23. Beliung ngajak ribut

456 74 5
                                    

Langit senja menyapa kala Halilintar melangkahkan kakinya ke rumah yang pernah menjadi tempat dia pulang. Dua minggu setelah diusir, hatinya diliputi keraguan. Dia penasaran tentang kabar keluarganya bercampur dengan rasa takut kehadirannya akan ditolak.

Alasan dia datang cuma satu, dia mendengar bahwa keluarganya sedang kesusahan. Dengan ragu-ragu, ia mengetuk pintu, menggemakan salam yang telah lama tak terucap. Pintu pun terbuka, menampakkan wajah Langit, ayahnya.

Tatapan mereka beradu, tanpa basa-basi, Halilintar menyerahkan amplop berisi uang, tanda baktinya sebagai anak.

“Kamu kerja apa?” tanya Langit

“Hali kerja di rumah teman Pa. Kerjaan Hali halal kok,” jawab Halilintar, senyum pahit menghiasi bibirnya.

Tujuan awalnya hanya ingin bertemu Taufan dan Gempa, kembarannya. Namun, saat melihat Langit ada di rumah, dia tak berani bertanya tentang keberadaan mereka.

“Masuk dulu, ini sudah sore. Makanlah sebelum kembali ke rumah temanmu,” ajak Langit, dia merasa malu karena pernah mengusir Halilintar dari rumahnya.

Namun, Halilintar menolak ajakan ayahnya. “Hali udah ditungguin sama orang-orang di sana, Hali harus kerja lagi,” jelasnya dengan pelan.

“Kalau begitu bawa makanan dari rumah. Tunggu dulu di sini!” titah sang ayah.

Halilintar terdiam di depan pintu rumah yang masih terbuka. Dia tersenyum mengingat kenangan yang menyedihkan di rumah ini.

Samar-samar Halilintar mendengar perdebatan sang ayah dengan ibunya. Kedengarannya Ruby masih tidak suka dengan kehadiran Halilintar.

Perdebatan mereka sampai belasan menit lamanya. Namun, Halilintar masih menunggu sang ayah membawakan makan malam untuknya bawa kembali ke tempat dia bekerja sebagai pengawal.

Beberapa detik kemudian, Halilintar menerima beberapa kotak makanan dari ayahnya. Halilintar pamit pulang pada ayahnya, dia sempat melihat ada Taufan yang mengetahui dia ada di depan rumah.

Halilintar merasa lega karena Taufan terlihat baik-baik saja saat ini. Meski begitu Halilintar sedikit kecewa karena dia tidak bisa melihat Gempa hari ini.

Halilintar kembali ke rumah Solar, dia sedikit ngebut karena waktu sudah hampir malam. Perjalanannya saja membutuhkan waktu dua jam, dia jadi teringat saat diusir dari rumahnya. Dia tidak menyangka jika dia kuat berjalan sejauh itu dan ambruk di depan rumahnya Solar.

Langit senja menjadi saksi bisu perjalanannya. Halilintar membawa luka masa lalu yang masih menganga, terbungkus dalam senyum getir yang dipaksa. Langkahnya dalam melanjutkan hidup menapaki jejak kenangan, diiringi bayang-bayang masa lalu yang menyedihkan.

Sesampainya di halaman rumah Solar, Halilintar langsung pergi ke gedung tempat para pengawal tinggal. Dia menyapa beberapa pengawal yang dia kenal lalu menawarkan makanan yang dia bawa.

Rekan kerjanya menyambut dia dengan baik, Halilintar mengeluarkan kotak makanan yang dibawanya dari rumah. Tanpa basa-basi, dia menawarkannya kepada rekan-rekan kerjanya. Aroma lezatnya segera memenuhi ruangan, mengundang rasa lapar mereka.

Suasana hangat terasa saat mereka makan bersama. Tawa dan canda menghiasi ruangan, melupakan sejenak beban yang mereka pikul. Di tengah keramaian itu, Halilintar merasakan tatapan tajam dari sudut ruangan.

Seorang pria bersandar di dinding, melipat tangannya di dada. Tatapannya penuh sinis, seakan meragukan kemampuan Halilintar.

“Pengawal barunya masih bocah SMA?” gumam pria itu, suaranya terdengar samar-samar.

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang