40. Cemburu 3

351 59 1
                                    

“Ice kenapa kayak gitu ya?” tanya Halilintar tiba-tiba ketika Ice pergi mengambil pesanan mereka.

“Apanya?”

“Sikapnya nggak kayak biasanya,” balas Halilintar dengan kesal.

“Ice itu sifatnya dominan nurun dari bundanya, kalau almarhum Blaze itu niru sifat ayahnya yang agak bar-bar. Jadi wajar sih kalau tiba-tiba Ice berubah kayak gitu,” kata Yaya menjelaskan tentang sifat orangtuanya Ice.

“Berarti kalau ngambek kayak bundanya dong?” celetuk Fifi.

“Ngebayangin Ice cuma bilang terserah, iya, hm, nggak papa padahal dia cowok jadi pengen ketawa,” kata Lulu menahan tawanya.

Yaya menegur Lulu agar tidak meledek Ice. Memang apa salahnya kalau laki-laki yang meniru sifat dari ibunya?

Belum selesai Yaya menegur Lulu, Ice sudah kembali membawa pesanan mereka. Dia meletakkan nampan di atas meja dengan kasar, raut mukanya datar dan penuh amarah.

“Kenapa?” tanya Halilintar, dia dan yang lainnya hampir jantungan melihat Ice datang dengan cara seperti itu.

Ice duduk di samping Yaya tanpa sepatah kata pun. “Nggak ada apa-apa,” jawabnya singkat, tapi nadanya penuh penekanan.

Ketegangan menyelimuti mereka. Suasana makan siang yang tadinya ceria kini berubah menjadi mencekam. Halilintar, Yaya, Fifi, dan Lulu saling pandang, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Ice.

‘Masa Ice cemburu karena takut sahabatnya diambil orang lain? Bukannya persahabatan kayak gitu biasanya cuma di antara cewek aja ya yang ngalamin?’ batin seseorang yang melihat tingkah laku cowok yang selalu memakai jaket berwarna biru itu.

Dengan jantung berdebar kencang, Halilintar berlari keluar kelas, mengabaikan panggilan panik teman-temannya. Segera setelah mendapatkan izin dari guru, dia melompat ke atas motornya dan melaju kencang menuju rumah sakit. Pikirannya dipenuhi rasa cemas dan khawatir akan keadaan Solar.

Sesampainya di rumah sakit, Halilintar memarkirkan motornya dengan terburu-buru dan bergegas menuju ruang rawat Solar. Di sana, dia melihat Beliung yang sedang berusaha mengajak Solar berbicara dengan suara lembut.

“Tuan muda!” seru Halilintar, dia terlihat lega.

“Hei Bocah! Jangan berisik! Tuan muda sedang tidak ingin diganggu,” kata Beliung, dia melirik Halilintar yang mendekat.

Halilintar mencoba mengajak Solar berbicara, namun tak ada respon. Solar terlihat melamun, tatapannya kosong, wajahnya yang pucat itu menunjukkan ekspresi sedih.

“Aku nggak bisa gerakin kakiku,” kata Solar dengan suara bergetar.

Solar berteriak histeris, Solar mulai memukul-mukul kakinya sendiri, teriakannya menggema di seluruh ruangan. Beliung berusaha menghentikannya. Namun, usahanya sia-sia.

Panik melihat kondisi Solar, Halilintar segera memanggil dokter dengan suara lantang. Dokter pun bergegas datang dan memberikan obat penenang kepada Solar agar emosinya mereda.

Beliung terlihat frustasi, sebagai salah satu pengawal yang sudah lima tahun mengenal Solar, dia merasakan betapa putus asanya Solar saat ini. Sedangkan Halilintar hanya bisa menenangkan Beliung.

Suara langkah kaki mendekat ke arah mereka membuat Beliung mengalihkan pandangannya dari lantai.

Beliung bertanya, “Itu temanmu?”

Halilintar mengalihkan tatapannya dari Beliung. “Yaya, Ice. Kalian ngikutin aku ke sini?” tanyanya, sedikit terkejut.

Yaya mengangguk. “Iya, kami khawatir sama kamu,” balasnya.

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang