Gempa melampiaskan kekesalannya pada sang kakak tanpa memikirkan perasaan kakaknya.
Setelah Gempa kembali masuk, Halilintar berjalan pulang. Dia sengaja hujan-hujanan lagi untuk menyembunyikan air matanya.
Dadanya terasa sesak, dia memukul dadanya berkali-kali, tahu kan rasanya tiba-tiba dadamu terasa sesak saat menangis?
Emosi negatif yang dialami Halilintar membuat pola pernapasannya terganggu sehingga rasanya dia seperti sesak napas.
Dia merasa kecewa, marah dan sedih karena kejadian tadi. Ah ... Rasanya Halilintar ingin tidur cepat dan melupakannya.
Itulah yang dirasakan Halilintar sekarang.
Terus berjalan meski tubuhnya menggigil kedinginan. Dia tidak peduli meski besok dia bisa terkena demam karena kehujanan.
“Besok izin nggak masuk sehari aja nggak apa-apa kan?” Halilintar bergumam pelan, bibirnya sudah memucat.
“Aku capek,” gumamnya sembari terus melanjutkan langkah kakinya.
Derasnya hujan yang mengguyur kota rintis membuat beberapa orang memilih berteduh. Kecuali Halilintar dan seseorang yang melihatnya dari kejauhan.
Kulitnya yang pucat pasi dengan sorot mata sayu, orang itu hanya diam di pinggiran jalan. Meski hujan deras membuatnya basah, dia tetap bergeming di sana.
“Halilintar ... Akhirnya kita bertemu,” gumam orang itu setelah diam membisu dengan waktu yang cukup lama.
Orang itu mendongak, dia membiarkan tetesan air hujan mengenai wajahnya.
“Blaze ... Sedang apa ya di alam sana?” Dia bertanya entah pada siapa.
***
Halilintar melangkahkan kakinya menuju ke kamar setelah sampai rumahnya. Dia mengganti baju lalu mengunci pintu agar saudaranya tak masuk sembarangan.
Halilintar menarik selimut sampai menutupi lehernya. Sudut bibirnya melengkung ke bawah, dia tidak perlu pura-pura tersenyum lagi kan saat ini?
“Hali sakit Ma, Hali pengen dirawat Mama ... Kapan Mama mau sayang sama Hali?”
“Hali juga pengen diperlakukan kayak mereka Pa, tapi kenapa Papa selalu pilih kasih?”
Halilintar hanya bisa bicara sendiri karena tak mungkin orangtuanya mau mendengarkan ucapannya. Sudah seringkali dia diabaikan oleh orangtuanya, tapi hal itu tidak terlalu dipikirkan oleh Halilintar.
Sejak awal dia memang selalu sendirian, jadi menurutnya tak apa-apa jika diabaikan oleh keluarganya sendiri. Namun, entah kenapa kali ini dia jadi memikirkannya.
Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, tapi Halilintar hanya membiarkannya, rasanya dia sudah tidak kuat berjalan untuk mengambil obat.
*
Diperjalanan pulang, Taufan dan Gempa saling melirik di dalam mobil orangtua mereka. Dua saudara kembar itu bertengkar karena Taufan mendengar perkataan Gempa yang keterlaluan.
“Harusnya tadi kamu nggak ngomong kayak gitu!” seru Taufan, dia menatap sinis kembarannya.
“Jangan nyalahin aku terus! Aku tadi cuma emosi.” Gempa tidak terima disalahkan, raut wajah kesal dia tunjukkan sepanjang perjalanan.
“Emosi boleh, tapi jangan ngomong hal yang keterlaluan kayak gitu! Kamu pikir dia nggak sakit hati apa?”
Gempa memilih untuk tidak membalas ucapan kembarannya. Dia sudah lelah bicara dengan kembarannya.
“Kok diam aja?” Taufan bertanya dengan kesal.
“Ooo ... Kamu sekarang nggak peduli sama pendapat saudaramu ya!” Taufan melanjutkan ucapannya.
Mereka berdua berselisih di depan orangtua mereka. Sampai akhirnya papa mereka menghentikan pertengkaran dua anak kembar itu.
Keesokan harinya, Halilintar bangun dari kasurnya. Berjalan sempoyongan keluar dari kamar, dia tadi sudah sholat subuh lalu kembali tidur lagi.
Halilintar memegangi kepalanya yang terasa pusing, “Udah jam 6, aku harus pergi sekolah.”
Meski dirinya demam, dia tetap memaksakan diri pergi ke sekolah. Dia memakai seragamnya setelah cuci muka.
“Terpaksa nggak mandi karena demam,” gumamnya.
Halilintar makan roti lalu minum air putih, setelah itu dia berangkat jalan kaki. Pemuda bernetra ruby itu melangkahkan kakinya dengan cepat.
Beberapa saat kemudian dia sudah ada di depan kelasnya. Halilintar menghela napas pelan sebelum membuka pintu kelas.
“Aduh!” Halilintar mengaduh saat pintu terbuka tiba-tiba dan mengenai wajahnya.
“...”
Orang yang membuka pintu itu hanya diam membisu. Halilintar kesal dibuatnya, tapi karena rasa pusing dikepalanya membuat dia tidak ingin bertengkar dengan orang lain.
“Maaf,” kata orang itu tiba-tiba setelah Halilintar melewati orang itu tanpa melihat wajahnya.
Sekarang wajah Halilintar semakin pucat, dia sangat shock saat mendengar suara yang tak asing itu.
“Suara Blaze,” gumam Halilintar, dia menoleh dan tatapannya bertemu dengan orang itu.
Warna matanya berbeda dengan punya Blaze, itulah hal pertama yang dipikirkan Halilintar.
“Hm? Aku kembarannya Blaze,” ujar orang yang ada di depan Halilintar dengan santai.
Rasanya emosi Halilintar campur aduk, padahal dia mengira jika Blaze masih hidup. Ternyata orang yang ada di depannya ini kembaran dari sahabatnya.
“Halo?”
“Eh ya?” Halilintar sempat melamun sebentar, dia membalas ucapan kembaran Blaze dengan refleks.
“Aku Ice, salam kenal.” Ice mengulurkan tangannya ke depan.
Halilintar membalas uluran tangan Ice lalu tersenyum paksa seperti biasanya, “Halilintar.”
Satu hal yang dipikirkan oleh Ice saat ini adalah, orang yang ada di depannya ini sedang sakit. Tapi Ice saat ini tak ingin bicara lebih banyak lagi, jadi dia membiarkan Halilintar mengikuti kegiatan pembelajaran meski sakit.
Mereka berdua duduk sebangku, meski sekarang sudah punya teman sebangku. Mereka tidak berniat untuk berbincang sedikitpun.
Rasanya sama saja seperti dulu, hening dan sepi. Tapi Halilintar menyukai itu.
Setidaknya dia bisa belajar dengan tenang tanpa ada gangguan. Dia tadi sempat minum obat, jadi dia merasa akan baik-baik saja.
Tujuan Halilintar hanya belajar fokus, soal masalah dengan keluarganya akan dia pikirkan nanti saja.
Di samping Halilintar ada Ice yang hanya menyimak materi dengan tidak niat. Meski begitu Ice bisa memahami semua materi dengan mudah.
Halilintar akan mendapat saingan dalam memperebutkan peringkat di kelas kali ini karena ada Ice.
Bersambung.
Maaf baru update, soalnya akhir-akhir ini author agak sibuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast (Halilintar Fanfic)
FanfictionBahagia itu seperti apa? Season 1 & 2 ada dalam satu book Cast : Halilintar Adijaya, Taufan Adijaya, Gempa Adijaya, Solar Andreas, Ice Rachelion, Gentaro, Supra Handika, Sopan Handikara, Fanggio Dhanendra Warning! Boboiboy milik monsta, saya hanya...