62. S2: Beri waktu untuk sembuh

285 34 20
                                    

Kata-kata Gentar menusuk hatinya lebih dalam dari sebelumnya. Ya, mereka memang kembar, memiliki wajah yang hampir serupa, bahkan suara mereka pun mirip. Namun, Blaze adalah Blaze, dan dia adalah Ice. Mereka memiliki kepribadian yang berbeda, mimpi yang berbeda, dan kehidupan yang berbeda.

Ice ingin sekali berteriak dan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa menjadi Blaze. Tapi, suaranya tercekat di tenggorokan.

Halilintar menatap Gentar dengan tatapan tajam. "Gentar, lo nggak punya hati! Lo malah nambahin beban buat Ice!"

Gentar menghela napas. "Gue nggak peduli! Yang penting, Ice harus jadi Blaze."

Halilintar menghampiri Gentar dan mencengkeram kerah bajunya. "Lo kenapa sih jadi kayak gini? Lo kayak orang nggak waras!"

Gentar berusaha melepaskan cengkeraman Halilintar. "Lo nggak ngerti perasaan gue!"

Gentar menunduk, air matanya mulai menetes. "Gue kangen Blaze. Gue nggak bisa nerima kenyataan kalau dia meninggal karena donorin jantung sama paru-parunya buat Ice."

Halilintar menghela napas panjang. Ia tahu betul betapa dekatnya Gentar dengan Blaze. Mereka bertiga telah bersahabat sejak kecil, dan kehilangan Blaze adalah kenyataan yang sangat menyakitkan bagi mereka.

"Gue juga kangen Blaze, Gentar," ucap Halilintar sambil melepas cengkeramannya pada kerah baju Gentar dan meraih bahu sahabatnya. "Tapi, kita nggak bisa terus-terusan begini. Kita harus belajar ngikhlasin Blaze."

Gentar menggelengkan kepala. "Gue nggak bisa."

"Kasih waktu buat nenangin diri lo sendiri, Gentar," bujuk Halilintar.

Halilintar menarik Gentar ke dalam pelukannya. Ia tahu betul betapa sakitnya kehilangan sahabat terbaik. Gentar membalas pelukan Halilintar, air matanya terus mengalir membasahi bahu sahabatnya.

Di sudut ruangan, Ice berdiri menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena telah menjadi penyebab pertengkaran mereka.

Pemuda bernetra aquamarine itu mengamati Halilintar yang memeluk saudara angkatnya Ice. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ice merasa seperti orang ketiga dalam persahabatan mereka, seperti orang yang tidak diinginkan. Kata-kata Gentar tentang kemiripan mereka dengan Blaze terus berputar-putar di kepalanya.

Ice menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hatinya.

"Lo berdua mau pelukan sampai kapan? Gue bakal jadi Blaze selama yang Gentar mau," kata Ice sebelum masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Halilintar yang berusaha menenangkan Gentar.

Halilintar segera melepas pelukannya pada sahabatnya, dia menghela napas pelan sambil menepuk pundak Gentar beberapa kali sebelum pergi menemui Ice.

Halilintar mengetuk pintu kamar Ice dengan lembut. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras.

"Ice, buka pintunya. Kita perlu bicara," pinta Halilintar.

Pintu kamar terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Ice yang terlihat pucat. Matanya sembab, bekas air mata masih terlihat jelas di pipinya.

Halilintar masuk ke dalam kamar Ice. Ruangan itu terasa sangat sunyi, hanya ada suara jarum jam yang berdetak.

Halilintar duduk di tepi ranjang Ice, menatap pemuda bernetra aquamarine itu.

"Ice, apa yang sebenarnya lo rasain?" tanya Halilintar.

Ice menggigit bibir bawahnya. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

"Gue bingung, Hal," ucap Ice akhirnya. "Gue nggak tahu harus gimana. Gue nggak mau ngelihat kalian bertengkar gara-gara gue."

"Gue tahu lo lagi bingung, Ice," ucap Halilintar. "Tapi, lo nggak perlu ngubah diri lo cuma buat Gentar."

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang