"Kamu kok tambah kurus, toh, Nik?"
Nadya hanya mengangguk-angguk. Sementara sang Nenek mengamati tubuhnya dari atas ke bawah. Seolah- olah mencari sesuatu yang salah dengan cucunya.
Nadya bukan cucu kesayangan neneknya, karena sebagai perempuan zaman feodal, Neneknya lebih menyayangi anak lelaki. Dan predikat tersebut diperoleh putra Tante Ellen, Sebastian, yang usianya baru sebelas tahun.
Hanya saja, ayah Nadya adalah putra kesayangan dan satu- satunya di keluarga Dinata. Dan kebetulan sekali wajah Nadya sangat mirip dengan sang ayah, sehingga Nenek menjadikannya cucu perempuan yang paling disayangi perempuan 72 tahun itu.
"Nenek kok tiba- tiba ke sini?"
"Ada teman Nenek yang mau nikahin cucunya. Tadinya, Nenek minta kamu buat temenin Nenek. Ndak isa kan kalau ngarepin Leira?"
Nadya tersipu. Biarpun Nenek agak lunak padanya, akan tetapi aura perempuan itu selalu membuat orang di sekitarnya segan. Bahkan takut. Salah satu orang yang punya perasaan takut pada Nenek adalah mama Nadya.
"Gimana kabar mamamu, Nik?" tumben banget Neneknya nanyain soal mama Nadya. "Baik- baik aja, kok." Nadya menunduk, memainkan sendoknya. Siang itu, mereka memang makan di hotel Borobudur. Nenek Nadya paling suka sop buntut di hotel itu. Rasanya memang enak banget. Tapi harganya bikin sakit jiwa sih.
"Kamu kayaknya kurang makan ya?"
"Nggak kok, Nek. Aku makan cukup."
"Nanti Nenek suruh si Frida buat kirim lauk ke apartemenmu. Kamu masih tinggal bareng Leira?"
Nadya hanya mengangguk saja. "Nenek ada bawa semua kedoyananmu, lho. Ada sambel Bu Rudy, ada juga lauk- lauk lainnya yang bisa kamu panasin. Si Leira itu sekarang pacaran sama siapa? Masih ngawur dia?" Nenek menggeleng. " Heran aku," gumamnya dengan nada nggak habis pikir kenapa bisa dia punya cucu liar seperti Aleirra Kusuma Dinata.
Nadya biar bagaimana pun masih bisa menutupi perilaku busuknya di hadapan sang Nenek. Dan dengan senang hati Leira mendorong hal itu. Karena dia sendiri ogah dijadikan anak teladan keluarga yang selalu dituntut untuk jadi figur sempurna oleh Nyonya Dinata.
"Leira nggak seburuk itu kok, Nek. " Bela Nadya. Pasalnya, baru kemarin malam Leira mengirimkan gaun trendi dari butik Akris lewat Maminya Sheira, sahabat sehidup sematinya Leira. Nggak mungkin dong Nadya menjelek- jelekkan sepupu sehidup sematinya itu.
"Ya, ya..." Nenek menukas. " Nenek senang kamu akur sama saudara. Dan soal mamamu,"
Please deh, Nadya ngobrol sama mamanya saja sudah malas kok. Sekarang saat neneknya membuka obrolan tentang mama, tentu saja Nadya sama sekali nggak menyambut dengan antusias.
Memang, sekesal- kesalnya Nadya pada mamanya, nggak pernah gadis itu meninggikan suara saat berbicara pada perempuan itu, apalagi mengkonfrontasinya dengan sengit atau menuntut. Karena dulu almarhum ayahnya pernah berpesan, bahwa apa pun yang terjadi, Nadya harus selalu sayang sama mama.
Tapi sulit mewujudkan dan menepati janji itu kalau perilaku mamanya sering bikin Nadya kepingin jedotin jidat ke tembok. Tapi, paling enggak, Nadya selalu bisa melindungi mamanya dari kritik pedas sang Nenek.
Neneknya menginap di rumah sahabatnya di Patra Kuningan. Seperti biasa, kalau ke mana- mana, Nenek selalu membawa Mbak Frida, yang sudah lima belas tahun menjadi asisten pribadi sang Nenek.
Biarpun sudah lansia, sang Nenek masih sering mengisi seminar atau menjadi dosen tamu di beberapa akademi.
"Mbak Frida ke mana tadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ЧиклитKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...