Chapter 30

16.4K 1.1K 28
                                    

Nadya  sampai di apartemen ibunya yang terletak di kompleks Puri Mas, kecamatan  Gunung Anyar, tepat pukul empat sore. Ia naik taksi dari bandara karena nggak ingin merepotkan neneknya yang menurut kabar terkini, sedang pergi ke Malang.

Mamanya sendiri belum kembali dari liburan bersama teman- temannya ke Australia. Apartemen dengan dua kamar itu terlihat nggak terurus. Padahal kemungkinan mama baru pergi selama satu minggu. Tapi rasa- rasanya, tempat ini seolah sudah nggak dihuni selama hampir satu tahun.

Nadya langsung menyalakan lampu- lampu, membuka gorden, dan balkon, lalu masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian dengan yang lebih santai. Ia mencari penyedot debu, sapu, pengki, ember, dan kain pel.

Hampir lima jam dia berjibaku membersihkan apartemen seluas 420  meter persegi tersebut.

Sungguh mengherankan, Nadya yang selalu tampil modis, dan bagaikan manekin berjalan karena koleksi pakaiannya yang dinilai amat mengangumkan itu, mau- maunya menjalankan peran sebagai upik abu di rumahnya sendiri.

Gadis itu terkapar kelelahan. Perutnya lapar. Tapi terlalu lelah untuk mencari makanan. Apalagi memasak. Coba kalau tadi dia singgah sebentar di tempat neneknya! Pasti banyak makanan yang terhidang di atas meja makan!

Masakan Mbak Ju, tukang masak neneknya memang bisa disetarakan dengan yang di resto- resto. Dia kangen rawon, soto ambengan, tahu telur, pecel dan ote- ote bikinan Mbak Ju yang gendut- gendut itu.

Membayangkan makanan- makanan itu, membuat perut Nadya semakin bergemuruh. Ia kemudian bangkit untuk mengambil kardigan, dompet dan ponsel. Di bawah apartemen itu ada minimarket 24 jam. Sepertinya dia bisa mengganjal perutnya dengan sesuatu yang cepat.

Di luar dugaannya, rupanya minimarket itu banyak menjual makanan instan. Mulai dari roti, donat, sosis bakar, onigiri, nasi yang bisa dihangatkan di microwave, dim sum, siomay  Bandung hingga jajan pasar.

Nadya memilih es kopi dan nasi sambal tuna, sosis bakar, dan putu ayu. Ia meminta nasinya dipanaskan. Sementara ia mengecek ponselnya.

Matanya membelalak ketika membaca chat dari Leira.

Alleira: lo punya temen kemarin nyariin ke apartemen...

Alleira: terus Yohan katanya nggak bisa hubungin lo.

Alleira: gue bilang lo balik ke SBY.

Apakah Firly masih memburunya? Apa pria itu dendam karena Nares telah menghajarnya? Sesungguhnya Nadya nggak pernah menyangka bahwa Nares bisa berkelahi. Karena menurutnya pria seperti bos nya yang IT guy banget itu pasti lebih memilih untuk menghindari perkelahian.

Dia mungkin bisa merampok jutaan dollar di Bank Hong Kong atau mana pun. Tapi dia jelas nggak akan mau, untuk repot - repot adu jotos.

Terlebih, melihat tubuhnya yang cenderung kerempeng dan lurus, Nadya yakin, Nares nggak pernah mengenal kebudayaan bernama gym.

"Makanannya sudah selesai dihangatkan, Kak. Ada lagi?" kasir minimarket itu berkata dengan sopan. Nadya menggeleng. Mengeluarkan selembar seratus ribuan tanpa kata- kata.

***

"Kon iku lho, muleh ora ngomong - ngomong!" Dhira, salah satu teman zaman Nadya masih sekolah itu berkata dengan gemas. Mereka nggak sengaja bertemu di Grand City Gubeng. Saat itu, Nadya kepingin jalan- jalan sendirian. Ia memilih Grand City yang letaknya kurang lebih satu jam dari apartemen yang sekarang ditinggalinya.

Ia sudah mencoba menghubungi mama, tapi nggak mendapatkan tanggapan. Entah berada di mana mamanya sekarang. Nadya menahan  diri untuk nggak bertanya pada siapa pun. Takutnya, mama malah dicerca habis- habisan.

Miss Materialistic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang