Chapter 32

15.5K 1.2K 53
                                    

"Kok Bapak begini sih sama saya?" Nadya menggerutu. Dia merasa telah dijebak oleh Nares. Dan oleh keluarganya.

Rupanya, Nares ke Surabaya membawa serta kedua orangtuanya, kakak perempuan beserta suami dan anak- anaknya. Bahkan Dion, Firman, Rama, sampai Dessy, pun diangkut untuk memberi dukungan moral pada bos yang berjuang mati- matian untuk mendapatkan Nadya sebagai calon istri.

Alleira bahkan rela langsung cabut ke Surabaya sepulangnya dari Tokyo. Belum sempat mampir pulang ke apartemennya.

Dan yang bikin Nadya makin sebal, neneknya menerima lamaran itu dengan senang hati. Terkesan lega malah. Nenek juga bilang bahwa mama telah dihubungi. Untuk yang satu ini, sikap Nenek agak tertutup dan Nadya ingin segera mencari tahu tentang keadaan mamanya.

Alasan Nenek menerima lamaran Nares agak konyol. Jadi, begitu mengetahui sang anak sedang merana akibat ditinggal Nadya pergi cuti, Ibu Nares langsung menghubungi Nyonya Dinata.

Ibu Nares mengatakan bahwa beliau sebenarnya naksir Nadya dan ingin mengambil gadis itu sebagai menantu. Bahkan, ibu Nares juga sempat- sempatnya mengirim CV Nares, ijazah kuliah di ITB, lalu yang di MIT, beserta portofolio saham, sampai slip gaji dan segala tetek bengek lainnya  seperti tes HIV, kartu vaksin, dan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, yang membuat Nyonya Dinata yakin, bahwa bersama Nares, hidup Nadya akan bahagia.

Dan karena sudah ditodong, Nadya nggak mampu menolak. Sekarang, di sini, di Grand City Gubeng, keduanya sedang makan siang di restoran yang menyajikan masakan Cina.

Nares merengut. "Kok kamu manggilnya tetep Pak, sih? Kan calon suami?"

"Ih," Nadya melengos. "Geli tahu!"

"Nad, " ujar Nares lembut. "Kamu nggak nyesel kan, terima saya?"

"Bapak mau jawaban jujur apa ngaco?"

"Tentu saja yang jujur, dong. Masak ngaco?"

"Jujur aja saya menyesal!" cerocos Nadya. Lalu ia mengangkat tangannya. " Tapi cincinnya bagus sih," ujarnya. Alih-alih tersinggung, Nares malah tertawa geli.

"Sekarang panggilnya jangan Bapak, ya? Panggil nama langsung aja. " Nares membujuk. "Masa kita udah nikah, terus kamu manggilnya Bapak gitu kan nggak asyik!"

"Belum- belum udah mikirin yang asyik- asyik!" gerutunya, lalu meneguk minuman sarang walet yang mahalnya minta ampun. Tapi memang Nares sendiri yang menyeret Nadya ke restoran itu. Katanya, dia nggak mau sembarangan ngasih makan calon istrinya.

"Kenapa sih, Bapak tahan sama saya? Sudah pernah ditolak juga!"

"Karena meski galak, kamu tuh yang pertama kali perhatian ke saya. Saya nggak bisa move on waktu kamu ngerawat saya pas lagi sakit dulu." Terang Nares. "Bahkan, kamu rela naik ke ranjang saya, pelukan kamu waktu itu membuat  badan saya  membaik. Apalagi kamu nggak jijik lihat saya muntah. Kamu sebenarnya nggak galak, Nadya. Kamu sebenarnya baik. Dan saya nggak akan mengubah apa pun dari diri kamu. Saya suka kamu yang galak dan jutek gitu. Saya jadi kayak berinteraksi sama manusia betulan karena emosi kamu yang transparan dan meledak- ledak itu bikin saya nggak perlu menebak- nebak lagi."

***

Pernikahan itu digelar di dua tempat. Surabaya di Wyndham hotel, sementara yang di Jakarta di selenggarakan di sebuah hotel bintang lima yang bertempat di Kemang.

Total tamu ada 1.200 undangan di Surabaya, dan 1. 200 undangan di Jakarta. Nadya gempor karena harus berdiri selama enam jam setiap resepsi.

Malam itu, selepas resepsi yang berakhir pukul satu dini hari, Nadya langsung ambruk telungkup  di ranjang hotel yang telah dijadikan kamar pengantin mereka. "Capek?" Nares memijat punggung istrinya.

Nadya yang sudah nggak sanggup berkata- kata saking lelahnya, hanya mengangguk. Sementara Nares mulai melepaskan sepatu istrinya. " Mau dibantuin lepas bajunya, nggak? Kayaknya kamu tersiksa banget pakai kebaya itu."

"Emang," sahut Nadya lemah. "Tapi nggak usah deh, Mas. " Senyuman di wajah Nares semakin lebar. Hatinya selalu hangat dan berdebar- debar, manakala sang istri memanggil dengan sebutan "Mas" begitu.

Dalam hal ini, Nares harus berterimakasih pada nenek Nadia. Ketika suatu ketika Nadya hanya memanggilnya dengan nama, Nyonya Dinata menghardik cucunya itu. "Masa manggil suami cuma pakai nama begitu? Ndak baik itu, Nik. Panggil Mas, dong. Kan Nares yang lebih tua!"

Dengan perasaan dongkol, Nadya menuruti saran neneknya. Lamat- lama, istrinya itu jadi terbiasa.

***

Nadya terbangun ketika mendengar bunyi air shower yang mengucur dari kamar mandi. Ia menggeliat. Tubuhnya terasa amat kaku. Jujur, dia nggak mau mengulangi lagi. Dipajang di atas pelaminan selama enam jam. Setiap dua jam sekali mesti ganti pakaian dan retouch make up. Belum lagi mesti mengumbar senyum ke 1.200 tamu undangan yang hadir.

Mana resepsi di Kemang ini dilangsungkan seminggu setelah resepsi di Surabaya. Kali ini mama Nadya ikut hadir bersama Nenek.

Rupanya, selama ini, mama memang nggak tinggal di apartemen. Mama tinggal dengan seorang pria. Seorang pengusaha yang nota bene adalah teman SMP nya dulu. Namanya Pak Tirta.

Pak Tirta duda tanpa anak yang istrinya meninggal karena kecelakaan, bersama bayi yang dikandung oleh perempuan malang itu.

Mereka bertemu enam bulan yang lalu, ketika mama dan teman- temannya liburan ke Bali.

Kebahagiaan Nadya terasa begitu lengkap. Sebab, selain pada akhirnya Tuhan lah yang menuntun jodohnya, mamanya kini banyak berubah. Beliau terlihat seperti seorang ibu, sosok ibu yang Nadya impikan selama ini.

Pintu kamar mandi terbuka tepat ketika Nadya baru saja berhasil melelaskan kain jaritnya, kini gadis itu hanya berdiri dalam balutan bra hitam dan celana dalam berbahan renda. Membuat darah Nares berdesir.

Pria itu masih terpaku di depan pintu kamar mandi. Memperhatikan bokong Nadya, yang tengah menungging karena gadis itu sedang berusaha memungut korsetnya yang jatuh ke lantai.

Tubuh Nadya adalah mahakarya terindah yang pernah Nares lihat dalam 37 tahun kehidupannya sebagai seorang lelaki. Dan dia adalah pria yang berdarah panas saat ini. Tentu saja, ada bagian- bagian dalam tubuhnya yang saat ini benar- benar mendambakan istrinya. "Nadya..." Ia berbisik lirih.

Sementara Nadya yang mendengarkan bisikan Nares, langsung terlonjak. Kemudian membalikkan badan. Terkejut melihat suaminya yang hanya mengenakan handuk.

Air menetes- netes dari kepalanya yang basah. Sementara tubuh bagian atasnya nggak mengenakan apa pun.

Nadya melihat penampilannya sendiri. Ia pun hanya mengenakan bra berenda dan celana dalam berenda. Tatapan keduanya pun saling bertemu. Ketika Nares akhirnya  merengkuh tubuh istrinya, perempuan itu nggak menolak sama sekali.

***

Nadya terbangun dengan posisi yang membuat wajahnya seketika memerah. Berada dalam pelukan suaminya.

Ia menoleh, mendapati mata Nares yang masih terpejam. Senyuman melengkung di bibir merah muda pria itu. Nares memang nggak merokok. Juga nggak mengkonsumsi alkohol. Neneknya benar, Nares adalah pilihan terbaik yang bisa Nadya dapatkan di tengah- tengah banyaknya pria brengsek yang bertebaran.

Perlahan, senyum menghampiri bibir Nadya. Bertepatan dengan terbukanya mata Nares. "Udah bangun?" suara Nares yang serak membuat bulu- bulu di sekujur tubuh Nadya meremang .

Pagi ini, Nadya mengenakan gaun tidur dari Victoria Secret-nya yang pertama. Gaun yang diberikan oleh Nares sebagai seserahan. Bersama tas Balenciaga, sepatu Christian Louboutin, dan masih banyak lagi. Nadya nggak meminta barang- barang itu secara khusus.

Nares lah yang memberikannya secara langsung. Mungkin juga dibantu Dayana yang seleranya high class banget itu. "Hari ini kita buka kado, kan?" tanya Nadya. Nares mengangguk sebagai jawaban. "Tapi, boleh nggak... kalau aku buka hadiahku dulu?" seringai Nares membuat Nadya menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.

Nares pun kembali menarik selimut, menutupi tubuh mereka berdua.

***




Miss Materialistic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang