"Tumben, lo cuma mesen itu?" Meita menaikkan alis, melihat isi piring Nadya. Seporsi nasi rames berisi sambal goreng kentang-ati, bihun goreng, acar timun dan wortel berwarna kuning, serundeng dan ayam suwir bumbu kuning serta kerupuk udang. Teh tawar yang disediakan gratis di kantin lantai satu Chronicles Building.
Semuanya menyebut menu tanggal tua. Sepiring nasi rames yang Nadya pesan itu harganya nggak lebih dari 20 ribu. "Yang penting kenyang. Gue kan mesti nabung buat bayar pajak si Cici bulan depan," ujar Nadya sambil lalu. "Lagi pula nasi rames Bu Nuning ini enak kok,"
Meita mengawasinya dengan saksama. Sampai- sampai, gadis itu meletakkan sendoknya di atas nasi rendang pesanannya. Melipat kedua tangan, dan memperhatikan gerak- gerik sahabatnya itu. "Lo kenapa? Lihatin guenya kayak gitu?"
"Soalnya lo tuh aneh banget!" Cetus Meita. "Nadya yang kemarin- kemarin ke mana ya? Kok lo jadi lain begini?" sindir Meita sarkas. "Lo tuh kenapa?"
"Emang gue kenapa?"
"Untuk orang yang punya koleksi Michael Kors, Kate Spade, Charles and Keith, sama Tory Burch, pesenan makan lo sama sekali nggak mencerminkan itu."
Nadya memutar bola matanya. "Justru itu. Gue bisa kebeli barang- barang itu, karena gue mesti berhemat sampai mampus!"
"That's why, lo jalan sama cowok- cowok kaya itu?"
"Excuse me?" Nadya memicingkan mata dengan dramatis.
"Tadi pagi waktu gue mau masuk lift, ada yang bilang, semalam lihat lo sama seorang cowok di Senopati. Katanya tuh cowok adalah Yohandi something... gitulah, yang adalah anak sulung pemilik The Brickyard, perusahaan warehouse sama galangan kapal itu."
"Wah, gue juga nggak tahu kalau si Yohan something yang lo maksud memang setajir itu!" Nadya terdengar takjub, sambil terus mengambil potongan acar dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia suka sekali sama acar. Terlebih bikinan neneknya.
Banyak banget makanan khas Surabaya yang dikangenin sama gadis itu. Soto Ambengan Pak Sadi, rawon Nguling, sate klopo Ondomohen. Mungkin tahun baru nanti, dia bakalan milih pulang ke Surabaya.
"We're just friend, you know. Lagi pula dia nggak ada tanda- tanda mau nembak gue. Dan kalau itu kejadian , sudah pasti gue bakalan lari duluan. Gue sih nyaman jalan sama dia. Karena dia tuh nggak kayak cowok yang diwajibkan nyokap buat gue gaet."
"Tapi cap mereka buat lo tuh udah kayak gitu,"
"Kayak gitu gimana?" Nadya menatap Meita sambil lalu.
"Bahwa lo matre?"
"Definisi dari matre itu apa, sih? Kalau yang mereka maksud adalah seorang cowok yang fisiknya oke sih gue setuju- setuju aja. " Nadya berkata cuek. "Materialistic itu buat gue adalah hal- hal yang berbau material. Yang nyata. Kayak muka orang itu ganteng apa enggak, kaya apa enggak. Menurut gue sih lo gak akan bisa nyalahin seorang cewek yang jadi matre selama mereka punya modal buat jadi matre."
"Jadi lo ngaku kalau lo matre?"
"Memangnya kalau Elon Musk mau sama gue, terus gue harus nolak dan milih seorang cowok yang lebih jelek dari dia? Cuma supaya biar gue nggak dikatain matre gitu? Lo juga nggak akan bisa nyalahin seorang cewek yang lebih milih naik merci dengan cowok tukang mukul ketimbang dibonceng sepeda onthel sama orang berhati malaikat sekali pun. Orang berhak memilih di jalan mana mereka menemukan kebahagiaannya. Lo nggak bisa maksa mereka jadi orang alim kalau mereka memang nggak mau jadi orang alim. Yang penting itu, kebahagiaan diri sendiri nomor satu..."
Getaran di saku blazer Nadya menginterupsi pidatonya siang itu. Bahkan Meita melupakan nasi rendangnya. "Entar ya, si Dion nelepon. "
"Ya, Yon?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...