17. Taufan celaka

532 74 4
                                    

“Maaf Fan, aku terpaksa ngasih informasi ke Fang,” gumam Ying, dia sudah memberikan informasi tentang kemana saja Taufan akan pergi hari ini.

Fang tersenyum sinis setelah mengirimkan pesan pada teman-temannya. Dia menyuruh teman-temannya untuk mencelakai Taufan di jalan.

“Halilintar harus tahu rasanya waktu orang yang dia sayang celaka,” gumam Fang.

Taufan hari ini akan bernasib sial karena ada orang yang memiliki dendam pada Halilintar. Meskipun Taufan merasa benci pada kakak kembarnya itu, tapi Taufan tak sebenci itu pada Halilintar.

Hari ini dia membelikan makan untuk Halilintar dan Gempa, dia merasa sedikit kasihan kalau Halilintar harus keluar uang terus untuk membelikan makan setiap hari.

Taufan berjalan dengan santai, tak menyadari bahaya yang menanti di depannya. Dia memikirkan Gempa, dia bertanya-tanya apa yang Gempa lakukan saat ini karena Gempa berangkat olimpiade ke luar kota.

“Lah, aku malah mikirin Gempa. Harusnya aku mikirin hal lain, si Hali udah pulang kerja paruh waktu apa belum ya?” gumam Taufan.

Tiba-tiba, Taufan merasakan ada yang tidak beres. Dia mendengar bisikan-bisikan dari balik gang. Dia pun mempercepat langkahnya, berusaha untuk meninggalkan tempat itu.

Usahanya untuk lari sia-sia, segerombolan orang muncul dari balik gang, menghalangi jalannya. Jantung Taufan berdebar kencang, rasa takut mulai menjalari tubuhnya. Dia menelan ludah dan mencoba untuk bersikap tenang.

Taufan tiba-tiba berpikir untuk menipu mereka, “Lihat ada Halilintar!” Taufan berteriak sambil menunjuk ke depan sana.

Saat segerombolan siswa dari SMA lain mengalihkan pandangannya dari Taufan. Dia kabur secepat mungkin dari sana, Taufan tidak menyangka jika dia sendiri akan membawa-bawa nama kakak kembarnya yang dia benci itu.

Taufan berlari sekuat tenaga, jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang. Dia tidak berani menoleh ke belakang, takut segerombolan orang itu mengejarnya. Dia terus berlari, menyusuri jalan-jalan kecil yang sepi.

Pikirannya dipenuhi rasa panik dan ketakutan. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh segerombolan orang itu jika mereka berhasil menangkapnya. Dia hanya ingin bisa melarikan diri dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.

“Mau langsung lari pulang tapi gang di sini masih jauh dari rumah,” gerutu Taufan dengan kesal, dia merasa nasibnya buruk sekali hari ini.

Beberapa menit kemudian Taufan keluar dari gang dan lari ke pinggir jalan raya. Dia menoleh ke belakang dan berkata, “Baguslah, mereka udah nggak kelihatan.”

Taufan tersenyum lega, dia berjalan sambil menenteng tasnya dengan santai. Dia tidak sadar kalau ada motor yang melaju kencang ke arahnya dari belakang.

“Dasar payah ... Dia nggak tahu aja kalau dikejar sama siswa SMA lainnya itu buat jebakan doang,” gumam orang yang mengendarai motor itu.

Orang itu sengaja menunggu di sekitar jalan keluar dari gang karena menunggu momen yang tepat untuk menabrak Taufan.

Suara tabrakan yang keras membuat pejalan kaki di sana menoleh ke arah Taufan yang tergeletak di pinggir jalan dengan darah yang mengucur dari kepalanya.

Orang yang menabraknya langsung tancap gas dan kabur meninggalkan Taufan yang tak sadarkan diri. Orang-orang mengerumuni tubuh Taufan, ada yang teriak ketakutan melihat darah yang terus mengalir dari kepala Taufan.

“Hali, itu kok ada yang kumpul di pinggir jalan sih? Ada orang ketabrak ya?” tanya Ice pada Halilintar, saat ini Ice membonceng temannya itu.

Halilintar menggeleng tanda tak tahu, dia penasaran dan mengajak Ice untuk melihat ada apa yang terjadi. Ice dan Halilintar pun mendekati kerumunan orang di pinggir jalan.

Semakin dekat, jantung Halilintar berdebar kencang. Dia merasa ada firasat buruk tentang orang yang tergeletak di sana.

Ketika mereka sampai di dekat Taufan, Halilintar langsung terduduk lemas di aspal. Matanya berkaca-kaca melihat adik kembarnya yang terluka parah.

"Taufan!" teriak Halilintar dengan panik. Dia langsung memeluk Taufan yang tak sadarkan diri.

Ice yang melihat Halilintar panik langsung menghubungi ambulans. Dia juga berusaha menenangkan Halilintar yang terus menangis di samping Taufan.

Beberapa menit kemudian, ambulans pun datang. Taufan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Halilintar dan Ice mengikuti ambulans dengan perasaan cemas.

Di rumah sakit, Taufan langsung mendapatkan perawatan intensif. Dokter mengatakan bahwa Taufan mengalami luka serius di kepala dan harus menjalani operasi.

Halilintar menyetujuinya dan membayar biaya operasi Taufan dengan menggunakan ATM nya sendiri. Itu semua uang tabungan Halilintar, dia akan mengabari papa dan mamanya saat ini.

Halilintar menunggu dengan cemas di luar ruang operasi. Dia terus berdoa agar operasi Taufan berjalan lancar. Ice menemani Halilintar dengan tenang.

“Kamu udah kasih tahu orangtuamu?” tanya Ice sambil memberikan air putih pada temannya.

Halilintar mengangguk, dia menerima air putih itu dan meminumnya.

Beberapa jam kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar dan memberitahu Halilintar bahwa operasi Taufan berjalan lancar.

Dokter tersenyum pada Halilintar, “Operasi berjalan lancar. Pasien masih dalam kondisi kritis, tapi dia sudah melewati masa kritisnya. Dia perlu istirahat selama masa pemulihannya.”

Halilintar lega mendengar kabar itu. Dia berterima kasih kepada dokter dan suster yang telah menyelamatkan nyawa adiknya.

Ice berkata, “Syukurlah, Hali. Kamu pasti udah tenang sekarang.”

Halilintar mengangguk, “Iya, Ice. Aku nggak tahu harus gimana kalau Taufan sampai kenapa-kenapa.”

“Udahlah, kamu tenang aja. Taufan pasti kuat. Kamu juga harus kuat buat dia,” ucap Ice sambil menepuk pundak Halilintar.

Beberapa saat kemudian, Papa dan Mama Halilintar tiba di rumah sakit. Mereka langsung berjalan kearah Halilintar dan Ice.

Sambil menangis, Ruby, mamanya berteriak, “Halilintar, ini semua gara-gara kamu! Kenapa kamu biarkan Taufan pergi sendirian? Kenapa kamu nggak jaga dia?”

Nama lengkap mama mereka adalah Ruby Sabrina Adijaya.

“Benar, Hal. Kamu kakak laki-lakinya Taufan. Kamu harus bertanggung jawab atas keselamatan dia!” teriak sang Papa, namanya Candra Langit Adijaya, biasa dipanggil Langit.

Halilintar terdiam. Dia menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap orangtuanya.

“Kamu udah bikin papa mama kecewa! Kenapa sih kamu selalu bikin masalah? Kenapa dulu kakek kamu meninggal? Gara-gara kamu kan!” bentak Ruby pada anak pertamanya.

Halilintar semakin menunduk. Dia tidak tahu harus bilang apa. Dia merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi pada Taufan

Ice hanya diam mendengar dan melihat apa yang dilakukan oleh orangtua temannya itu. Dia tidak bisa ikut campur masalah orang lain. Ice hanya bereskpresi datar sampai orangtua temannya pergi melihat Taufan.

Ruby dan suaminya memasuki ruangan ICU tempat Taufan dirawat. Mereka melihat Taufan yang terbaring lemah di atas ranjang, dengan selang-selang dan alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya.

Ruby menggenggam tangan Taufan dengan erat, air mata mengalir dipipinya. Dia mencium kening Taufan dengan penuh kasih sayang.

“Anak mama kuat, Nak. Kamu pasti bisa melewati ini,” bisik Ruby dengan suara bergetar.

Halilintar dan Ice berdiri di luar ruangan ICU, mereka tidak berani masuk karena takut dimarahi oleh Ruby. Halilintar terus menundukkan kepalanya, dia merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi pada Taufan.

“Semoga kamu cepat sembuh Fan,” gumam Halilintar

Bersambung.

Lanjut?

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang