Sinar matahari yang mulai meredup melewati jendela rumah Ice. Aroma teh yang wangi membuatnya merasa tenang.
“Hali, mau minum teh?” tanya Ice sembari meletakkan teko dan juga gelas di meja.
Halilintar mengangguk. “Iya,” balasnya dengan singkat.
“Ayo kita kerjain tugas sambil makan camilan,” kata Ice, dia membuka buku catatannya.
“Bentar,” kata Halilintar sambil mengangkat telpon, dari tadi ponselnya bergetar disakunya.
“Apa?” gumamnya.
“Baik, saya ke sana sekarang.”
“Ada apa?” tanya Ice, dia heran ketika temannya terlihat buru-buru.
Halilintar menoleh sebentar ke temannya. “Papa sama Mamaku kecelakaan,” jawabnya lalu pergi dari rumah Ice.
“Hidupnya dia nggak bisa tenang sebentar aja ya?” gumam Ice setelah temannya beranjak pergi.
Halilintar mengebut sampai rumah sakit, dia berlari secepat yang ia bisa. Halilintar menghentikan lariannya saat melihat Gempa menangis histeris.
Halilintar juga melihat Taufan berusaha menenangkan Gempa. Pemandangan menyesakkan macam apa ini yang sedang dia lihat?
Jangan-jangan ....
“Maaf Suster, pasien bernama Langit dan Ruby ada di ruang mana ya?” tanya Halilintar, raut wajahnya terlihat panik, dia menghentikan Suster yang berjalan ke arahnya
“Mereka berdua sedang dipindahkan ke kamar mayat,” jawab Suster itu dengan ekspresi tak tega.
Tubuh Halilintar menegang, kakinya terasa lemas. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Langit dan Ruby, kedua orang tuanya yang dia sayang, telah tiada. Air matanya mengalir deras, tak terbendung lagi. Dia terduduk di lantai, tak sanggup untuk berdiri.
Meskipun mereka bersikap jahat padanya, dia masih menyayangi orangtuanya. Halilintar mengusap air matanya dengan cepat lalu berdiri dari duduknya, dia tidak boleh seperti ini.
“Taufan, Gempa.”
Panggilan dari Halilintar tidak dibalas oleh dua kembarannya. Sakit sih tidak dipedulikan keluarga sendiri selama belasan tahun, tapi Halilintar akan selalu peduli pada mereka.
Halilintar menepuk pundak Gempa. “Gem, ayo kita bawa Papa dan Mama pulang!”
Gempa mendorong Halilintar agar menjauh. “Puas kamu sekarang? Kamu pasti senang karena orangtua kita udah pergi. Jadi kamu nggak akan tersiksa lagi,” katanya dengan suara parau.
“Aku nggak pernah mikir gitu,” kata Halilintar dengan nada tinggi.
Halilintar berusaha meraih tangan Gempa, namun Gempa menepisnya dengan kasar. Taufan yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara.
“Stop, kalian berdua!” bentak Taufan. “Ini bukan waktunya buat berdebat. Kita baru saja kehilangan Papa dan Mama.”
Taufan mendekati Gempa dan memeluknya erat. “Aku tahu kamu sedih dan marah, Gem. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, kita harus kuat. Kita harus urus pemakaman orangtua kita bareng-bareng.”
Halilintar, Taufan, dan Gempa sepakat untuk mengurus pemakaman orang tua mereka dengan sederhana. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir yang layak untuk Langit dan Ruby.
“Pemakamannya udah selesai, lebih baik kamu pergi,” kata Gempa dengan nada dingin.
Halilintar yang sedang jongkok sambil menaburkan bunga di atas makam orangtuanya langsung berdiri. “Oke,” katanya lalu beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast (Halilintar Fanfic)
Fiksi PenggemarBahagia itu seperti apa? Season 1 & 2 ada dalam satu book Cast : Halilintar Adijaya, Taufan Adijaya, Gempa Adijaya, Solar Andreas, Ice Rachelion, Gentaro, Supra Handika, Sopan Handikara, Fanggio Dhanendra Warning! Boboiboy milik monsta, saya hanya...