49. mainan?

813 31 1
                                    


Sepanjang jalan Sagam memeluk kotak yang terkunci rapat itu, dia benar-benar takut sekali, dia benar-benar nekat sekali membawa kotak itu ke rumahnya, jika tidak di ancam Sagan tidak mau, dia juga takut, bahkan jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dan keringat terus membasahi tubuhnya.

Dan sampai di depan rumah Sagan melihat ke kiri dan kekanan memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Bukannya masuk ke dalam rumah Sagan malah terduduk di teras dengan kepala yang menunduk jujur dia sangat takut untuk memberikan kotak yang ada di tangannya kepada Baim dan Ina. Meskipun mereka tidak peduli dengan Sagam tapi Sagan yakin mereka juga pasti syok sekali.

"Sagan, Astaga, Sagan kamu kenapa?" Ina menghampiri Sagan yang duduk di teras rumah sembari menangis. Raut wajah Ina begitu kentara menunjukan raut khawatir nya. Dia kebingungan dengan Sagan yang duduk di teras dan menangis.

"Mahh," Sagan menangis di hadapan Ina. Tapi Ina merasa ada yang aneh dengan Sagan biasanya ketika dia menangis seperti ini Sagan langsung memeluk nya tapi kali ini Sagan malah menghindar, mundur ke belakang.

"Kamu kenapa sayang? Kenapa menangis?" Ucap Ina

"Aku mau masuk," ucap Sagan, dia berlari masuk ke dalam rumah, Sagan harus segera ke kamarnya dan menyembunyikan kotak itu segera supaya tidak ketahuan Baim dan Ina.

Namun sayang seribu sayang Sagan malah terjatuh karena menabrak seseorang, dan lihatlah kotak itu terbuka lebar dan isinya terlempar tidak jauh dari dalam kotak.

Saat itu juga dunia Sagan seakan berhenti, jantungnya yang terus berdebar ketika Ina dan Baim melihat isi kotak itu.

Bagaimana ini, apa yang harus Sagan ucapkan kepada mereka?

"Sagan?" Lirih Ina pelan, dia menghampiri Sagan dan memegang tangan anak itu.

"Apa itu Sagan?"

"Bu... Bukan bukan apa-apa," dengan tangan dan tubuhnya yang bergetar Sagan memasukan kembali potongan tangan itu ke dalam kotak.

Srekk

"Pahh!!" Lihatlah Baim mengambil kotak itu dari tangan Sagan dan kembali melihat isi kotak itu.

"APA MAKSUD DARI SEMUA INI SAGAN?!! DAN POTONGAN TANGAN SIAPA INI HAH?!" tanpa sadar Baim membentak Sagan.

"Pah, pah aku bisa jelasin itu-itu itu hanya mainan saja."

"Papah bukan orang bodoh yang bisa kamu tipu Sagan, cepat katakan tangan siapa yang kamu bawa ke rumah ini hah?"

Ina sudah lemas tak berdaya bahkan saat ini dia sudah terduduk di lantai sembari menatap Sagan seolah meminta penjelasan.

"CEPAT KATAKAN SAGAN TANGAN SIAPA INI?!! KENAPA KAMU MALAH MENANGISS?!!"

"KAMU MEMBUNUH SESEORANG HAH?! SIAPA YANG MENGAJARKAN MU BERBUAT KEJAM SEPERTI ITU HAH?!"

"Pah percaya sama aku, itu cuma mainan aja iya mainan."

"KALO INI CUMA MAINAN KENAPA KAMU SETAKUT INI HAH?! CEPAT JAWAB!!" Baim mendekat ke arah Sagan dan mencengkram dagu Sagan.

Prok
Prok
Prok

"Katt!!! Good, bagus banget akting Lo bangsat! Setelah Lo bunuh dia, Lo sekarang membohongi orang tua Lo Sendiri?"

"Siapa yang udah anak saya bunuh?!" Baim menghempaskan kepala Sagan dan mendekat ke arah Ozie. Ya tanpa sepengetahuan Sagan, Ozie dan Shaka berhasil mengikuti Sagan hingga ke rumahnya.

"Boleh liat dulu?" Ozie memegang kotak itu dan dengan tanpa keberatan Baim pun memberikan kotak itu kepada Ozie. Dia membalikan potongan tangan itu dan alangkah terkejutnya Baim ketika melihat begitu banyak bekas luka kuku di bagian pergelangan tangannya, tapi bukan itu yang ingin Ozie perlihatkan, dia menunjuk bekas seperti luka yang berbentuk S meskipun itu hampir tidak terlihat sama sekali.

"S Sagam, om tau tangan ini milik Sagam, tangan yang dulu om tarik-tarik tanpa perasaan kini udah putus om," lirih Ozie dengan nada yang seperti menahan tangisan.

Plakk

Baim menampar wajah Ozie dengan sangat keras, Ozie tau mungkin Baim juga syok sekali makannya dia tidak emosi ketika di tampar oleh Baim. Dan keuntungan terbesarnya dia bisa merasakan apa yang selama ini Sagam rasakan ketika tangan kekar itu menempel di pipinya.

"Jaga bicara mu itu sialan!"

"Apa yang harus saya jaga om? Itu memang kebenarannya, dan asal om tau sebenarnya dia tau dimana persembunyian penculik sekaligus pembunuh itu, tapi dia diam, dia diam karena dia gak mau mempunyai kembaran seperti Sagam."

"Dan asal om tau, Sagam itu gak bisu om, dia hanya belum sembuh dari trauma nya dulu saat dia di culik."

"Halah jangan mengarang cerita kamu!! Lihat Sagan saat di culik dia tidak kenapa-kenapa, dan dia tidak memiliki trauma sam---"

"Itu berkat Sagam om, selama di dalam sana Sagam yang selalu tutup mata telinga Sagan supaya dia tidak mendengar jeritan anak yang di penggal kepalanya dan tidak melihat genangan darah yang mengelilingi mereka. Sagan di sana gak lama kan? Dia hanya melihat satu persen kekejaman adek om itu sedangkan Sagam? Ketika haus pun dia hanya bisa meminum darah temannya. Dia juga sudah menjadi bahan eksperimen om, yah kita akui Sagam itu udah bukan seutuhnya manusia tapi robot om. Si bangsat Yunan udah berhasil mengganti hati Sagam dengan hati-hati buatannya sendiri."

"Dimana Sagam hah?!" Baim yang emosi mendengar cerita dari Ozie dan Shaka menarik kerah baju Sagan dan menanyakan keberadaan Sagam.

"Om saya belum selesai cerita loh om," ucap Shaka.

"SAYA TIDAK BUTUH CERITA MU CEPAT KATAKAN DI MANA SAGAM SEKARANG ?!!"

"Percuma om kesana juga kan? Coba tanya sama anak kesayangan om itu apa Sagam masih hidup?" Ucap Ozie.

"A---apa, apa maksud mu?" Ina menghampiri Ozie.

"Kalian sudah bisa menyebut nama Sagam ketika orangnya sudah tiada."

Saat itu juga Ina langsung jatuh lemas, untunglah Shaka masih berbaik hati menahan tubuh Ina supaya tidak jatuh ke lantai.

"Sebelum kita tambah terlambat lebih baik kita jemput Sagam om, Tan." Ucap Shaka.

"Di mana? Di mana kita harus menjemput anak ku?" Ucap Ina sembari menangis.

"Si Sagan tau tempatnya ko Tan, jadi Tante tenang saja."

Mereka semua menuju ke tempat penculikan Sagam, di dalam mobil Ina terus menangis, Baim yang hanya terdiam tidak berkutik sama sekali karena dia masih  merasa marah dan kecewa dengan adik dan anak kesayangannya itu. Sedangkan Sagan pun sama dengan Baim yang hanya diam menundukan kepalanya dengan penuh rasa penyesalan.

"Mah pah maaf," lirih Sagan.

Ina yang menangis sontak mengusap air matanya dan menatap Sagan.

"Gak papa sayang, jangan meminta maaf mungkin ini sudah takdirnya seperti ini," ucap Ina sembari menangis. Bila boleh jujur dia juga merasa sedih karena Sagam yang pergi lebih dulu, padahal Sagam masih duduk di bangku SMA sama seperti Sagan dan masa depan mereka masih panjang, tapi Ina juga tidak bisa berbuat apapun selain ikhlas karena dia sudah terlambat, terlambat menyesali semua perbuatannya kepada Sagam.

Dia terlambat meminta maaf, dia terlambat memberikan kasih sayang kepada Sagam yang dari dulu Sagam inginkan.

"Mah, Sagam masih hidup ko."

















____________________________________

PERTAMA DAN TERAKHIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang