Nadya: cokelat Swiss terkenal enak banget, Pak.Sudut- sudut bibir Nares terangkat ketika mendapati pesan itu masuk ke ponselnya.
Setiap bertandang ke luar negeri, sekretarisnya itu memang tidak pernah absen untuk mengingatkannya membeli oleh- oleh.
Baik untuk dirinya dan juga untuk dibagi- bagikan ke teman- teman sesama sekretaris. Meski pada akhirnya, Nares tidak cuma membelikan cokelat. Tapi juga banyak hadiah lainnya.
Tak terkecuali saat ini . Nares sedang berada dalam konferensi internasional teknologi dan pengembangan dunia keuangan digital di Davos, Swiss. Dalam balutan jaket bomber, celana kargo, dan sepatu sneakers, pria itu berdiri menyandar di pagar balkon, ketika sedang snack break.
Angin dingin bulan September menyapu rambutnya yang sudah menyentuh kerah jaketnya. Senyum terkembang di wajahnya.
"Kopinya, Pak!" tahu- tahu Dion sudah berada di hadapannya dengan dua cangkir kopi di kedua tangan, mengangsurkan salah satunya ke tangan Nares.
"Kita pulang hari apa ya, Dit?" tanya Nares, sesudah memasukkan ponsel ke dalam kantung celananya. Kemudian mulai menghirup kopi hitamnya.
Kopi.
Belakangan hal itu selalu mengingatkannya pada Nadya. Kopi yang tempo hari mendadak diberikan gadis itu padanya.
"Lusa." Dion menjawab.
"Kamu tahu tempat beli cokelat Swiss yang enak?"
Dion menggeleng. Sembari memegangi kedua sisi cangkir kertasnya agar mendapatkan sedikit kehangatan. "Enggak, Pak. " Jawabnya dengan muka sedikit penasaran. "Tapi kita selalu bisa browsing lewat Google kan, Pak?"
***
Nadya sedang memandangi ponselnya, sementara lawan bicaranya terus saja mengoceh tentang pohon silsilah keluarganya yang terdiri dari banyak orang penting.
Nadya hanya bisa mendengarkan dengan raut bosan. Tapi mau bagaimana lagi? Pria ini, yang bernama Bian, adalah anak kolega mamanya yang baru saja tiba di Jakarta harus diservis dengan baik.
Dalam hal ini, Nadya harus menemani Bian selama berlibur di Jakarta. Meski pun rasanya rada- rada aneh, ketika mengetahui bahwa ada orang yang mau berlibur ke kota yang macet dan panas seperti Jakarta.
Come on! Kalau dia memang punya banyak duit seperti yang sejak tadi di gembar- gemborkannya, kenapa tidak ke Bali atau ke Labuan Bajo saja? Atau sekalian ke Afrika. Karena ke sanalah orang- orang berduit itu berlibur. Melepaskan stres.
Kalau di Jakarta mah paling mau nambah stress doang. Tapi tentu saja, Nadya tidak banyak berkomentar.
"Kamu sudah mau pulang ya? Kelihatannya, kamu capek banget." Ujar pria itu pada akhirnya. Usianya 28 tahun dengan nada bicara medhok khas Surabaya.
Nadya tersenyum selebar gawang sepak bola, menggeleng kalem. "Belum kok. Baru juga jam segini." Jawabnya. Seolah- olah dengan sepenuh hati, siap meladeni pria ini mengobrol sampai hari kiamat. Padahal dalam hati mah malas bukan main.
Dia lebih baik pulang ke apartemennya, mandi, nonton Netflix, sambil skincare routine sebelum tidur. Ketimbang duduk di sini, mendengarkan segala omong kosong ini, sambil menatap wajah mirip kuda nil ini.
Tapi mamanya pasti bakalan mengomel, kalau sampai anak dari salah satu orang terkaya di Surabaya ini, sampai kecewa. "Atau kita pindah saja ke tempat lain? Kamu ada rekomendasi tempat yang enak buat nonton? Kelab mungkin? Sejak tiba di sini, aku kepingin banget lihat- lihat kelab di Jakarta. Apa sekeren yang ada di Melbourne?"
![](https://img.wattpad.com/cover/354567484-288-k934028.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
أدب نسائيKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...