Epilog

10 1 0
                                    

Apa kabarmu, Freya?” Dapat terdengar suara cengisan di balik suaranya yang serak. “Kamu pasti terkejut melihat namaku di dalam layar ponselmu, bukan? Aku sendiri juga terkejut, kenapa aku bisa menghubungimu sedangkan aku selalu berusaha menjauh darimu? Aneh banget, ya?” Ia tertawa lagi, pelan.

Hmm.. pertama-tama, bagaimana kehidupanmu, Freya? Apa kamu sehat? Apa kamu makan teratur? Tidur nyenyak? Tidak mimpi buruk, kan? Bagaimana keadaan keluargamu? Apa semuanya sehat? … Di dalam pikiranmu, kamu pasti mengataiku bodoh, kan? Tentu saja, seharusnya sejak dulu aku selalu bertanya, bukannya sekarang …. Lupakan saja ucapanku.

“… Sebenarnya, tujuan aku meneleponmu … aku … aku ingin minta maaf. Ya. Aku ingin minta maaf padamu. Aku sudah berbuat banyak salah kepadamu. Kamu istriku, tapi aku menelantarkanmu demi ambisi yang tidak berguna. Aku menduakanmu demi mencapai kekayaan yang tidak berarti. Aku bahkan membuatmu kehilangan anak …. Asal kamu tahu, orang yang menabrakmu itu adalah pasangan selingkuhanku. Aku ... sungguh merasa bersalah.

Aku sudah memikirkannya. Sangat lama aku memikirkannya, dan aku mengerti juga ucapanmu waktu di rumah sakit waktu itu. Kebahagiaan tidak bisa didapatkan hanya dengan materi. Ya, aku sudah sangat mengerti. Hanya dengan bersama orang yang kusayangilah kebahagiaan baru bisa kudapatkan. Meski miskin, asalkan bersama keluarga, pasti bahagia. Aku ingin kebahagiaan yang sederhana itu. Aku sudah meninggalkan segalanya. Aku ingin memulai dari awal. Aku ingin mendapatkan kebahagiaan yang pernah kita lalui waktu sekolahan itu. Itu adalah saat-saat yang paling bahagia bagiku. Namun aku selama ini telah melupakannya, sampai aku sakit.

Ya, aku sakit. Karena penyakit itu aku baru bisa menyadari kesalahan-kesalahanku. Sudah merupakan sebuah karma yang pasti kudapatkan, tapi aku tidak menyesalinya. Sebab, berkat penyakit itu, aku baru mengerti, kalau jalan gelap yang selama ini kutempuh pasti tidak akan bisa kutemukan cahaya. Aku ingin berubah, aku ingin menempuh jalan yang penuh cahaya. Aku berterima kasih kepada penyakit ini yang telah menyadarkanku, penyakit yang bernama AIDS.

Aku bisa menebak kalau sekarang kamu tersentak kaget karena mendengar nama penyakit itu. Ya, tentu saja, siapa pun yang mendengar nama penyakit itu pastinya merasa jijik, menyeramkan, begitu juga aku. Aku pernah berpikir untuk mati saja, sebab nantinya aku juga akan mati dengan menyedihkan. Tapi begitu mengingatmu, aku tidak berani untuk mati. Karena penyakit ini, perasaanku yang sudah mati tiba-tiba hidup kembali. Aku kembali merasa kangen padamu, rindu padamu. Aku ingin melihat dirimu lagi. Aku tidak mau sendiri lagi. Aku tidak ingin merasakan kesepian ini lagi. Karena itu ….

Maukah kamu memberikanku kesempatan lagi?

Aku mungkin tidak bisa memberikan kekayaan dan kehidupan mewah karena aku sudah mengundurkan diri dari perusahaan, tapi aku akan berusaha membahagiakanmu. Aku siap banting tulang sekeras apapun dengan bermodalkan perasaanku yang benar-benar tulus kepadamu. Aku tidak akan mengecewakanmu. Aku sumpah. Aku berani bersumpah.

“Karena itu, aku ingin bertemu padamu. Aku akan datang mencarimu. Jadi kumohon, beri aku jawaban ketika kita berhadapan nanti.”

Pesan suara itu pun berakhir sampai situ. Wanita muda itu menurunkan ponsel dari telinganya seraya menatap nisan yang berada di hadapannya. Wajahnya sangat datar, tidak berekspresi. Ia bahkan tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan sebuket bunga di depan batu nisan itu.

Jujur saja, pesan suara itu sudah ia dengar berkali-kali, tapi baru kali ini ia memutuskan untuk datang menemui kuburan suaminya itu. Ia tersenyum dengan tipis tidak lama kemudian. Hanya sebuah senyuman sampul.

“Hai,” ucapnya pelan. “Apa kabar? Kabarku baik-baik saja kok.” Ia berjongkok untuk mendekati batu nisan itu. “Kamu hebat juga, ya? Tahu saja aku terkejut waktu melihat namamu di ponselku. Dan aku merasa sangat aneh, seperti dugaanmu.”

Wanita itu menghela napas sekali. “Kehidupanku sangat baik. Aku makan, minum, tidur, semuanya baik, tidak ada masalah. Jangankan mimpi buruk, aku justru selalu mimpi indah. Keluargaku semuanya juga baik-baik saja. …Kau benar. Aku mengataimu bodoh waktu pertama kali mendengarnya darimu. Aku tidak menyangka kamu baru mulai bertanya soal yang sederhana seperti itu ketika kita berpisah. Tapi tenang saja, aku pasti akan melupakannya karena aku merasa geli mendengarmu bertanya seperti itu.

“Memang sudah sepantasnya kamu merasa bersalah padaku. Sejak kembali bertemu denganmu, kehidupanku menjadi kacau. Tiada hari terlewat tanpa aku merasa sedih dan sengsara. Aku tidak pernah berpikir untuk memaafkanmu, meskipun kamu masih hidup sekarang. Atau pun karena kamu sudah menyadari kesalahanmu dan berniat untuk mengubah hidupmu. Aku tetap tidak akan memaafkanmu.

“Dan tebakanmu sangat tepat. Aku tersentak waktu mendengarmu mendapatkan penyakit itu, namun hanya sekilas. Bukan berita yang mengagetkan kalau kamu bisa mendapat penyakit itu, walau aku sempat tersentak. Penyakit itu adalah penyakit yang pastinya akan kamu dapatkan. Hanya soal waktu yang menentukan.

“… Aku memang tidak bermaksud untuk menerima permintaan maafmu, tetapi sebaliknya aku ingin berterima kasih padamu. Kamu pasti merasa aneh, tapi tenang, aku tidak bermaksud merahasiakannya padamu. Aku sudah menemukan cinta baru. Dia orang yang kamu kenal kok. Berkat kamulah kami bisa bersama. Kamulah yang memberikan kesempatan pada kami untuk saling mengenal, satu sama lain. Dia adalah Steven.

“Biar kutebak, kamu yang sekarang pasti merasa jauh lebih terkejut dariku yang mendengar soal penyakitmu, bukan? Tentu saja, kamu pasti tidak pernah menyangka kalau aku akan bersama dengannya. Dialah yang memberitahuku soal perselingkuhanmu, juga soal istrinya yang menabrakku. Kami berdua menjadi pasangan yang bekerja sama untuk menangkap basah perselingkuhan suami dan istri kami, tapi jadinya malah bersama. Aneh, ya?” Ia tersenyum kecil setelah berbicara sendiri selama ini.

Ia berdiri dari posisi duduknya. “Sesuai permintaanmu, aku datang memberimu jawaban, dan jawabannya adalah tidak.” Ia tertunduk. “Kalau saja kamu datangnya sebelum Ayah meninggal, aku mungkin masih akan memaafkanmu, tapi kamu terlambat. Kamu membuatku menunggu lama, dan aku sudah tidak ingin menunggumu lagi. Aku pernah berpikir untuk menjanda saja seumur hidup, sebab kamu membuatku takut untuk bersuami.

“Tapi Steven berbeda. Menurutku ia juga ingin berterima kasih padamu, sebab sejak saat itu ia telah berubah. Ia sudah mulai perhatian padaku, tidak lagi mementingkan pekerjaannya melebihi apapun. Pelan-pelan, ia berhasil membuatku luluh. Sekarang, hanya tinggal soal waktu, kapan kami akan menikah.”

Seusai berkata, wanita itu melirik ke langit, mendung. “Sepertinya… sebentar lagi akan hujan,” ucapnya lalu kembali menatap ke arah nisan itu. “Aku akan pulang sekarang. Aku tidak pernah menyangka kamu akan meninggal secepat ini, juga karena kecelakaan yang kedua kalinya di hidupmu itu. Tapi aku berharap kamu bisa istirahat dengan tenang.”

Wanita itu membalikkan badan lalu mulai melangkah pergi. Tetapi begitu sampai ke langkah ke lima, ia berhenti.

“Oh ya, aku lupa bilang. Ini adalah kali terakhirnya kita bertemu. Aku tidak akan pernah datang lagi.”

Ia mulai melangkah lagi.

“Dan aku harap… kita tidak akan pernah bertemu lagi untuk kehidupan yang berikutnya.”

END

Dengan ini, tamatlah sudah kisah hidup Elwin yang penuh dengan konflik ini. Apakah ada yang bersedih kepadanya? Lebih baik jangan, karena dia bukan pria yang baik 😤 walau kasihan tapi ... ya begitulah.

Terima kasih kepada para pembaca yabg sudah membaca sampai ke note sini.

Cerita ini mungkin tidaklah sempurna dan terdapat banyak kesalahan termasuk plot hole dan lain sebagainya. Tapi aku berharap setidaknya dapat menjadi bacaan fiksi untukmu melewatkan hari

Sampai jumpa lagi di cerita lainnya
Lope you all~ 😘

King's Obsession (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang