku hanya merasa... tidak begitu enak badan," ucapku pelan berbohong padanya. Aku sudah pandai berbohong rupanya. "Maaf, malam ini aku ingin istirahat saja, jadi aku tidak bisa menemanimu lagi. Besok saja kita ketemu, ya? Yuk, kuantar," ajakku cepat setelah ia mengangguk padaku lalu kutuntun lagi ia ke pintu utama. Aku memang berbohong soal tidak enak badan, tapi aku beneran ingin tidur sekarang, jadi aku tidak tertarik untuk menemaninya lebih lanjut lagi. Tapi sepertinya keinginan kecilku itu sama sekali tidak bisa terwujud, karena baru saja aku membuka pintu, seseorang sudah menunggu di balik itu dan langsung saja jatuh melemah di pelukanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
King's Obsession (Complete)
General Fiction(Belum Revisi) "Bangkrut? Hah, syukurin lo sudah jadi gembel." "Hey, kami sudah gak takut lagi sama lo, jadi jangan harap buat nge-bully kami lagi!" "Ops sorry, orang miskin yang gak selevel gak bisa masuk ke group kami." Pada hari yang tertakdirkan...