"Ini jadwal Bapak hari ini," Nadya agak membungkuk di samping kursi Nares yang pagi itu baru saja tiba. Tetap dalam gaya yang biasanya, yang membuat Nadya nyaris memutar bola mata, ketika melihat pria itu muncul di ambang pintu ruangan.Dengan kemeja warna biru dan celana bahan, jas warna hitam dari Brioni, sehelai dasi yang dibeli di mal dengan bantuan Nadya-- karena kalau tidak begitu, pasti Nares akan mengambil warna hitam garis- garis-- serta rambut yang sudah menyentuh kerah kemeja.
"Potong rambut?"
"Rambut Pak Nares sudah panjang banget." Kata Nadya ogah- ogahan. Sebagai sekretaris, sebenarnya, mengingatkan soal potong rambut bukanlah tugasnya, namun ia benci melihat atasanya mondar- mandir dengan rambut yang bisa membuat gadis itu terkena mental breakdown ketika melihatnya.
Modelnya itu lho, sumpah dangdut banget!
Pemandangan bagus saat bekerja membantu meningkatkan mood. Dan Pak Nares ini sebetulnya lumayan juga, kalau selera berpakaian dan rambutnya tidak sekacau ini.
"Oke, di mana saya harus potong rambut?"
"Di mal sebelah?" ujar Nadya agak ragu.
"Cokelat yang kamu pesan nanti minta ke Dion ya? Kemarin dari bandara, Dion dijemput pacarnya. Jadi, kita naik mobil pacar Dion. Sepertinya, oleh- oleh buat kalian ketinggalan di sana," kata pria itu dengan matanya yang hangat tertuju pada Nadya seorang.
"Itu kalau belum diembat sama pacar Dion sih, Pak. " Nadya agak kesal juga. Rencananya, pagi ini, kalau oleh- oleh titipannya sudah ditangan, dia mau menyisihkan buat Rifat, sebelum dibagi- bagikan ke para sekretaris lain.
Nares menatap wajah merengut itu sejenak, kemudian seolah ada yang berdesir dalam dadanya. Pria 36 tahun itu seketika jadi salah tingkah. "Saya pastikan itu tidak akan terjadi."
Nadya yang sudah badmood, tidak lagi memperhatikan si Pak Bos yang mulai meneliti agendanya. "Kalau gitu, saya permisi dulu, Pak. " Tanpa menunggu jawaban dari bosnya, Nadya berbalik dan melangkah menuju pintu.
Di belakangnya, mata Nares tak lepas mengawasi punggung gadis itu. Kemudian menggeleng dengan seuntai senyuman malu- malu di bibirnya, sebelum menunduk.
***
"Bos lo baru balik dari Swiss, kan? todong Yuna, begitu Nadya mendaratkan bokong di kursi Gyuka-ku Pacific Place, tempat mereka janjian makan siang hari itu. "Mana oleh- oleh buat gue?" gadis itu menengadahkan tangannya.
"Ada. Nanti pasti dianterin. " Jawab Nadya malas- malasan.
Alis Yuna menukik. Tidak biasanya ia melihat Nadya versi linglung begini. Biasanya, gadis itu selalu semangat untuk mengorek informasi dari segala penjuru kantor, demi mendapatkan berita terkini.
Terakhir ada gosip bahwa manajer PR mereka si Cacha jalan sama anak purchase. Padahal usia Cacha sudah lewat tiga puluh, sementara si anak purchase baru 27 tahun.
Di balik punggung Cacha, banyak yang mengatainya tak tahu diri.
Dan atas gosip itu, Nadya masih sempat nimbrung sama Lola dan Nita, anak resepsionis. Tapi hari ini tampaknya dia sedang terkena sesuatu bernama sindrom gagu, yang membuatnya mengalami gangguan bicara.
"Btw, hari ini lo diam banget? Tumben. " Makanan yang mereka pesan sudah datang. Dan pramusaji mulai mengatur arang di hibachi. Nadya meneguk ocha dinginnya.
"Kayaknya kalau gue tajir, gue bakalan berhenti kerja deh," ujar Nadya tiba- tiba. Matanya kelihatan menerawang. Sepertinya roh nya juga ikut melayang pergi dari restoran itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...