Hubungan mereka berubah canggung.
Setidaknya, itu terjadi dari pihak Nadya.
Sementara Nares tetap bersikap seperti biasanya.
Anehnya, hal itu justru mengusik ketenangan Nadya.
Pagi ini, ketika Nadya mulai dengan menyortir email untuk diteruskan ke Nares, pria itu datang pukul sembilan dan tersenyum padanya seperti biasa. Seolah- olah, penolakan Nadya nggak berarti apa pun bagi pria itu.
Akan tetapi kegelisahan hati Nadya sama sekali nggak beralasan, tetap bertahan hingga jam makan siang. Hari itu, ia nggak fokus melakukan pekerjaannya.
Yang ada di pikirannya hanya seorang Nareswara Mahendradatta.
Yang mana hal itu sangat amat aneh. Karena kemarin- kemarin sewaktu pria itu menunjukkan minatnya untuk mendekati Nadya lantas pada akhirnya mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, Nadya tanpa pikir panjang, menolak.
Sekarang, hingga gadis itu duduk di kantin lantai satu Chronicles Building, sementara gado- gado siram Surabaya menunggu untuk dimakan, Meita dan Yuna mengamatinya sambil saling tatap sesekali.
"Kenape dia?" tanya Yuna, yang dibalas Meita hanya dengan mengangkat bahu. "Kemarin masih nggak apa- apa kok. Masih oke- oke aja." Meita menyambung, seraya menyuap nasi ayam bakar yang dipesannya.
"Barangkali mantannya balik," Yuna ikut mengangkat bahu, lalu menyuap nasi soto Betawi pesanannya. Tanggal tua begini, kantin lantai satu sudah cukup untuk meredakan lapar bagi perut- perut para budak korporasi.
Naik level sedikit mungkin nasi padang atau Hokben . Selamat tinggal Gyuka- ku, Sushi Tei, atau tempat makan di mal. Saat- saat begini, uang receh pun bakalan terasa seperti penyelamat hidup.
"Eh, tumben tuh Bos lo maksi di sini?" Meita menyenggol pundak Nadya yang belum juga mengakhiri sesi bengongnya. Tapi yang disenggol sama sekali nggak merespon. Meita mengernyit ke arah Yuna yang duduk di sampingnya.
Yuna juga menggeleng. Benar- benar clueless. Nggak tahu, apa yang sudah terjadi sama rekan sejawat mereka yang mendadak lebih banyak diam dan bengong. Padahal, itu bukan kebiasaan Nadya.
"Nyokapnya, kali..." Yuna mulai menebak- nebak. Biasanya, setelah menerima telepon dari mamanya, Nadya selalu bad mood seharian. Tapi nggak sampai yang bengong begini. Ini agak langka bagi kedua sahabatnya itu. Pantas kalau mereka sampai terheran- heran.
Kebisuan Nadya baru sembuh ketika Nares menghampiri meja mereka bersama Dessy dan Dion. Mereka bertiga rupanya sudah menyelesaikan makan siang. "Gado- gadonya nggak enak ya? Dari tadi aku perhatiin cuma diaduk- aduk aja. Nggak di makan. "
Seolah baru disiram air mendidih, Nadya berjengit kaget, merasakan kehadiran sosok Nares yang menjulang di samping kursinya. Nadya gelagapan. Menoleh ke kiri kanannya. Kedua sahabatnya terdiam. "Kenapa sih?"
Yuna mengarahkan mata ke samping Nadya. Gadis itu mengikuti arah pandangan Yuna, kaget begitu mendapati sosok Nares yang masih mengumbar senyuman lima jarinya.
Di samping Nares, tampak wajah datar Dion dan muka jutek Dessy yang seolah- olah ingin segera angkat kaki dari tempat itu.
"Pak Nares?" Nadya bertanya dengan ekspresi bingungnya. "Ngapain di sini , Pak?"
"Lagi nyalon," Dessy menyahut tetap dengan muka jutek yang kayaknya memang sudah setelan permanen dari gadis bertubuh kerempeng itu.
"Kamu belum kelar makannya? Asyik banget ngelamunnya."
"Oh," Nadya menyadari tangannya masih memegangi sendok. Isi piringnya yang nyaris utuh, sudah nggak jelas lagi bentukannya. Seharusnya tadi ia memesan gado- gado siram, tapi kini yang tersaji di hadapannya mirip seperti bubur. Campuran kentang, tahu, tempe, lontong, sayuran, telur rebus, emping dan saus kacang itu sudah berubah bentuk jadi sesuatu yang nggak jauh dari muntahan bayi.
