32. keracunan

1K 68 0
                                    


Brakk

Malam ini, malam yang begitu lama dan mencengkram bagi Sagam.

Bagaimana tidak baru saja Sagam akan mengistirahatkan tubuhnya, tiba-tiba Baim mengetuk pintu Sagam dengan brutal, menjambak rambut Sagan tiba-tiba, menyeret tubuh Sagam ke suatu ruangan yang begitu gelap dan sempit sekali, Sagam yang tidak mau sudah memberontak meskipun tidak bersuara tapi Baim terus memaksa Sagam untuk masuk.

Dan seperti sekarang lah yang terjadi, Sagam di pukuli habis-habisan oleh Baim tanpa ampun, entah apa yang terjadi kali ini yang membuat Baim marah Sagam tidak tau karena sejak awal Baim memukulinya Baim hanya bungkam.

"Ada masalah apa kamu hah?!"

"Bunuh anak orang hah?!"

Sagam menggelengkan kepalanya, ya memang Sagam tidak melakukan itu semua.

"Jangan bohong kamu sialan hah?! Kalo kamu tidak punya masalah apapun tidak mungkin rumah saya jadi sasaran seperti tadi?!"

"Cepat ngaku apa yang sudah kamu lakukan hah?! Kalo tidak. Kalo tidak saya tidak akan segan-segan buat kamu kehilangan nyawa malam ini juga!" Baim membenturkan kepala Sagam ke tembok beberapa kali membuat kepala Sagam berdarah. Tapi Sagam tetap bungkam.

"Dasar bisu! Menyusahkan!"

"Jangan keluar sebelum saya yang keluarkan kamu!"

Baim meninggalkan Sagam di dalam ruangan yang gelap dan sempit itu sendirian. Baim mengunci ruangan itu.

"Om? Kenapa baju om ada darahnya?"

"Ah kamu bikin om kaget, bukan ini tuh hanya hiasan baju tidur om saja," ucap Baim.

"Oh gitu ya."

"Oh ya kamu mau kemana malam-malam gini? Bukannya tidur?"

"Tadi Oka cuma mau ngambil minum om, haus heheh maaf ya om Oka lancang," Oka menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.

"Gak papa, sana balik lagi ke kamar," pintah Baim.
________

Pagi hari keluarga Baim tengah memakan sarapan bersama, tanpa kehadiran teman Sagan karena mereka sudah pulang lebih dulu di pagi hari.

"Pah, tadi malem papa papasan sama si Oka?"

"Hemm," Baim menganggukkan kepalanya.

"Plis lah pah kalo ada temen aku main rapih lah, aku jadi malu kan jadinya," ucap Sagan dengan wajah yang cemberut.

"Kenapa kamu jadi salahkan papa? Kamu tidak tau jika dia sudah menghilangkan nyawa orang, bagaimana papa tidak marah hah? Papa cuma khawatir aja tiba-tiba polisi datang ke rumah kita buat cari dia."

"Mas dia gak mungkin sampe kaya gitu!" Mungkin secara tidak sadar Ina telah membela Sagam di hadapan suami dan anaknya.

"Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, bener kata papa, kalo polisi sampe ke sini mau di taruh di mana muka kita mah."

"Tapi mama tidak suka sama kamu mas, kamu langsung menyimpulkan begitu saja tanpa mau mencari tahu dulu," ucap Ina.

"Ina, kamu membela dia?"

"Aku tidak membelanya hanya saja---"

"Hanya saja apa mah?" Tanya Sagan penasaran karena Ina menggantungkan ucapannya.

"Sudah lah kalian lanjutkan makannya, mamah udah kenyang," Ina bangkit dari duduknya, dan pergi begitu saja.

Ina tidak tau ada apa dengan dirinya, kenapa dia seolah membela Sagam di hadapan suami dan anaknya, padahal Ina masih membenci Sagam lahir batin.

"Kenapa aku bicara seperti itu?"

"Apa benar kata orang jika naluri seorang ibu tidak pernah salah?"

Ina duduk di sebuah kursi yang salah satu sudut rumahnya yang megah ini, dia mengepalkan ke dua tangannya sembari menatap ke sebuah pigura kecil yang menampakan foto keluarga kecilnya tanpa Sagam tentunya.

Hatinya terasa sakit ketika melihat foto itu, dia memiliki dua orang anak tapi kenapa rasanya hanya memiliki satu orang anak? Bahkan anaknya itu dekat dengannya, wujudnya terlihat tapi Ina masih saja menganggap dia sebagai orang asing yang masuk ke keluarganya.

Brukk

Ina terkejut ketika mendengar suara orang terjatuh, dengan terburu-buru Ina berjalan ke arah sumber suara. Ina melirik ke kiri dan kanan tapi tidak ada siapapun di sini selain dirinya.

Karena Ina penasaran dia mencari lagi hingga akhirnya dia melihat kaki yang terlihat sudah membiru.

"Astaga!" Terkejut tentu saja, Ina melihat Sagan ah bukan ini bukan Sagan anak kesayangan nya melainkan Sagam yang sudah tergeletak di dalam toilet dengan kaki yang menonjol ke luar sedikit.

"Hei bangun!" Ina mengguncangkan dada Sagam Karena kamar mandi dapur ini lumayan sempit dan hanya bisa di masuki satu orang.

"Kenapa kamu bisa kaya gini!" Ina melihat kaki Sagam yang sudah membiru seperti tidak di aliri darah.

Dari raut wajah Ina terlihat jika saat ini dia tengah panik melihat kondisi Sagam yang seperti ini. Meskipun sudah sering Sagam terluka hingga berdarah tapi kali ini Ina merasakan hal yang berbeda.

"Astaga!" Ina di buat terdiam ketika melihat mulut Sagam berbusa, di pikirannya terus berputar kenapa Sagam bisa sampai seperti ini.

"Nyonya saya sudah memanggil dokter," ucap salah satu pembantu. Dia yang pertama melihat Sagam pingsan lebih dulu, bukan Ina yang notabenenya adalah ibu kandungnya sendiri.
________

Dokter yang di panggil oleh maid tadi sudah  memeriksa Sagam, namun hasilnya kurang memuaskan karena hasil pemeriksaanya tadi Sagam harus segera di bawa ke rumah sakit karena Sagam mengalami keracunan.

Awalnya Ina ragu-ragu untuk membawa Sagam ke rumah sakit karena dia juga masih takut dengan suaminya marah nanti, dan juga takut jika Sagan kecewa dengannya.

Namun semua keraguan Ina seketika sirna saat melihat Sagam yang sekarat, tubuhnya bergetar hebat, dan disertai dengan mulutnya yang kembali berbusa.

Dan di sinilah Ina dan Sagam berada di rumah sakit terdekat, rumah sakitnya tidak besar dan peralatannya tidak seperti di rumah sakit yang biasa keluarganya kunjungi, tapi untunglah nyawa Sagam terselamatkan meskipun sekarang belum sadarkan diri juga. Tadi dokter sudah mengatakan hasil pemeriksaannya dan ternyata benar Sagam mengalami keracunan sabun mandi.

Ina yang syok dengan penjelasan dokter tadi terus diam hingga sekarang sembari menatap tubuh Sagam yang berbaring di hadapannya.

Haruskah dia menunggu Sagam di sini hingga pulih atau pulang dan menyembunyikan keberadaan Sagam yang sekarat.











____________________________________

PERTAMA DAN TERAKHIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang