Kedua mataku terpaku pada sosok Steven yang berdiri di ambang pintu. Dia membanting pintu ruanganku dengan kuat sambil menatapku dengan penuh amarah. Aku tersenyum tipis padanya seolah sudah tahu apa yang akan disampaikannya padaku. Dia menghampiriku dengan langkah lebar sebelum kemudian melempar dokumen-dokumen yang sudah dijilid rapi ke mejaku. Aku meraihnya dan membaca.
"APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADA LYDIA, HAH?" serunya seraya menunjukku dengan jari telunjuknya.
Aku berdecak. "Aku tidak melakukan apapun."
"Tidak melakukan apapun? Jadi apa yang akan kau jelaskan dengan surat itu? Kau sudah mengkhianati kepercayaanku!"
"Apa yang kamu katakan, Ven?" Aku masih berusaha mengelak, berusaha tampak tenang meski kutahu kemana arah pembicaraan ini. Ini pertama kali aku melihatnya begitu marah.
"Kau tidak perlu berpura-pura bodoh, Elwin! Aku sudah mengetahuinya! Kau sudah berhubungan dengan Lydia dalam waktu yang cukup lama! Kau, apakah kau tidak tahu kalau kecelakaan yang dialami istrimu itu karena Lydia?" Steven tersenyum sinis. "Kau sungguh bodoh, Elwin! Hanya karena terobsesi dengan perusahaan ini, kau bahkan rela menyakiti istrimu sendiri?"
Aku tersentak. Apa yang dikatakannya tadi? Apa aku tidak salah dengar? Kecelakaan yang dialami Freya itu karena Lydia? Apa sebenarnya yang telah terjadi?
Ia menyeringai dengan sinis melihat reaksiku. "See? Kau bahkan tidak mengetahuinya. Elwin, kau sudah berubah. Kau bukan Elwin yang kukenal lagi. Selamat menjadi Direktur perusahaan ini, Elwin! Mulai detik ini persahabatan kita putus!" serunya dengan dingin tanpa menatapku, dia kemudian meninggalkanku yang masih bingung.
Ravil yang baru saja ingin masuk tapi berhenti dan berdiri di depan pintu pun mendekatiku lalu mengambil dokumen itu. Dia membaca sekilas sebelum kemudian menjatuhkan dokumen itu di lantai, dan beralih menatapku dengan tatapan yang tidak percaya. Aku tersenyum samar. "Seperti yang kamu lihat, Vil, perusahaan ini kini sudah menjadi milikku," ujarku pelan.
Ravil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kasar. "Bagaimana bisa kamu melakukan ini, Elwin?!" serunya. Dia berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan, "Ternyata aku sudah salah menilaimu, kamu bukan Elwin yang kukenal, ah, tidak, aku sama sekali tidak mengenalmu!"
Aku mengerutkan keningku. Kenapa dia ikut-ikutan marah juga? Aku berdiri dari tempat dudukku lalu memperlihatkan reaksi yang bingung kepadanya. "Kamu kenapa, Vil? Harusnya kamu senang karena mulai hari ini kamu akan jadi asistenku, asisten Dire--"
"Mulai hari ini aku keluar dari perusahaan ini! Aku gak sudi kerja dengan orang sepertimu!" Setelah seruannya yang keras itu sambil menunjuk-nunjukku, dia meninggalkanku, seperti Steven meninggalkanku. Kini kutahu, aku akan kembali kehilangan sahabat lagi.
Aku memungut dokumen itu dan kembali membacanya. Seolah mati rasa, aku tidak merasakan apa-apa lagi. Padahal seharusnya aku bahagia. Perusahaan telah menjadi milikku. Apa yang kuinginkan selama ini telah tercapai sudah. Hilang teman? Itu sudah hal biasa. Pengorbanan selalu berteman baik dengan kesuksesan. Tapi ... kenapa aku merasa hampa?
***
"Apa yang kamu lakukan pada Freya?!" hardikku begitu Lydia menempati kursi yang berada di hadapanku. Dia menatapku bingung dengan mimik yang seolah memiliki segudang pertanyaan, kemudian berubah menjadi pucat. Ia sudah paham apa yang kumaksud. Aku turut membuang muka, tidak ingin menatapnya. Perasaanku sedang kacau, aku takut aku akan membentaknya di sini. Aku tidak ingin hal itu terjadi.
"Aku tidak bermaksud mencelakainya, Win, kamu harus percaya denganku. Aku hanya ingin dia kehilangan janinnya, itu saja."
Aku menolehkan kepalaku, langsung melupakan pernyataanku tadi. "Apa? Tidak bermaksud mencelakainya? Jadi apa maksud dari kecelakaan itu? Kamu yang menyuruh orang untuk memutuskan remnya, bukan? Jujur saja, aku sudah mengetahuinya," sinisku.
![](https://img.wattpad.com/cover/69119555-288-k808623.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
King's Obsession (Complete)
Ficción General(Belum Revisi) "Bangkrut? Hah, syukurin lo sudah jadi gembel." "Hey, kami sudah gak takut lagi sama lo, jadi jangan harap buat nge-bully kami lagi!" "Ops sorry, orang miskin yang gak selevel gak bisa masuk ke group kami." Pada hari yang tertakdirkan...