"Hali, Gempa kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit, semoga lo bisa pulang ke pulau rintis sekarang," kata seseorang dari seberang telepon.
Perkataan orang itu membuat Halilintar seketika membeku, dia menjatuhkan ponselnya, suara benturan ponsel dan keramik membuat Sori terkejut.
Sori melihat teman sekolah sekaligus pengawal sementaranya dengan tatapan bingung. "Lo kenapa?" tanyanya.
Tangan Halilintar gemetaran, dia mengambil ponselnya dengan susah payah. "G-gempaa ...," gumamnya dengan tatapan kosong.
Tanpa banyak bertanya, Sori segera memesankan tiket pesawat yang akan lepas landas hari itu. "Bawa barang-barang lo, selama Gempa belum pulih. Gue bisa minta ke bokapnya Solar supaya lo digantiin pengawal lain."
Halilintar mengangguk, dia mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Sori.
Setibanya di Pulau Rintis, Halilintar langsung menuju rumah sakit tempat Gempa dirawat. Hatinya terasa remuk melihat adik kembarnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Luka-luka di tubuh Gempa membuatnya merasa bersalah luar biasa.
"Kenapa lo baru datang?" suara Taufan menggema di ruangan itu.
Halilintar menatap Taufan dengan tatapan kosong. "Gue udah bilang, gue lagi ada urusan penting."
"Urusan penting apa yang lebih penting dari nyawa adik lo?" bentak Taufan.
Halilintar terdiam, kata-kata Taufan menusuk hatinya. Dia merasa bersalah dan tidak bisa membela diri. Namun, dalam hati, dia juga marah pada Taufan yang selalu menyalahkannya.
"Gue udah berusaha secepatnya ke sini," jawab Halilintar lirih, suaranya bergetar. "Gue nggak nyangka kalau Gempa bakal kecelakaan."
"Ini semua salah lo!" bentak Taufan lagi. "Kalau lo nggak sibuk sama urusan pribadi lo, mungkin Gempa nggak bakal begini!"
"Taufan!" tegur Ice, yang baru saja masuk ke ruangan itu. "Jangan tambah bikin suasana jadi nggak enak."
Ice menatap Halilintar. "Lo nggak usah terlalu menyalahkan diri sendiri, Hali. Kecelakaan itu bisa terjadi pada siapa saja."
Halilintar mengangguk pelan. Dia tahu Ice benar, tapi rasa bersalahnya tetap saja menghantuinya.
"Lo harus lebih perhatian sama adik lo," kata Solar yang ikut masuk ke ruangan itu.
Halilintar menghela napas panjang. "Gue janji bakal lebih jagain Gempa. Gue nggak akan ninggalin dia lagi."
Taufan masih terlihat marah, tapi dia tidak membalas ucapan Halilintar. Suasana di ruangan itu menjadi hening. Mereka semua terdiam, masing-masing memikirkan masalah yang sedang mereka hadapi.
Suasana tegang masih terasa di rumah sakit. Halilintar berusaha menjaga Gempa sebaik mungkin, tetapi bayangan kesalahan masa lalu terus menghantuinya. Taufan, yang masih belum bisa melupakan kejadian itu, seringkali menyindir Halilintar.
"Lo bilang mau jagain Gempa, tapi lo masih aja sibuk dengan urusan pribadi lo," ucap Taufan sinis saat Halilintar sedang mengurus kerjaannya sebagai pengawal pribadi sambil sekolah.
Kata-kata Taufan seperti tamparan keras bagi Halilintar. Ia tahu, adiknya itu memang benar. Ia seringkali merasa terbebani dengan tanggung jawab sebagai kakak sekaligus pengawal, dan hal itu membuatnya sering mengabaikan mereka. Namun, ia juga merasa tidak adil diperlakukan seperti ini.
"Gue udah berusaha semaksimal mungkin, Taufan!" balas Halilintar, suaranya meninggi. "Lo nggak pernah ngerasain jadi gue yang harus ngurus semuanya sendiri!"
"Udah semaksimal mungkin? Tapi hasilnya Gempa malah kecelakaan!" bentak Taufan. "Lo bilang lo mau jagain kami, tapi mana buktinya? Lo cuma nyari-nyari alasan buat ngehindar dari tanggung jawab lo!"
Halilintar terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membalas.
"Taufan, gue minta maaf kalau gue udah buat lo kecewa. Tapi gue juga butuh dukungan lo, bukannya terus-terusan disalahin," ucap Halilintar, suaranya sedikit melunak, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Kita semua sayang sama Gempa, dan kita semua pengen dia cepat sembuh."
Taufan mendengus sinis. "Gue nggak mau maafin lo. Gue ngerti kalau gue nggak pernah ngurus semuanya sendiri, tapi lo nggak berhak buat bilang kayak tadi ke gue," lanjut Taufan, suaranya mulai bergetar. "Lo lupa apa yang udah gue lakuin buat keluarga ini? Gue selalu ada buat Gempa."
Halilintar terdiam, merasa terpojokkan dengan kata-kata Taufan. Dia tahu bahwa adik kembarnya itu memang sudah lelah dengan sikapnya selama ini. Namun, egonya masih belum bisa menerima kesalahan.
"Lo nggak mau maafin gue? Terserah," balas Halilintar, sudah kehilangan kesabaran. "Lo pikir gue peduli sama maaf lo? Yang penting sekarang Gempa udah gue jenguk!"
Taufan menatap Halilintar dengan tajam. "Lo cuma peduli sama diri sendiri! Lo nggak pernah mikirin perasaan orang lain!"
"Lo yang selalu nyalahin gue! Gue udah capek dengerin ocehan lo!" sahut Halilintar.
"Udah cukup, kalian kalau bertengkar lagi, gue tendang keluar dari sini," kata Solar, dia merasa risih melihat dua orang yang kembar bertengkar di sini.
Pada akhirnya Halilintar dan Taufan diam, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri. Taufan merasa marah dan sakit hati, merasa bahwa selama ini usahanya tidak pernah dihargai. Dia ingin sekali melampiaskan emosinya, tapi dia juga tidak ingin membuat keadaan semakin buruk.
Taufan menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Dadanya terasa sesak, seolah ada batu besar yang mengganjal di tenggorokannya. Mata Taufan berkaca-kaca, dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya.
"Gue capek, Hali," gumam Taufan lirih, suaranya terdengar parau.
"Gue cuma pengen lo ngertiin gue, Hal," lanjut Taufan, suaranya semakin lirih. "Gue juga butuh lo, sama kayak lo butuh gue."
Taufan menatap Halilintar dalam-dalam, berharap kakaknya bisa mengerti perasaannya. Namun, Halilintar hanya diam, matanya menatap lurus ke depan.
"Gue pergi dulu," ucap Taufan pelan, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah juga. Taufan menangis sejadi-jadinya sambil berjalan menjauh dari ruangan itu.
Solar dan Ice pamit pergi karena melihat Halilintar sepertinya butuh waktu untuk menyendiri.
Halilintar terdiam di tempat duduknya, tatapannya kosong. Setelah Taufan dan teman-temannya pergi, ruangan terasa sunyi dan hampa. Kata-kata Taufan terus berputar di kepalanya, menusuk hatinya bagai ribuan jarum.
"Gue juga butuh lo, sama kayak lo butuh gue."
Kalimat itu membuatnya tersentak. Selama ini, dalam egonya yang tinggi, ia lupa bahwa Taufan juga membutuhkannya.
Perlahan, rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah menyakiti Taufan dengan perkataan dan sikapnya. Ia telah membuat adik kembarnya merasa kesepian.
"Sialan!" umpatnya lirih, menendang kursi di sebelahnya.
Tangannya mengepal erat, urat-urat di tangannya tampak menonjol. Ia ingin sekali mengejar Taufan, ingin meminta maaf, ingin memeluknya erat-erat. Namun, egonya masih menahannya.
"Gue nggak mungkin minta maaf," gumamnya. "Gue nggak salah."
Perlahan, air mata mulai menetes dari sudut matanya. Ia menghapusnya dengan kasar, berusaha menyembunyikan kelemahannya. Namun, air mata itu terus mengalir deras, membasahi wajahnya.
"Taufan," lirihnya memanggil nama adiknya. "Gue minta maaf."
Bersambung.
Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast (Halilintar Fanfic)
FanfictionBahagia itu seperti apa? Season 1 & 2 ada dalam satu book Cast : Halilintar Adijaya, Taufan Adijaya, Gempa Adijaya, Solar Andreas, Ice Rachelion, Gentaro, Supra Handika, Sopan Handikara, Fanggio Dhanendra Warning! Boboiboy milik monsta, saya hanya...