Serta- merta, Nadya meletakkan sendoknya. Wajahnya kelihatan gugup banget. "Oh," gumamnya nggak jelas. "Habis ini mau ada raker, kamu siapin materi yang udah dikasih Dion tadi pagi. Udah diterima kan?"
Rapat?
Rapat apa ya?
Nadya mencoba menggali ingatan. Mengorek- ngoreknya. Emang si Dion ada kirim surel ke dia?
Kepalanya menengadah menatap Dion yang menggeleng dengan bibir ditipiskan. Pria itu bahkan tampak menggeleng samar. Pertanda bahwa nasib Nadya bakalan tamat. " Ya udah," ujar Nares ceria, "kayaknya, kamu perlu pesan makanan lagi. Saya tunggu sampai jam setengah dua. Rakernya jam tiga kok." Kemudian, pria itu melenggang. Diikuti Dion yang memasang ekspresi sedatar tembok dan tatapan tajam dan meremehkan dari Dessy yang sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Berlagak seperti bos besar.
"Hoki banget lo dapet Nares!" Yuna berseru. "Nih, ya, kalau itu bos gue, meski orangnya kelihatan gampang dan royal, tapi Rifat tuh suka nuntut ketepatan waktu!" Yuna memutar bola matanya ke atas. "Dan lo nggak akan mau jadi loser di tim marketing."
"Kalau Pak Dharma sih santai!" Meita menimpali.
Nadya tiba- tiba berubah kesal pada celotehan kedua sahabatnya. "Lo pada nih ngomong apaan sih?!"
"Tuh, bos lo."
Giliran Nadya yang memutar bola matanya. Dia sebenarnya masih punya sedikit kecemburuan melihat kedekatan hubungan antara Yuna dan Rifat. Meski saat ini dia sendiri Masih bingung menentukan perasaannya.
***
Untung saja ada Dion!
Pria itu menyelamatkan Nadya dari mati kutu dan rasa malu, lantaran hari itu Nadya memang benar - benar luput mengerjakan tugasnya. Seharusnya, Nadya menyalin dan memfotokopi materi rapat divisi IT untuk hari itu. "Lo kenapa sih?" Dion akhirnya bertanya. "Seharian ini bengong melulu," pria itu terdengar sangat kesal, "kalau emang lagi ada masalah, lebih baik nggak usah dibawa- bawa ke kantor."
Nadya yang nggak suka dengan nada bicara Dion, mendengus. Dion boleh saja jadi penyelamatnya hari itu, tapi pria itu nggak punya hak berbicara dengan ketus gitu ke Nadya.
"Eh, tadi tuh gue lagi sibuk nyortir email!"
"Masa nyortir email bisa sampai setengah hari begitu?" Dion menatap Nadya dengan sorot meremehkan.
"Oh, lo nggak percaya?" Nadya mengangkat alis, menantang. "Asal lo tahu, ada 500 lebih email yang masuk. Lo sih enak nggak perlu merhatiin hal remeh- temeh kayak gitu..."
"Kalian lagi ngapain?" terdengar suara pintu yang terbuka, kemudian ditutup secara perlahan. Nares melangkah mendekati meja Nadya. Kedua tangannya dibenamkan ke dalam saku celana bahan warna hitam yang saat itu dikenakannya. Baik Nadya maupun Dion menoleh ke arah sumber suara.
Nares berdiri di samping meja. Ada sesuatu yang membuat penampilan pria itu berbeda. Nadya dengan matanya yang tajam, mengamati lebih lanjut untuk mencari tahu perbedaannya.
Dia jelas tahu kalau tatanan rambut Nares memang sudah berubah lebih rapi, karena dirinya sendiri yang mengantarkannya ke salon untuk dipermak.
Kumisnya bersih. Tidak ada cambang.
Oh, Nadya tahu!
Kemeja Nares. Hari itu bosnya memakai kemeja warna teal yang terlihat amat cocok dikenakannya. Dasi hitam menggantung di lehernya. Sekilas, memang nggak ada perbedaannya. Hanya saja harus Nadya akui bahwa kini penampilan si Bos tampak lebih rapi dan menyenangkan. Enak buat dipandang. Hingga gadis itu agak terpana.
Tapi entah mengapa ada yang lain dari caranya merasakan senyuman di wajah itu? Seolah- olah, baru pertama kalinya Nadya bertemu dengan Nares. Sebuah pertemuan pertama yang membuatnya terkesan dan terpesona.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...