26. ber 3

1K 85 0
                                    


Setelah pulang dari kamar rawat Shaka, Ozie berniat kembali ke kamarnya sendiri jika boleh jujur badan Ozie juga masih terasa sakit. Tapi karena dia teringat dengan ke dua sahabatnya yang sama-sama terluka jadi dia menyempatkan diri untuk menjenguk mereka berdua.

Kakinya berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit, meskipun ini sudah malam tapi Ozie tidak takut karena masih banyak orang-orang yang berlalu-lalang. Ozie merasa iba sekali sama mereka yang menangis di ruang tunggu, menunggu keluarga, kerabat, saudara ataupun temannya yang tengah sakit. Ozie tidak bisa berbuat apa-apa dia hanya berdoa semoga mereka tidak pernah meninggalkan rumahnya. Meskipun hanya untuk sementara tapi ingatlah jika mereka pernah menjadi rumah.

Jarak lima meter dari tempat Ozie berdiri dia melihat salah seorang anak kecil yang tengah menangis sendirian. Ozie mencoba untuk mendekatinya dan bertanya kenapa dia menangis sendirian di sana.

"Ade kenapa?"

"Kakak siapa?" Tanya anak itu ketika Ozie duduk di sebelahnya.

"Kenalin, nama kakak Ozie, nama kamu siapa?"

"Nama aku Cila."

"Kenapa kamu menangis?" Tangan Ozie terulur untuk mengusap pipi anak itu yang basah oleh air mata.

"Bunda di dalam sini," ucap anak itu sembari menunjuk salah satu pintu.

"Kenapa sama bunda kamu?"

"Tadi bunda di suruh loncat dari lantai dua sama ayah, bunda gak mau, bunda udah minta maaf dan memohon sama ayah supaya gak maksa bunda loncat, tapi ayah malah mendorong bunda dan bunda sekarang ada di sini."

Ozie terdiam sejenak, sungguh kejam sekali dia, di usianya yang sepertinya baru berusia tujuh tahun ini harus melihat ibunya di bunuh oleh suaminya sendiri.

"Terus selain itu kamu liat apa lagi?"

"Aku liat bunda jatuh, terus ada suara keras sekali, pas aku liat ke bawah ternyata itu suara dari bunda yang udah di bawah, kepalanya berdarah banyak."

"Kamu yang sabar ya, semoga bunda kamu tidak kenapa-kenapa," Ozie membawa anak itu ke dalam pelukannya, mengusap lembut kepala anak itu.

"Semoga nanti dia gak seperti Lo,"

"Kamu punya saudara? Kakak atau Adek?"

"Aku punya Adek." Ucap anak itu mendongakkan kepalanya. Benarkah dia punya Adek? Jika batu se usia ini dia punya Adek berarti adeknya masih kecil.

"Di mana?"

"Di perut bunda."

"Sungguh?"

"Iya."

Sungguh Ozie tidak habis pikir dengan ayahnya, padahal istrinya tengah mengandung tapi kenapa dia tega melakukan itu semua apalagi di hadapan anaknya yang masih kecil. Di mana hati nurani seorang ayah dan juga seorang suami yang seharusnya menjaga keluarganya ini justru malah mencelakai keluarganya dengan tangannya sendiri.

"Ya udah sekarang kamu ikut kakak yuk, di sana juga ada Adek kakak, jadi kalian bisa main sama-sama."

"Tapi bunda?"

"Nanti kakak yang urus ya, kalo ada apa-apa nanti kakak kabarin kamu, janji."

Setelah mendapat anggukan Ozie langsung menggendong Cila, Ozie membawa CIla ke kamarnya dan membiarkan dia bermain bersama adeknya. Tidak lupa Ozie juga menceritakan semua yang tadi anak itu ceritakan kepada orang tuanya, dan mereka mau menerimanya.

Di malam hari Ozie tidak bisa tidur sama sekali, dari tadi dia sangat gelisah sekali ketika dia melirik anak kecil yang tadi dia temui yang sekarang tengah tertidur pulas di samping Adek kandungnya.

Ozie terus terbayang bagaimana nasib anak itu ketika tau jika ibu dan calon adiknya tidak bisa terselamatkan. Ozie juga sangat takut ketika Ozie bicara yang sesungguhnya, Ozie cuma takut jika nantinya Cila malah memiliki Trauma dan berujung seperti sahabatnya, Sagam.

Karena tidak bisa tidur Ozie memilih untuk ke luar, tujuannya sekarang hanya menemui Sagam.

Setelah sampai, Ozie malah berpapasan dengan Agisna. Rupanya dia menepati janjinya untuk menjaga Sagam.

"Ngapain Lo di sini?"

"Gue mau masuk," jawab Ozie dengan suara yang lesu.

"Gak bisa, dia baru tidur," Agisna merentangkan tangannya menghadang Ozie yang memaksa untuk masuk.

"Minggir gue cuma sebentar," Ozie menerobos masuk meskipun Agisna melarang. Di dalam ruangan Ozie mengehala nafasnya pasrah, menundukan kepalanya dalam, kedua tangannya yang terkepal kuat. Perlahan Ozie melangkah mendekati Sagam yang kini menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut, alat-alat medis yang tadi terpasang kini sudah terlepas begitu saja.

"Sagam," Ozie menarik perlahan selimut yang menutupi tubuh Sagam.

"Mau keluar?" Ozie menatap Sagam dan tersenyum lebar.

PERTAMA DAN TERAKHIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang