39. Cemburu 2

414 66 7
                                    

Halilintar menarik napas dalam-dalam berkali-kali, berusaha meredakan rasa pusing yang menyelimuti kepalanya. Sudah tiga minggu dia dirundung di sekolah, terkadang ketika jam pelajaran olahraga, sepatunya atau kaos olahraganya akan selalu tiba-tiba hilang entah kemana.

“Sepatumu hilang lagi?” Suara Yaya yang bertanya dengan nada khawatir membuat Halilintar merasa tak enak.

Halilintar mengangguk. “Iya,” balasnya dengan singkat.

Yaya tak tinggal diam. Bersama Fifi, mereka mengajak teman-teman sekelasnya untuk membantu mencari sepatu Halilintar sebelum jam olahraga dimulai. “Ayo cari sebelum jam olahraga dimulai!”

“Tunggu di sini ya? Kami usahain kembali ke sini secepatnya,” pesan Fifi sebelum menyusul Yaya pergi.

Halilintar termenung di teras, matanya memandangi teman-temannya yang sedang melakukan pemanasan. Pandangannya kemudian beralih ke Glacier, Frostfire, dan Sori yang berjalan di depan kelas X IPA. Ketiganya berasal dari kelas lain, jurusan yang berbeda.

Setelah itu, tatapan Halilintar beralih lagi. Kali ini, dia melihat Ice yang duduk melamun di pinggir lapangan. Tak seperti biasanya, Ice datang ke lapangan lebih awal tanpa menunggunya. Halilintar menduga, Ice mungkin merasa bosan dan lelah karena selalu membantunya ketika sedang dirundung.

Dua hari yang lalu, terakhir kali Ice memberikan bantuan padanya saat dirundung, Ice malah terkena siraman kuah bakso yang masih panas. Saat itu Halilintar merasa panik dan ingin mengobati tangan Ice. Namun, niat baiknya ditolak begitu saja.

Halilintar teringat kembali pada kejadian dua hari lalu, saat Ice terkena siraman kuah bakso panas. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Dia ingin membantu Ice, tapi Ice selalu menolak. Halilintar merasa semakin tertekan dan tidak tahu harus berbuat apa.

Glacier menghampiri Halilintar, dia ditarik oleh Fifi dan Lulu.

“Ukuran sepatu olahraganya Glacier sama Halilintar sama kan?” tanya Yaya pada dua siswa di depannya.

“Kayaknya sama,” gumam Glacier, dia melepaskan sepatunya lalu menunjukkan ukurannya pada Halilintar.

“Beneran sama,” kata Halilintar.

Halilintar menggaruk kepalanya, agak canggung. “Aku pinjam sepatumu sebentar ya?”

Glacier mengangguk, dia tersenyum ramah seperti biasanya. Melepaskan sepatunya lalu meminjamkannya pada Halilintar.

“Makasih, nanti aku balikin kalau udah selesai.” Halilintar memakai sepatunya Glacier.

“Iya, bentar, aku jadi nggak pakai sepatu waktu masuk kelas dong?” Glacier bergumam sendiri, dia melihat Halilintar yang meminta maaf padanya karena sudah merepotkan.

“Nggak apa-apa,” kata Glacier, dia menoleh ke belakang ketika seseorang menepuk pundaknya.

“Ayo ke kelas!” Sori mengajak Glacier, dia tersenyum pada Halilintar sebelum beranjak pergi dari sana.

Ice yang melihat itu dari kejauhan merasa aneh, dia tidak suka hal itu. Tidak suka melihat Halilintar tersenyum pada orang lain selain dirinya.

Tatapan tajamnya masih mengawasi Halilintar dari kejauhan.

“Ice!” teriakan Halilintar dan Yaya dari jauh membuat lamunan Ice buyar.

Dia menarik napas panjang lalu berlari menghampiri sepupunya dan Halilintar.

“Ngapain menyendiri terus? Galau ya?” tanya Yaya, dia hanya bercanda.

“Iya,” kata Ice dengan ekspresi datar.

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang