Chapter 27

15.9K 1.1K 22
                                        


"Jadi gue mesti gimana dong,  Mei?"

Karena kebetulan ketemu Meita di depan lift yang terletak di lobi, Nadya menyeretnya ke tempat makan yang letaknya  agak jauh dari kantor.

Nasi Uduk Ibu Warni terletak di belakang Chronicle Building. Tulisannya memang nasi uduk, tapi pada dasarnya tempat itu adalah warteg.

Biasanya yang makan di tempat itu OB, Abang ojol, atau cowok- cowok dari bagian marketing yang memang gemar berburu makanan murah. Nasi pakai sayur lodeh,  sambal plus telur saja masih lima belas ribu rupiah. Sudah begitu masih gratis es teh tawar. Nggak heran kan tempat itu bisa ramai banget.

Termasuk  siang itu, ketika Nadya dan Meita baru saja memasuki warung nasi yang tempatnya nggak bisa dibilang besar itu.

Di dalamnya ada lima bangku panjang. Lalu di bagian luarnya, masih ada tambahan tiga bangku lagi. Meita mengajak Nadya duduk di luar. Ada bangku panjang yang masih kosong di situ. Letaknya di bawah pohon mangga, di teras samping warung.

Dulunya, warung itu dibangun ketika  GSS Goldeneye dan gedung- gedung di sekitarnya memulai pembangunan di area ini. Bu Warni asli Tegal, dan di sini dia sudah punya tiga karyawan yang semuanya adalah perempuan.

Meita mengamati Nadya dengan penuh minat. Memang sudah lama dia nggak ngobrol dengan sahabatnya itu. Nadya memang dulu terkenal dengan sifat bitchy nya. Selain suka menggosip, dia juga tukang tebar pesona, tukang nyinyir dan tukang cari gara- gara. Tapi belakangan, Meita merasa gadis itu agak sedikit kalem dan  adem ayem.

"Lo tuh aneh, Nad. " Meita akhirnya memberitahu pendapatnya. "Menurut gue sih, ada baiknya lo kaji ulang perasaan lo yang sebenarnya ke bos Nares. Dia orangnya baik. Meski nggak seganteng bos- bos yang lain di kantor sih. Tapi kayaknya dia bakalan sayang sama istrinya."

Dua porsi nasi dengan sambal tongkol, sayur daun singkong, kikil serta rempeyek di antarkan ke meja mereka oleh seorang perempuan muda dengan wajah yang cukup cantik. Lina nama perempuan itu, yang sejak tadi kerap digoda oleh para pria yang makan siang di warung ini.

"Gampang sih lo ngomong gitu, Mei..." Gerutu Nadya sinis. "Yang lo dapetin sekarang bisa dibilang jackpot banget!"

Meita menyeringai pahit. Orang lain bisa bilang begitu. Tapi kenyataannya mereka nggak pernah tahu, apa yang harus Meita jalani saat ini. Begitu membingungkan.

"Nad, kalau aja gue bisa milih... "

"Gue tahu," potong Nadya serba nggak enak. Kondisi Meita memang nggak lebih baik darinya. Saat ini posisinya benar- benar membingungkan. Di sisi lain, Nadya juga merasa iba. Nico memang sengaja membuntu langkah Meita. Membuat sahabat Nadya itu seperti mati langkah. Sudah begitu, Meita harus pura- pura di depan Oma Marga, yang baru saja anfal.

"Ya, hidup ini memang jarang bisa benar- benar adil, kan?" Keduanya tercenung.

Nadya mulai mengaduk- aduk nasinya. Dia sebenarnya adalah tipe orang yang bisa makan apa saja. Lagi pula, meski letak wartegnya ada di balik gedung, tempatnya bersih kok. "Gue sebenarnya cuma nggak mau punya affair di kantor." Nadya mulai menyuap makanannya. "Gimana kalau hubungan kami nantinya enggak berhasil? Gue kan masih betah kerja di tempat itu."

"Umur Nares tuh nggak memungkinkan dia buat main- main lagi sama elo, Nad!" Meita menyanggah dengan sabar. Terkadang, pikiran Nadya memang sering terbalik- balik. Yang nggak perlu dipikirin, dia malah semangat banget mikirinnya. Yang harus dipikir, nggak pernah dia ambil pusing.

"Lo lihat deh, gimana kabarnya Laras sekarang? Gue susah banget hubungin dia." Nadya tercenung sejenak. "Kemungkinan besar dia hamil. Kemungkinan besar Pak Gatra nggak pernah tahu kalau dia itu punya anak dari mantan sekretarisnya." Kemudian tatapannya diarahkan ke Meita. Tajam. Lekat.

Miss Materialistic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang