"Kok dia nggak benci sama gue ya?"
Nadya terus menerus mempertanyakan sikap Nares padanya yang sama sekali nggak berubah. "Lo tuh kenapa sih?" dengan tampang jutek, Dion menatap Nadya jemu. "Dari tadi gue perhatiin lo kerjanya ngawur melulu. Baru juga jam sepuluh pagi!"
Nadya cemberut. "Oh!" serunya, pura- pura terkejut. Sambil memainkan pena di tangannya, "lo perhatiin gue ternyata selama ini?" mukanya nyebelin banget. "Gue baru tahu lho!"
"Bisa nggak sih, lo diem aja!" meski nada bicara Dion sudah setajam silet, namun Nadya sama sekali nggak terlihat gentar. Dion memang setiap hari selalu begitu. Nggak pernah dia menampilkan muka manis yang menyenangkan. Kalau bukan cemberut, ya kaku. Dingin macam kulkas.
"Nggak bisa," ujarnya dengan nada semanis sakarin, "gimana dong?!"
Dion akhirnya hanya menggeleng saja. Dia memang nggak akan pernah bisa menghadapi kaum perempuan. Adalah suatu keajaiban hingga kini hubungannya dengan pacarnya masih langgeng- langgeng saja.
***
Sebelum jam makan siang, Yohan mengirimkan pesan pada Nadya untuk mengajak makan siang. Karena sudah lama nggak ketemu, dan dia memang butuh refreshing, Nadya nggak punya alasan untuk menolak. Meski harus merogoh kocek dalam- dalam. Karena makan di mal itu nggak murah.
Mereka makan di restoran yang menyajikan masakan western. Nadya memesan pasta sementara Yohan memesan salmon.
Meski suasana hatinya sedang galau, namun di hadapan Yohan, Nadya masih menampakkan keceriaannya. "By the way, udah hampir dua mingguan ya nggak ketemu. Nggak saling kontak juga." Yohan membuka obrolan. "How's life?"
"So bored!"
"Oh ya?" sambut Yohan. "Apa karena nggak ketemu gue?" sepasang alis lebat milik Yohan berjinjit menggoda.
Alis Nadya menukik. "Ih, ngarep banget, Bang!" Mereka terbahak bersama- sama.
Pesanan mereka datang. Sambil ngobrol ngalor- ngidul, mereka menikmati makanan.
"Eh, udah mau jam satu aja," Nadya melihat ke pergelangan tangannya yang dilingkari jam tangan mungil bertali tipis dari Michael Kors. Jam tangan hadiah dari Aleira, sepupunya.
"Oh, udah mau balik kantor ya? Aku anterin mau?" tawar Yohan.
"Boleh deh," sambil mengeluarkan ponsel dari pouch, gadis itu bangkit. Ia tak tahu kalau sejak tadi, Yohan terus mengamatinya.
***
Melenggang di lobi kantor dengan langkah ringan, ( karena tadi makan siangnya dibayarin Yohan. Dan dia yang maksa, jadi Nadya nggak enak nolaknya) gadis itu mengedarkan pandangan ke sepenjuru lobi yang hiruk pikuk.
Banyak pegawai dengan lanyard menggantung berjalan tergesa- gesa menuju deretan lift yang dipenuhi antrian.
Nadya berhenti bersama beberapa orang. Beberapa saat kemudian, benda itu terbuka, memuntahkan orang- orang, Nadya segera menyempil masuk. Ketika pintu lift hampir menutup, ujung sepatu stiletto hitam menghalangi. "Sorry!" dengan tatapan simpatik dan suara empuk, si empunya sepatu langsung mendapatkan sambutan hangat dari para penumpang lift. Kecuali Nadya.
Mungkin parfume beraroma mahal yang menguar dari tubuhnya lah yang membuat perempuan itu mendapatkan sambutan hangat dari para penumpang lift yang kebetulan lebih banyak kaum cowok.
Dan tentu saja wajah cantiknya yang tipikal perempuan modern, dengan kepercayaan diri tinggi yang seolah-olah terpancar dari setiap pori- pori- kulitnya. Namun, dibayar berapa pun Nadya nggak akan mau mengakuinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Materialistic
ChickLitKarena tekanan dari ibunya, Nadya terpaksa menjalani pekerjaan ganda. Sebagai sekretaris dari Nareswara dan berkencan dengan pria- pria yang menurut ibunya mempunyai masa depan bagus. Ia kemudian mulai mengincar Rifat, yang dirasanya bisa memuaskan...