1. eccedentesiast

3K 175 15
                                    

Bahagia itu seperti apa? Rasanya kayak gimana ya? Apa orang yang sering senyum-senyum kayak begitu itu ngerasa bahagia? Tapi kita kan nggak tahu apa isi hati orang lain.

Sedari tadi orang bernama Halilintar, siswa kelas X-IPS dari SMA Rintis hanya memainkan pensil yang dia genggam. Halilintar saat ini sedang melihat keluar jendela, dia melirik saudara kembarnya yang bernama Gempa melewati kelasnya.

“Hai Kak Hali!” Gempa melambaikan tangannya saat melewati kelas kembarannya.

“Anak itu pasti dipanggil guru lagi,” gumam Halilintar dengan nada dingin, dia tidak berniat membalas sapaan dari Gempa.

Gempa menurunkan tangannya, raut wajahnya berubah jadi murung. Dia yakin Halilintar tahu kalau dia menyapanya.

“Duh! Kak Hali cuek banget sama adek sendiri,” gumam Gempa.

“Woi! Ngapain bengong di depan kelasnya si Hali?” Seseorang menepuk punggung Gempa dengan keras.

Gempa maju beberapa langkah ke depan karena kaget, “Kak Taufan akhlaknya minus banget ya?” Gempa bicara dengan nada sinis.

Taufan tersenyum meskipun kesal, “Kamu juga minus akhlak Gem.”

“Jangan sembarangan kalau ngomong!” Gempa merengut kesal.

“Heh! Kamu juga minus akhlak soalnya berantem sama anak kelas sebelah,” ujar Taufan, dia menekan kepala Gempa karena kesal.

“Jangan dibahas lagi kejadian hari itu!” seru Gempa.

Taufan menjauhkan tangannya dari kepala kembarannya, “Oke.”

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang guru.

“Kak Taufan ngapain ngikutin aku?” Gempa mencubit tangan Taufan dengan pelan.

“Duh sakit Gem! Aku nggak ngikutin kamu,” ucap Taufan sambil mengelus tangannya.

“Terus kenapa dari tadi jalan di samping aku, Kak?”

“Gabut,” jawab Taufan setelah cengengesan gak jelas.

Gempa menghela napas pelan, “Pergi sana!”

“Nggak mau!”

Gempa bicara dengan ketus, “Terserah! Gini amat punya Kembaran yang nggak punya kerjaan.”

Taufan melotot kesal, ingin sekali dia membalas adiknya itu, meskipun pada akhirnya dia tidak jadi menampol kembarannya. Saat ini Gempa sudah masuk ke dalam ruang guru, sedangkan Taufan hanya menunggu di depan sambil jongkok sendirian.

“Taufan!”

Ying berlari mendekat ke Taufan dengan panik.

“Ada apa?”

Ying menarik napas sebelum bicara, “Halilintar ada di UKS, cepetan kamu datengin kembaranmu sana!”

Taufan melamun sejenak, kalau dia datang pasti kakak kembarnya akan marah. Tapi kalau nggak datang nanti dia sendiri yang overthingking.

“Gua nggak bisa dateng jenguk dia,” jawab Taufan, dia biasanya pakai panggilan gaul kalau ke orang lain.

“Terserah kamu ajalah, yang penting aku udah ngasih tahu.”

Taufan hanya melihat punggung Ying yang pergi meninggalkannya di depan ruang guru.

“Sebenarnya, kenapa kami bukan kayak saudara?” gumam Taufan.

Wajah Taufan memang tidak menunjukkan ekspresi apapun saat bicara pada Ying tadi, tetapi di dalam hatinya dia merasa khawatir pada Kakaknya.

“Kok tadi aku kayak dengar suaranya Ying?” tanya Gempa pada Taufan yang sedang melamun.

Taufan memegang dadanya, “Kamu tuh ya ... Kakakmu ini lagi bengong malah dikagetin.”

Gempa membawa beberapa buku paket karena dia mendapat hukuman dari gurunya.

“Mana ada orang kaget tapi ekspresinya datar gitu.”

Sambil menata buku paket yang dia bawa karena sedikit berantakan, dia berjalan meninggalkan Taufan yang sedang bimbang.

“Kasih tahu Gempa atau nggak ya?”

Sekelibat ingatan Taufan seketika muncul.

“Nggak perlu peduliin aku!”

Ya sudahlah, toh Halilintar selalu bilang begitu kalau Taufan dan Gempa ingin membantunya.

***

Di dalam UKS.

“Mereka nggak datang ya?” gumam Halilintar sembari melihat ke pintu dari tadi.

“Tumben nggak heboh kayak waktu itu,” gumamnya lagi.

Halilintar merasa ruang UKS terlalu sunyi saat ini. Hanya ada dia sendirian di sana. Biasanya dua kembarannya itu akan heboh sendiri kalau tahu dia ada di ruang UKS. Tapi kali ini mereka nggak datang, Halilintar merasa ada rasa nggak enak dihatinya.

Halilintar tersenyum palsu mengingat masa kecilnya.

“Anak pertama kalian kok beda banget sama anak-anak kalian yang lainnya?” tanya kakek mereka.

“Dia itu memang pendiam dan nggak suka senyum sama ketawa Yah, jangan mikirin dia.” balas ibunya.

“Kok bisa ada anak kita yang nggak ketawa sama sekali padahal dua adiknya aja ketawa ceria kayak gitu,” ujar ayah mereka.

Sang ibu mengajak Taufan dan Gempa bermain bersama, “Jangan mikirin anak itu, lebih baik kita fokus sama anak kita yang lainnya.”

Halilintar hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dia memegang mainan robot yang dibelikan oleh neneknya.

“Kenapa mereka nggak adil?” gumam Halilintar, saat itu mereka masih umur 8 tahun, tapi entah kenapa Halilintar sudah berpikir sejauh itu.

***

Halilintar masih tersenyum meski air matanya jatuh, “Aku nggak suka mereka, karena mereka juga nggak suka aku.”

Next?
Lanjut?
Aku butuh kritik dan saran

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang