Sudah hampir lima belas menit Nadya duduk di sofa sebuah gerai kopi di mal kawasan Pondok Indah.Berulang kali mulutnya mengeluarkan decakan bosan bercampur malas . Lei memang kebiasaan. Suka ngaret kalau janjian.
Ia merasa bahwa dirinya ditipu mentah- mentah oleh sepupunya itu. Lei yang mengancamnya supaya jangan datang telat, sekarang dirinya malah sudah cukup lama menunggu mirip pengangguran.
Saat sedang mati gaya mengaduk iced Americano pesanannya, seorang pria menghampirinya dengan penuh percaya diri.
Nadya menatap datar pada pria berkemeja hitam dan celana jin, yang tengah berdiri di hadapannya dengan senyuman memesona. Segala yang menempel di tubuh pria itu meneriakkan kata "mahal".
Dimulai dari sepatu Balenciaga yang membungkus kedua kakinya, lalu jins itu, Nadya baru saja melihatnya di katalog Bonobo Street Jeans Premium, berpotongan bagus dan membalut kakinya dengan sempurna.
Kausnya jelas tidak dibeli di Department store. Lalu jam tangannya yang tersepuh emas yang Nadya kenali sebagai Cartier.
Tubuhnya pun mengeluarkan aroma mahal yang hanya bisa didapatkan dari parfum keluaran rumah mode Eropa. "Hai," ujarnya dengan senyum paten yang mungkin sudah berulangkali mematahkan hati para gadis. "Gue Yohan." Pria itu mengulurkan tangan ke arah Nadya. "Gue lihat, lo sendirian saja. Boleh gabung?"
"Sayang banget, gue lagi nunggu orang. "
"Oh," dia manggut- manggut. Sekali pun ia kecewa, tapi wajahnya tidak menampakkan hal itu. Dia aktor yang hebat, Nadya membatin.
"Kalau gitu, boleh gue temani sampai orang yang lo tunggu datang?" Alisnya yang lebat dan hampir menyatu di tengah- tengah itu berjinjit. "Gue nggak ganggu kok,"
"Itu kan menurut lo, ya. Kita nggak tahu sepuluh menit ke depan bakalan gimana? Mungkin lo bakalan rese ke gue?" Nadya sudah terbiasa flirting dengan cowok sejak mamanya menekankan, bahwa menyenangkan seorang pria adalah kunci menuju hidup bahagia, merasa bisa mengatasi ini dengan mudah.
"Jadi gimana?" Tangan kanan pria itu memegang cup large yang kelihatannya berisi sama dengan milik Nadya, sementara jempol tangan kirinya terkait di lubang saku celananya. Kepalanya dimiringkan, mencoba untuk memesona Nadya yang kini sudah terkekeh pelan.
"Lo ini tipe orang yang sulit ditolak ya?"
"Yah, sebagaian orang memang terlahir bukan untuk ditolak. " Yohan akhirnya melangkah ke sofa dan mengambil tempat persis di samping Nadya yang duduk menyilangkan kakinya.
"Gue udah sebutin nama tadi. Nggak adil dong kalau gue nggak tahu harus panggil lo apa. Ini bukan di kelab malam, kan? Kita boleh tahu nama asli satu sama lain,"
Nadya menyerah. Pria yang kini duduk di sebelahnya itu, memang terbilang rada - rada cute juga sih. Mungkin umurya juga tidak jauh beda dengan Nadya. "Gue Nadya."
"Lo beneran lagi nunggu seseorang, atau itu hanya lame trick supaya gue nggak gangguin lo, nih?"
"Sepupu gue udah bangunin gue dari tidur suci gue. Suruh nungguin dia di sini. Eh, dia belum nongol- nongol juga. " Nadya mengadu dengan suara sebal yang dibuat- buat. Membuat Yohan tertawa renyah.
Mereka kemudian terlibat obrolan santai, ngalor, ngidul, ngetan, ngulon, sampai Lei datang beberapa saat kemudian.
***
"Mal? Emangnya mereka boleh ke mal?" Nares bertanya dengan dahi berkerut, ketika kedua keponakan kembarnya ribut ingin jalan ke mal karena bosan.
Lagi asyik- asyik nonton tayangan dokumenter tentang desa yang berumur ribuan tahun di NTT, kedua keponakannya datang menyerbu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...