Rencana Berliana mulai menunjukkan hasil. Belakangan ini, perempuan itu memang kerap terlihat wara- wiri di Chronicles Building. Entah itu saat jam makan siang, atau ketika bubaran kantor.
Bahkan, beberapa kali, para staff IT memergoki Berliana yang duduk santai sambil scrolling handphone di sofa ruangan Nares dengan nyaman. Seolah- olah, itu memang tempatnya bersantai sehari- hari.
Tentu saja hal itu bikin Nadya dongkol bukan main. Dia jadi gampang tersinggung dan uring- uringan, membuat Meita dan Yuna terheran- heran dengan tingkahnya yang mirip kucing musim kawin.
"Lo ini sebenarnya kenapa? Semingguan ini, gue perhatiin tingkah lo aneh banget. Nggak dapet jatah lo!"
Nadya memandang Meita dengan sengit. Siang itu, mereka berdua makan di pantry. Dua bungkus nasi padang dan dua gelas es teh tawar cukup untuk meredakan gejolak perut yang lapar. Gajian sudah lewat semingguan dan uang yang nggak seberapa itu pun sudah ada pos- posnya.
Nadya menatap lesu ke nasi padang yang kali itu berisi lauk ayam bakar dan perkedel kentang. "Nggak usah mupeng sama Gyuka-ku." Meita menggumam di tengah- tengah suapan gulai tunjang favoritnya.
Nadya nggak lagi kepingin Gyuka-ku kok. Tapi tadi si Berliana itu datang dan bawa rantangan buat si bos.
Pintu pantry menjeblak terbuka. Keduanya langsung mengalihkan pandangan. Seorang pria jangkung dalam balutan kemeja Ermenegildo Zegna warna biru es, model slim fit. Tatanan rambut crew cut nan rapi dan wajah yang kaku. Pria itu sama sekali nggak mempedulikan kehadiran Nadya. Tatapan matanya lurus ke arah Meita. "Kalau lo udah selesai, langsung ke ruangan gue." Tanpa menunggu tanggapan dari Meita, ia lantas ke luar dari pantry.
Seketika, Nadya melupakan masalahnya sendiri, dan mulai tertarik mengorek gosip dari Meita yang mempercepat makannya. "Belum ada yang cerita ke gue kalau Pak Dharma udah digantiin sama Nico?" cecar gadis itu.
"Masa sih? Perasaan udah heboh deh. Bahkan Mbak Anneke dan Felix saja sudah heboh kok," dengan cueknya, Meita menandaskan makanannya. Gadis itu kemudian bangkit, melempar bungkus nasi ke tempat sampah dan mencuci tangan di wastafel. "Gue duluan!"
"Eh, lho!" Nadya melotot. Tapi dia nggak bisa mencegah kepergian Meita. Karena makanannya sendiri masih tersisa banyak.
Gadis itu tampak sangat kesal. Gara- gara semingguan ini dirinya disibukkan oleh perasaannya yang kacau akibat seringnya kunjungan Berliana ke kantor Nares, dan sikap si bos yang sama sekali nggak keberatan dengan kunjungan perempuan itu yang cenderung welcome, membuat perhatiin Nadya hanya terpusat pada Nares.
Padahal seharusnya dia nggak ketinggalan gosip tentang berita resign Pak Dharma yang kabarnya sudah menggugat cerai Bu Dharma demi seorang model pendatang baru yang berbodi seperti Alessandra Ambrosio lima belas tahun yang lalu.
Sekarang yang menggantikan Pak Dharma adalah Nico, putra sulung Pak Dharma.
Kabarnya, sebelum ini, Nico bekerja di Surabaya, selama dua tahun. Pria berusia 29 tahun itu memang sempat diragukan kapabilitasnya untuk menggantikan posisi Pak Dharma. Namun, dengan gigih, Bu Dharma yang juga punya saham di Golden Epona tetap memperjuangkan posisi putranya.
Lagi pula, Nico lulusan Melbourne. Tentu saja dia akan sanggup menggantikan Pak Dharma. Meski sebagian besar orang meragukan kemampuan pria itu. Termasuk Reagan sendiri.
***
Nares menyadari, belakangan ini dirinya lebih sering menghabiskan waktu bersama Berliana.
Perempuan itu kerap muncul tiba- tiba saat makan siang. Berinisiatif membawakannya makanan. Entah itu dari restoran langganannya, dari katering, atau hasil masakannya sendiri.
Lalu, seolah-olah itu belum cukup, pada waktu senggangnya, Berliana akan muncul pada jam- jam pulang kantor. Meski Nares sering menghabiskan waktu di kantor, namun Berliana seperti nggak kehilangan akal.
Perempuan itu akan duduk santai di sofa, menghadapi handphone atau tabletnya. Membuat para staff Nares menjadi canggung karenanya.
Seperti malam itu.
Ia melihat Rama, Verka dan Dion sedang ribut di depan meja Dion. Pengalihan jalur dari pantai utara Jawa ke jalur lintas selatan, membuat divisi IT sangat sibuk belakangan ini.
Banjir dan perbaikan jalan di jalur pantura membuat pengiriman barang sedikit tersendat. Golden Epona banyak menerima komplain dari perusahaan yang menggunakan jasa mereka.
Dan permasalahan itu cukup menyibukkan Nares serta mengalihkan perhatiannya dari Nadya.
Dari dinding kaca yang membatasi antara ruangannya dengan ruangan Dion dan Nadya, Nares dapat melihat Rama dan Verka masih berdebat dengan Dion.
Kaca itu biasanya tertutup oleh partisi bila Nares menginginkan privasi. Namun, selama menjabat sebagai direktur IT, Nares jarang memerlukan privasi.
Termasuk saat ini.
"Itu staff kamu lagi pada ngapain sih, Res. Udah jam segini nggak pada pulang?"
"Lembur mereka." Jawab Nares enteng. Kepalanya tetap melongok, menyapu area luar ruangannya. Dia mengernyit saat nggak mendapati sosok Nadya yang sepertinya setengah jam yang lalu masih duduk di tempatnya.
"Lembur?" ulang Berliana, seraya mengangkat sebelah alisnya, "kayaknya semingguan ini sering banget lemburnya." Berliana mendesah, lalu menegakkan tubuhnya. Ia menatap Nares lurus- lurus. "Terus, kapan kamu punya waktu buat diri kamu sendiri? Kapan kamu punya waktu untuk kita?"
"Kita?" Nares membeo dengan ekspresi nggak mengerti.
"Res, aku kira kita berdua ini bukan remaja labil lagi lho. Tentunya kamu tahu, bahwa motivasiku sering ke sini belakangan ini adalah buat menemui kamu. Dan tentu saja aku nggak akan melakukannya seandainya aku nggak punya maksud. Dan maksud aku adalah..." Kepalanya menunduk, sebelum serentetan kalimatnya membuat Nares sedikit terkejut. Meski ia nggak kaget. Karena seperti apa yang diungkapkan Berliana barusan, mereka berdua memang sudah terlalu dewasa untuk sekedar saling menerka maksud satu sama lain. "Aku penginnya kita kayak dulu lagi, Res. Hubungan aku sama kamu yang dulu berjalan nggak baik, bisa terulang lagi." Tegas Berliana tanpa terdeng aling- aling.
Nares hanya menatapnya saja.
Pria itu tentu saja hafal dengan karakter perempuan yang kini menatapnya dengan kepercayaan diri penuh. Berliana sejak dulu adalah sosok yang tahu apa yang dia mau, serta berusaha sedapat mungkin untuk mewujudkan keinginannya.
Buktinya, dia rela meninggalkan Nares dan hubungan mereka yang dulu baik- baik saja, hanya karena mantan kekasih perempuan itu kembali menampakkan batang hidungnya.
"Gimana, Res?"
Nares menghela napas berat, kemudian mengembuskannya dengan perlahan. Ia kemudian melepaskan kacamata, mengelap benda itu dengan ujung dasi suteranya-- yang kalau ketahuan Nadya, bisa dikecam habis- habisan oleh gadis itu--- hmmm, mengingat nama gadis itu saja, hati Nares kembali menghangat. Ia jelas- jelas merindukan untuk melihat gadis itu. Dan tingkahnya yang absurd.
Nares memijat pangkal hidungnya yang mancung. Sementara Berliana menatapnya dengan sorot mata menunggu jawaban dari pria itu.
Jujur, ini momen yang sangat awkward bagi Nares. Dia nggak mungkin membuat Berliana malu dengan jawabannya. Karena, sejujurnya, sejak penolakan Nadya, yang Nares pikirkan hanyalah pekerjaannya. Dia belum tertarik untuk menjalin hubungan kembali dengan seorang.
Meski orang itu semenarik Berliana Varaiya. Seorang dokter selebriti yang masih kerap muncul di televisi. Acara talkshow bertema kesehatan. Terutama infotainment.
Ketika bibir pria itu hendak terbuka untuk menyampaikan jawabannya, pintu ruangan menjeblak terbuka, dengan Rama yang menerobos masuk disusul oleh Verka. Keduanya cengengesan nggak jelas dan Nares nggak pernah merasa se- bersyukur ini, dengan kelancangan kedua staffnya yang mendadak itu.
"Selamat malam, Bos." Rama memulai, Nares mengangguk. "Begini... eungh... karena kami nggak... eh, karena Verka punya kencan malam ini, jadi kami sepakat untuk mempercepat pekerjaan. Ini hasilnya. " Rama menyerahkan tablet sepuluh inchi yang sejak tadi digenggamnya.
Masih sambil cengengesan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
Literatura FemininaKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...