Nadya tergesa- gesa turun dari mobilnya. Ia membawa serta dua cup kopi ukuran large hasil buy one get one free di sebuah gerai kopi sejuta umat dalam perjalanan menuju kantor.Niatnya, kopi itu akan dia berikan pada Rifat yang hari ini baru pulang dari Semarang.
Ia memasang senyum terbaik yang sudah dilatihnya semenjak berusia sepuluh tahun. Senyum yang harus ia pamerkan bila keluarga besar dan kolega almarhumah papanya bertandang ke rumah.
Senyum yang selalu membuat pipinya sakit bukan main setelahnya. Pak Obi, satpam kantor, seperti biasa berdiri di depan lift, mengatur agar para pegawai yang bekerja di Chronicle Building bisa masuk ke lift dengan teratur.
Nadya menunggu penuh dengan antisipasi. Terbayang, senyum jenaka milik Rifat yang diam- diam ditaksirnya selama ini.
"Selamat pagi, Mbak Nadya!" sapa Pak Obi. "Wah, bawa kopi buat siapa itu?"
"Ada aja, Pak Obi! " Nadya tersenyum penuh rahasia. Membayangkan wajah Rifat yang bakalan memberinya senyum berlesung pipi yang diam- diam digilainya itu.
Pak Obi tersenyum sembari manggut- manggut. Memperhatikan penampilan Nadya pagi itu. Rok pensil selutut, stiletto paling tidak setinggi 15 sentimeter, karena Nadya memang selalu merasa dirinya pendek dibanding semua sekretaris yang bekerja di gedung ini.
Rambutnya yang sepunggung bawah diblow, tampak lurus dan halus. Aroma bebungaan yang segar menguar dari sana. Ia mengenakan atasan kemeja sutera warna burgundy, menenteng tote bag Dior warna cokelat.
Aura kepercayaan diri menguar di seluruh pori- pori tubuhnya. Wajahnya yang mungil dan berbentuk hati dirias teliti, menonjolkan bibirnya yang mungil, pipinya yang tirus, dan dagunya yang lancip mendongak.
Kebanyakan orang akan mengira ia melakukan plastic surgery, namun Nadya hanya menanggapi dengan cibiran setiap ada yang melontarkan kecurigaan itu padanya.
Lift kemudian terkuak setelah menunggu selama tujuh menit. Memuntahkan sekitar sembilan orang yang entah mengapa pagi- pagi begini sudah berlomba- lomba turun.
Nadya melihat Ko Willy, salah satu orang yang keluar dari lift barusan. "Ko!" teriaknya, tanpa sadar mengikuti langkah Ko Willy yang tampak terburu- buru.
Ko Willy berhenti ketika menangkap suara yang memanggilnya. Kemudian ia berbalik dan menemukan Nadya dengan kantung kertas berisi kopi di tangan. "Nad?" alisnya yang lebat menukik tajam. "Gue kira lo ada di atas. Gue baru dari ruangan Rifat. Tapi kayaknya dia lagi sibuk sama Yuna."
"Sepagi ini?"
"Yah lo tahu, lah. Orang marketing itu nggak pernah libur. Ada masalah sama garasi di Semarang, katanya. " Terang Willy.
"Eh, itu kopi ya?"
Nadya mengangguk.
"Buat siapa? Sini gue beli aja. Gue lagi butuh. "
"Oh,"
"Selamat pagi," tahu- tahu, entah sejak kapan, Nares sudah nimbrung di antara mereka. "Oh, ini buat Pak Nares. " Tangan Nadya merogoh ke dalam kantung kertas, kemudian mengangsurkan kopi itu secara mendadak ke arah Pak Nares yang tidak siap.
Nyaris saja cup berisi Americano itu meluncur jatuh. "Kopi buat Bapak." Ujar Nadya santai. Rusak sudah rencananya untuk memberikan kejutan pada Rifat.
Nares menatap bingung ke arah Ko Willy dan Nadya secara bergantian, kemudian mengawasi tulisan yang tertera di cup kopi tersebut; Americano.
Bukankah Nadya hafal, bahwa Nares tidak minum Americano? Nares minum kopi lokal .
Kopi Kapuhan, kopi lelet, kopi Lampung, kopi Gayo, kopi Sidikalang, kopi Toraja atau kopi Bajawa bolehlah.
Tapi Americano? Nares rasa Nadya salah alamat.
Tapi salah alamat atau pun tidak, meski sebenarnya dia juga tidak begitu menyukai kopi jenis ini, Nares tidak peduli.
Yang ia pedulikan adalah, pada akhirnya Nadya memberikan kopi ini padanya. Bukan pada Willy yang menurut gosip dari anak- anak IT sedang gencar- gencarnya mendekati Nadya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...