58. S2: Demam 2

249 42 0
                                    

Taufan terbangun dengan rasa sakit kepala yang hebat. Tenggorokannya terasa kering dan panas. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Ia berusaha bangkit dari tempat tidur, tubuhnya terasa berat.

Ingatannya kembali pada kejadian kemarin. Pertengkaran dengan Halilintar, hujan deras, dan diantar pulang Beliung.

Taufan mencoba meraih ponselnya yang berada di nakas. Dengan susah payah ia membuka aplikasi pesan dan mencari kontak Halilintar. Ia ingin meminta maaf, tetapi jari-jarinya terasa kaku dan sulit untuk mengetik.

Akhirnya, ia menyerah dan meletakkan ponselnya kembali ke tempat semula. Taufan memejamkan matanya, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menyiksanya.

Di sisi lainnya, Halilintar yang tengah menemani Gempa di rumah sakit, tiba-tiba merasakan gelisah. Sejak tadi ia terus saja mengecek ponselnya, berharap ada pesan dari Taufan. Ingatannya kembali pada pertengkaran mereka kemarin, dan hari ini ia sempat melihat Taufan mengetik pesan untuknya, tetapi kemudian Taufan berhenti mengetik dan tidak mengirimkan pesan apa-apa.

"Apa Taufan baik-baik aja?" gumam Halilintar.

Rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi. Ia teringat pada hujan deras kemarin, dan Taufan pasti pulang dalam keadaan basah kuyup.

Tanpa berpikir panjang, Halilintar memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit setelah menyuruh temannya menjaga Gempa. Ia bergegas menuju kos-kosan yang ditempati kembarannya. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih mengingat kejaduan kemarin. Ia menyesali pertengkaran mereka dan berharap Taufan tidak sakit karena hujan.

Sesampainya di kos-kosan Taufan, Halilintar segera mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lebih keras lagi sambil memanggil nama Taufan.

"Taufan! Buka pintunya!" teriak Halilintar.

Halilintar semakin cemas ketika tidak ada jawaban dari dalam. Detak jantungnya semakin cepat. Ia mencoba membuka gagang pintu, tetapi pintunya terkunci dari dalam. Dengan rasa panik yang semakin memuncak, Halilintar menendang pintu dengan sekuat tenaga.

Pasti ibu-ibu pemilik kos akan marah pada kembarannya, tetapi itu bisa dia pikirkan nanti saja. Sekarang baginya lebih penting melihat keadaan Taufan.

Halilintar langsung masuk ke dalam kamar Taufan. Matanya langsung tertuju pada sosok Taufan yang tergeletak di lantai, wajahnya pucat pasi. Segera, Halilintar berlari menghampiri Taufan.

"Fan! Taufan!" panggil Halilintar sambil mengguncang tubuh Taufan.

Taufan bergumam pelan, Halilintar merasa panik melihat kondisi Taufan yang semakin memburuk. Dia berusaha membangunkan Taufan dan membantunya untuk berbaring di tempat tidur. Tangan Taufan terasa sangat panas saat Halilintar menyentuhnya.

"Bentar ya, Fan, gue bakal bawa lo ke rumah sakit," ucap Halilintar sambil meraih ponselnya.

Sebelum sempat menghubungi Solar agar mengirimkan Beliung untuk menjemputnya, Taufan menepis ponsel Halilintar hingga terjatuh. Halilintar semakin kalut. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ingin rasanya ia memarahi Taufan, tetapi rasa khawatirnya jauh lebih besar.

Seandainya saja dia tadi meminjam mobil milik Solar, dia pasti sudah menyeret Taufan ke dalam mobil dengan paksa.

Halilintar memijat pangkal hidungnya. "Fan, jangan gini!" sentaknya.

"Diem, lo cerewet banget!" seru Taufan, dia memejamkan matanya kembali.

"Fan, bangun sekarang!" Halilintar menepuk-nepuk pundak kembarannya.

"Duh. Gue bisa ngurus diri sendiri, lo mending pergi aja deh!"

Halilintar menghela napas, dia tak mempedulikan ucapan Taufan, dengan cepat dia mengambil sapu tangan juga air untuk mengompres dahi kembarannya.

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang