14. Kapan kamu mau diadopsi, Hali?

634 98 2
                                    

Setelah Halilintar pergi ke kamarnya tanpa cuci piring, dia membiarkan pikirannya melayang kemana-mana. Sedangkan Gempa diam-diam mencuci piring agar Halilintar tidak perlu cuci piring hari ini.

Gempa cuma gengsi kalau kakak kembarnya itu melihat dia membantunya. Sedangkan Taufan masih main game di dekat meja makan.

“Tumben cuci piring?” tanya Taufan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

“Lagi pengen aja,” jawabnya dengan singkat.

Taufan menarik piring yang ada di depannya saat Gempa ingin mengambil makanan yang belum disentuh Taufan, “Jangan diberesin dulu makanannya, aku belum makan.”

Gempa mengangguk, dia memilih untuk menunggu kakak kembarnya selesai makan.

Gempa menarik ponsel Taufan, “Kalau makan jangan sambil main hp, ntar tuh hp mu jatuh Kak.”

Taufan terlihat tidak terima, tapi dia tetap lanjut makan tanpa protes karena takut dimarahin Gempa.

***

Malam harinya, Halilintar keluar dari kamarnya, dia terkejut karena piring kotor tadi sore sudah bersih.

“Siapa yang cuci piring?” gumam Halilintar.

Halilintar menoleh saat merasa ada orang di belakangnya.

“Gempa belum tidur?” tanya Halilintar.

Gempa merengut kesal, “Pertanyaan macam apa itu? Udah jelas-jelas kelihatan kalau aku belum tidur, ngapain nanya gitu?”

Halilintar merasa kesal dengan jawaban dari adik kembarnya, padahal dia hanya ingin mengajak kembarannya ngobrol.

Halilintar mulai memasak nasi goreng untuk makan malam, “Maaf, aku cuma mau ngajak ngobrol aja.”

“Hmmm,” gumam Gempa yang hanya duduk diam di dekat meja makan.

Beberapa menit kemudian, Taufan keluar dari kamarnya. Dia mencium bau nasi goreng yang membuat perutnya lapar.

“Hai Gem!” sapanya pada Gempa.

Gempa tersenyum, “Hai, Kak Taufan.”

“Udah lama nunggu di sini?” tanya Taufan, dia membawa dua botol air putih.

Gempa mengangguk, “Kok cuma dua botol? Kak Taufan nggak bawa air buat Kak Hali?”

Taufan melirik Halilintar yang sedang menyiapkan 3 piring nasi goreng sambil menjawab, “Biarin aja dia ambil sendiri, dia kan bisa sendiri.”

Halilintar hanya bisa tersenyum agar dia tidak kelihatan sedih. Mereka bertiga makan dengan tenang, Taufan langsung pergi meninggalkan meja makan setelah menghabiskan makanannya.

Gempa ikut Taufan pergi meninggalkan Halilintar sendirian. Halilintar berusaha menahan rasa sakit saat diabaikan oleh dua adik kembarnya. Dia membereskan piring kotor di atas meja sebelum tidur.

Setelah itu Halilintar pergi ke kamarnya. Dia ketiduran saat berbaring di kasur sambil mendengarkan musik.

Keesokan paginya, Halilintar bangun pukul 4. Dia menjalankan ibadah sholat shubuh.

Halilintar mencoba menutupi rasa sedihnya dengan sibuk melakukan pekerjaan rumah.

“Gempa, Taufan, ayo sarapan!” teriak Halilintar sambil mencari-cari kedua adiknya. Namun, tidak ada jawaban.

“Pagi-pagi gini mereka kemana?” gumam Halilintar sambil melihat jam ditangannya.

“Masih pukul 6 pagi kok,” gumamnya.

Halilintar berjalan menuju dapur, dia melihat tas dan sepatu kembarannya masih ada di ruang keluarga.

“Tas mereka masih ada di rumah, mending ku masukin kotak bekal aja.”

Mungkin saja Gempa dan Taufan akan membuang kotak bekal yang dia masukkan ke dalam tas mereka. Namun, Halilintar tidak masalah dengan hal itu. Wajar saja jika mereka bersikap seperti itu, selama ini kan mereka masih membenci Halilintar.

Padahal hari ini mereka bertiga ulang tahun yang ke-17, tapi mereka tidak mungkin mau merayakannya bersama dengan Halilintar.

Halilintar kembali ke dalam kamarnya, dia berbaring sebentar di kasur. Sinar mentari pagi menembus celah-celah tirai jendela, menerangi kamar Halilintar. Padahal hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-17, namun tak ada keceriaan yang terpancar di wajahnya.

Dia bangkit dari tempat tidurnya, melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Di cermin, dia melihat pantulan wajahnya yang pucat dan matanya yang sembab. Kenangan pahit tentang pertengkaran yang pernah terjadi antara dia, dan dua adik kembarnya masih membekas jelas di benaknya.

Perkataan kasar dan nada dingin dari kedua adik kembarnya bagaikan pisau yang menusuk hatinya setiap hari. Halilintar tak habis pikir, apa yang telah dia lakukan sehingga mereka menjauhinya?

Setelah selesai mandi, Halilintar berjalan menuju dapur. Dia ingin membuat sarapan, namun tak ada semangat untuk melakukannya. Meja makan yang biasanya penuh dengan tawa dan canda, kini terasa sunyi dan hampa.

Dia mengingat kotak bekal yang telah dia siapkan untuk Gempa dan Taufan. Kotak bekal itu berisi nasi goreng favorit mereka, telur balado, dan tempe orek. Halilintar ragu, apakah mereka akan memakan bekal buatannya?

Beberapa menit kemudian, Halilintar berjalan sendirian keluar dari rumah, menuju ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, Halilintar duduk di samping Ice.

Ice menoleh ke samping, “Kamu beneran nggak mau diadopsi orangtuaku?”

Halilintar terdiam sejenak, “Jangan bahas itu dulu, aku masih punya keluarga yang harus kujaga.”

“Mereka sering jahatin kamu, kenapa kamu masih pengen jagain keluarga kayak gitu?” tanya Ice dengan heran.

“Apa jagain keluarga harus ada alasan?” tanya Halilintar.

Ice menghela napas pelan, “Beneran kamu nggak mau diadopsi orangtuaku? Aku yakin kamu bakal lebih bahagia di sini.”

Halilintar terdiam sejenak, matanya menerawang ke luar jendela. Pikirannya berkecamuk, memikirkan tawaran Ice dan masa depannya.

“Hmm, aku masih belum mikirin itu sih,” jawabnya dengan pelan.

“Aku masih punya keluarga yang harus ...”

Ice memotong ucapan Halilintar, “Keluarga yang sering nyakitin kamu? Kenapa kamu masih mau sama mereka?”

Halilintar menghela napas, “Aku kan nggak selalu disakitin sama mereka. Kadang-kadang kami bisa akur kok.”

Ice mengerutkan keningnya, “Akur? Kamu bilang akur pas mereka sikapnya sinis kayak gitu ke kamu ?”

Halilintar tersenyum kecut, “Ah, itu kan cuma becanda. Kami kan kakak beradik, pasti suka bercanda.”

Ice menggelengkan kepalanya, “Bercanda? Itu udah bukan bercanda, Hali. Kamu harus berani bilang ke mereka kalau kamu nggak suka diperlakuin kayak gitu.”

Halilintar menundukkan kepalanya, “Ya, aku tahu. Tapi aku nggak mau bikin masalah di rumah.”

Ice menepuk pundak Halilintar, “Masalah bukan berarti kamu yang salah. Kamu berhak untuk bahagia. Jangan biarkan mereka terus-terusan nyakitin kamu.”

Halilintar tersenyum tipis, “Aku tahu, Ice. Aku bakal coba mikirin lagi soal adopsi itu.”

Ice tersenyum hangat, “Nah, itu baru bener! Aku yakin kamu bakal lebih bahagia di sini. Kita bisa main bareng, belajar bareng, dan makan bareng setiap hari.”

Halilintar tertawa kecil, “Haha, iya sih. Tapi aku masih belum yakin.”

Ice menepuk pundak Halilintar, “Udah deh, jangan mikirin itu dulu. Sekarang fokus aja sama belajarnya. Nanti sore kita main bareng ya?”

Halilintar mengangguk, “Oke, sip!”

Bel berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran berikutnya. Ice dan Halilintar pun kembali fokus pada pelajaran mereka, namun pikiran Halilintar masih terpaku pada tawaran Ice.

Bersambung

Lanjut?

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang