Suara Chris Martin mengalun dari pemutar suara dalam mobilnya yang melaju menuju kantor pagi itu. Nadya dalam balutan atasan warna putih mutiara yang dipadukan dengan rok pensil warna cokelat moka. Kakinya masih terbalut sandal, sebelum ia nanti akan menggantinya dengan sepatu hak tinggi yang ia letakkan di jok samping.Rutinitas begini, terkadang membuatnya begitu bosan . Pergi ke kantor pukul setengah tujuh, kalau tidak mau terlambat sampai di kantor. Macet sudah seperti keniscayaan, kecuali kamu punya helikopter atau kendaraan yang bisa terbang, kamu sudah pasti barang tentu bakalan terjebak di kemacetan lalu lintas pagi Jakarta yang kacau bukan main, bersama jutaan penduduk lainnya.
Nadya mendesah. Kencannya dengan Yohan berakhir hambar. Dia mulai bosan dengan pria itu. Pada dasarnya, dia mulai bosan dengan para pria yang belakangan ini ditemuinya.
Gadis itu mengeluarkan sebungkus permen rasa jeruk. Mengetuk- ngetuk permukaan roda kemudi bersamaan dengan munculnya suara Taylor Swift yang melantunkan I Knew You Were Trouble. Nadya rasa lagu ini memang everlasting. Meskipun populer di tahun 2011, hingga kini ia masih menikmati lagu ini.
Dulu, ketika masih memakai seragam putih- biru, Lei dan dirinya, akan berlomba- lomba menghafalkan lagu- lagu milik Tay- Tay. Mereka berdua memang penggemar berat penyanyi yang mengawali karirnya di jalur musik country tersebut. Ia sangat menyukai yang berjudul Red, You Belong With Me, Love Story. Sementara Leira menyukai Blank Space dan terus menyanyikan lagu itu hingga Nadya muntah mendengarnya.
Moodnya kembali membaik setelah mengingat hal- hal kecil itu. Seperti biasa, ia akan berhenti sejenak untuk kopi paginya di Buttercup's, memesan Americano dan dua butter croissant, saat hendak berbalik setelah mendapatkan pesanannya, gadis itu mengurungkan niat. Ia membeli dua cup lagi. Dua kopi Sidikalang ukuran medium.
***
"Bos lo... emang nggak punya kemeja selain warna biru mengerikan itu ya?" komentar Meita, ketika ia mampir ke ruangan Nadya untuk mengajaknya turun. Siang ini, mereka berencana untuk makan di restoran Manado. Keduanya mengidam sambal ikan cakalang dan bakwan jagung. "Belum lagi rambutnya," lanjut Meita. Seolah- olah belum puas menguliti Nares yang selalu muncul dalam kemeja biru setiap pagi. " Ini sorry to say, loh, ya. Tapi menurut lo apa rambutnya itu bahkan dikeramasin?"
Nadya menipiskan bibirnya menjadi satu garis lurus. Merasa putus asa bercampur jengkel dengan pembicaraan ini. Bukannya dia tidak mengingatkan bosnya itu untuk membeli kemeja dengan warna lain dan potongan yang layak. Halo? Bisa dibilang, dia itu kan bangkotannya IT. Ya, dia tahu, bosnya memang pecandu teknologi dengan tampilan seperti aktivis kampus yang jarang mandi. Tapi dia memang kelihatannya jarang mandi.
"Lo tahu, meski bos gue yang paling tua bangka di jajaran BOD, tapi lo perhatiin, deh. Necis banget dandanannya!"
"Bos lo mah beda level!"
"Atau mungkin memang orang IT itu cenderung berpenampilan membosankan?"
"Ah, nggak juga sih kayaknya. Lo liat, si Mark Zuckerberg? Atau Dion, deh?" tanya Nadya, seolah tak terima dengan stereotip yang berkembang bahwa para IT guy ini memang punya kecenderungan tidak mempedulikan penampilan mereka. "Emang bos gue aja yang parah. " Ia akhirnya menukas sebal.
***
Sementara Nadya dan Meita duduk manis di restoran Manado yang letaknya berada di balik gedung kantor mereka, Nares masih sibuk berkutat dengan komputer di ruangannya bersama Dion.
Perutnya keroncongan, Dion meringis ke arahnya. "Laper nggak, Yon?"
"He'eh, Pak."
"Jam segini, enaknya apa ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...