Chapter 10

13.4K 1.1K 33
                                    


Untungnya, Nares cepat mendapatkan kamar VIP yang tenang dengan berbagai fasilitas yang memadai.

"Kamu lagi ngapain sih, Nad...?" Nares setengah mengerang, memperhatikan Nadya mondar- mandir dengan ponsel di telinga. "Bisa duduk aja nggak? Saya tambah pusing lihatin kamu mondar- mandir begitu."

Yang ditanggapi Nadya dengan delikan lebar. "Sudah deh, ngapain Bapak ngeliatin saya!" ketusnya. "Ini saya lagi coba hubungin keluarga bapak, buat ngasih tahu kalau Pak Nares udah dapet kamar."

"Nggak perlu. Kamu duduk aja."

Nadya memutar bola matanya. "Tadi kan katamu sudah menghubungi ibu saya?"

"Kan tadi bapak masih di IGD!"

"Saya sudah 36 tahun, Nad. Masuk IGD, pun harusnya orangtua saya nggak perlu dikasih tahu, kayak saya masih sepuluh tahun aja!" nada Nares agak menegur. Sebetulnya dia agak takjub juga. Mendapati Nadya mau repot- repot menungguinya sampai seperti ini.

Seumur- umur, belum pernah ada perempuan yang sebegini perhatiannya sama dia. Selama ini, kalau sakit, Nares hanya perlu beristirahat di kamar apartemennya, atau di rumah ibunya. Ini keempat kakinya dia harus dievakuasi ke rumah sakit, setelah ia kena tipus ketika masih SD, lalu demam berdarah ketika SMP, dan yang ketiga ketika dia terkena usus buntu sewaktu kuliah.

"Duduk deh, Nad."

Gadis itu menurut, walau disertai decakan sebal dan masih sibuk dengan ponselnya. "Kamu udah makan malam?"

Nadya menggeleng. Matanya tetap terarah pada gawai. "Nggak mau pesan makanan?"

"Nanti saya ke kantin. Lagi pula ini udah malam banget."

"Nanti kamu sakit."

"Saya tahu batasan, Pak. Kalau saya nggak kuat makan sesuatu, saya nggak mungkin nekat. Habis itu sakit dan bikin repot orang lain."

"Maaf, ya." Gumam Nares. Dia tidak tersinggung. Fakta bahwa Nadya malam ini lebih memilih merepotkan diri untuk menungguinya di rumah sakit, membuatnya merasa tidak berhak marah. "Saya bikin rencana kamu malam ini berantakan?"

"Saya akan kirim tagihan ke Pak Nares." Jawabnya ketus.

Nares meringis. Ia ingin tersenyum, namun perutnya terasa tak karuan. Menurut diagnosa dokter jaga IGD, dia terkena radang lambung dan usus.  Belakangan ini pola makannya memang agak kacau. Nares lebih sering makan junk food ketimbang makanan betulan.

"Kamu bisa masak, Nad?"

"Bapak mendingan istirahat saja. Jangan ngomong melulu!"

"Ya." Ujarnya patuh. "Tapi kamu juga harus istirahat, Nad. Jaga kesehatan."

"Bukan saya yang terbaring diinfus di atas ranjang itu!" Nadya menyahut sambil cemberut. "Udah deh, Pak. Buruan tidur. Besok dokter visit jam delapan pagi."

**"

Nadya membuka mata karena mendengar suara- suara gaduh. Rupanya ia melihat Nares yang wajahnya kini sepucat hantu, sedang berusaha turun dari ranjangnya.

"Bapak mau ke mana?"

Dia tidak menjawab. Dilihat dari wajahnya, Nadya merasa tidak enak. Pria itu mungkin ingin muntah. Nadya segera bergerak menghampiri ranjang, mencoba memegangi tubuh Nares. "Bapak mau ke toilet? Pegangan bahu saya Pak." Ujar Nadya. Dia mengangkat rambutnya ke atas dan menjepitnya dengan jepitan berbentuk bunga matahari.

Nadya nyaris terhuyung ketika menerima berat tubuh Nares. "Pelan- pelan," ucapnya lagi. Rasa kantuknya lenyap. Padahal dia baru dapat memejamkan matanya dua jam yang lalu.

Miss Materialistic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang