Beberapa hari kemudian, ketika Nares sudah kembali masuk kantor, Nadya menyeret pria itu ke salon langganannya di Kebayoran Baru.Seorang hairstyles mendudukkan Nares di sebuah kursi putar. Mengamati pria itu seolah- olah ia adalah objek penelitian. "Sebenarnya, oke juga nih cowok!" Jesse, nama si pemilik salon tersebut, yang sejak tadi menyangga dagu, sembari mengamati Nares, berkata pada Nadya. "Hanya aja yah ... menurut gue seharusnya kita memang butuh polisi rambut!" Ia berjalan menjauhi kursi Nares.
"Dittiiiii!" teriak pria itu dengan nada yang melengking, mengalahkan penyamyi soprano. "Dittiiii!!!"
Nares berjengit. Dia nggak tahu ke tempat macam apa Nadya membawanya kali ini. Dia manut- manut saja karena Nadya yang mengajak. Kalau orang lain sih disogok pakai Bugatti Veyron limited edition pun dia bakalan menolak. Tapi ini Nadya.
Rifat mengatainya bucin. Tapi Nares sama sekali nggak peduli. Selama dia bisa berada di dekat Nadya, dia akan melakukan apa saja yang diminta gadis itu. Termasuk mendatangi salon yang terlihat seperti rumah bordil setting dari film- filmnya Wong Kar Wai ini.
"Ini rambutnya mesti dipangkas ih!" kata Jesse. "Udah mirip kebon. "
"Makanya gue bawa ke sini, Jesse. Gue tahu, lo yang terbaik!"
"Of course!" Jesse mengangguk mantap. "Nggak ada yang sebagus Jesse Norman." Ujarnya. "Jadi, Mari kita kerjakan. "
Seorang pria teramat kurus datang membawa perlengkapan. Segera saja, di bawah pengawasan Jesse, pria itu memangkas, menggunting, dan merapikan rambut Nares yang kacau tadi.
Sekitar empat puluh menit yang menyiksa, karena Diti-- si asisten Jesse-- itu menggunakan teknik yang rumit. "Cocok buat muka dese."
"Jadi mirip Fedi Nuril, ih!" Jesse berteriak girang. "Cucok meong!"
Nadya memutar bola mata.
Jesse Norman memang nggak ada duanya.
***
Nadya terus- menerus memandangi Nares dari belakang. Mereka sekarang lagi jalan di mal dekat salon. Sudah masuk jam makan siang.
Sebenarnya, bisa dikatakan, penampilan Nares sih agak berubah. Rambutnya kini lebih rapi. Lebih modis. Dan hal itu, membuat wajahnya terlihat lebih menarik.
Sayang banget tubuhnya masih kelewat kerempeng.
Lurus kayak lidi.
"Nad..." Tiba- tiba, pria itu berbalik. "Kok kamu jalannya jadi di belakang? Aku nggak ada ide kita harus makan ke mana?"
"Euh... Pepper Lunch?"
"Kamu mau makan itu?"
"Emang bapak mau makan apa?"
Nadya sih sudah tahu jawabannya.
"Terserah. Aku juga baru sekali cobain Pepper Lunch. Seingatku rasanya lumayan." Ujarnya.
Dahi Nadya mengernyit. Merasa aneh karena Nares mau- mau saja dibawa ke mana pun hari ini. "Kalau Pak Nares lebih suka makanan Jawa sih..."
"It's okay, Nadya. Aku ikut kamu. " Pria itu tersenyum sabar. Seperti seorang kekasih yang memuja perempuannya. "Tapi kamu jalannya jangan di belakang gitu. Aku jarang nge- mal soalnya. Jadi nggak gitu paham sama tempat yang kamu maksud itu."
Nadya meringis. Kemudian ia melangkah di depan Nares, membuat pria itu menggeleng- geleng.
Padahal, ia ingin sekali Nadya berjalan di sampingnya. Mereka bisa jalan sambil mengobrol.

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
Жіночі романиKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...