"Nik, kamu lagi di mana? Pulang ndak bilang- bilang Nenek!" lantang suara Nenek menyerbu indera pendengaran Nadya. Padahal baru bangun tidur."Maaf, Nek." Ujar Nadya gugup. "Setelah bersihin rumah, Nadya ketemu teman kemarin." Kilah gadis itu. Males juga, baru bangun tidur sudah diomelin!
"Kamu ke sini dong, Nik. Nginep sini. Ngapain tinggal sendirian di apartemen. Nanti Nenek minta Pak Muin buat jemput, ya. Bawa salin yang banyak!"
"Ya, Nek!"
"Kamu ini, punya keluarga di sini kok malah nekat tinggal di apartemen sendirian! Mamamu kan sudah seminggu lebih perginya, Nik. Pasti nggak ada makanan kan di sana? Sudah Nenek nanti minta Mbak Ju bikin rawon sama ote- ote!"
"Makasih, Nek. "
"Sekarang, lho, Nad! Ndak pake nanti!" gertak neneknya tanpa ampun.
"Iya, Nek."
"Kamu mau ote- otenya diisi pakai apa? Daging sapi, ayam, udang, apa telor?"
"Telor aja deh nek!" tukas Nadya cepat. "Jangan lupa buatin sambel kacangnya ya, yang di pecel semanggi itu. Yang ada telo nya. Yang itu manis, Nadya suka!"
"Wis beres nek kuwi, Nik. Yang penting kamu buruan ngepak barang- barangmu, lho yo!"
"Iya, Nenek!"
Panggilan telepon terputus. Nadya menatap layar ponselnya yang menggelap. Segelap hatinya yang hampa.
***
Pak Muin memang tiba pukul sebelas. Untung Nadya tinggal memasuk- masukkan pakaiannya yang nggak banyak itu. Dari Jakarta ia memang cuma bawa baju sedikit. Rencananya mau shopping di PGS atau Pasar Turi atau Pasar Atom atau mal. Sudah lama dia nggak menjelajah pusat perbelanjaan di Surabaya.
Dia bahkan kangen berpanas- panasan naik bus ke CITO-- City Of Tomorrow-- barang Dhira, Sarah dan Ovie. Atau ke Pakuwon City, Tunjungan dan BG Junction. Bahkan, sewaktu masih kuliah, pernah mereka bikin foto- foto di sekitar Tunjungan. Waktu itu sedang Imlek dan vibe di sana mirip seperti di Hong Kong.
Mbak Ju memang sudah menyiapkan makanan lengkap di atas meja. Rumah Nenek yang tergolong besar, berada nggak jauh dari universitas Tujuh Belas Agustus. Di samping rumah itu, dibangun kos- kosan enam tingkat, yang juga milik neneknya.
Jadi, meski tinggal sendirian di rumah sebesar itu, Nenek nggak pernah kesepian.
"Walah, Nik... kamu kok tambah cantik begini? Nenek sudah kangen. Padahal baru dari Jakarta, kan?"
"Memang Tante Ellen nggak pernah kemari, Nek? Kok kayaknya Nenek kesepian banget."
"Sebastian itu sering ikut olimpiade, lho, Nik. Baru saja menang tingkat regional. Jadi ya Tantemu itu sibuk ngawasin belajarnya!" Nadya mengangguk dengan mulut mencibir. Tantenya itu memang luar biasa perhatian dengan pendidikan sang anak.
Tante Ellen punya dua anak. Yang sulung bernama Olivia, berusia 15, dan Sebastian 11 tahun. Tapi karena terlihatnya Nenek lebih menyayangi Tian, Tante jadi cenderung lebih memperhatikan si bungsu. Untung si Oom yang paham dengan situasinya, memberikan asupan perhatian yang cukup untuk Olivia, sehingga gadis itu nggak terlalu merasa tersisih.
Padahal sebagai pemborong rekanan pemda, Oom sangat sibuk. Mereka sekeluarga tinggal di Pondok Chandra yang jaraknya lumayan dari rumah Nenek.
***
Di atas meja tersaji hidangan rawon dengan kondimen superkomplet. Ada tempe goreng, mendol, telur asin, paru goreng, sambal terasi, kecambah kecil. Rawon buatan Mbak Ju sejak dulu memang sensasional! Yang di resto aja kalah!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...