51. S2 : Penculikan

486 47 6
                                    

Keringat dingin membasahi dahi Halilintar. Matanya menjelajahi setiap sudut toilet sekolah. Tas Solar tergeletak di depan pintu, menandakan putra bungsu keluarga bermarga Andreas itu kemungkinan diculik saat Halilintar di dalam toilet tadi. Tanpa pikir panjang, Halilintar mencengkeram ponselnya dan menghubungi Kapten Voltra, pengawal senior yang selalu melatihnya.

“Kenapa nggak diangkat, aku harus gimana? Sekolah belum waktunya pulang,” gumam Halilintar, harusnya saat ini mereka ada ulangan harian di kelas XI IPS.

Kalau Halilintar pergi dari sekolah tanpa izin pasti guru akan menghukumnya keesokan harinya.

Halilintar mengambil tas Solar. “Duh, aku nggak bisa diam aja kayak gini,” gumamnya lalu lari secepat mungkin dan memanjat tembok belakang sekolah.

Halilintar melompat dari atas tembok, dia melanjutkan larinya sambil terus menelpon Voltra.

Halilintar menghentikan larinya. “Jangan-jangan kapten lagi mimpin latihan lagi,” gumamnya.

Tiba-tiba orang yang membawa motor melewati Halilintar lalu menghentikan motornya di depan Halilintar.

“Oi Bocah SMA, kamu bolos ya?” tanya sosok yang mengendarai motor itu.

“Senior Beliung!” seru Halilintar, tanpa basa-basi dia langsung naik ke atas motor Beliung.

“Woi! Jangan naik sembarangan! Aku nggak akan bantuin kamu bolos!” Beliung mendorong-dorong Halilintar agar turun.

“Tuan muda Solar hilang,” kata Halilintar, Beliung langsung berhenti mendorongnya.

“Udah berapa lama hilangnya?” Beliung bertanya sambil menyalakan motornya.

“Saya nggak tahu, tapi tadi saya masuk toilet selama 10 menit.”

“Ambil ini,” kata Beliung sambil melempar ponselnya ke belakang, Halilintar langsung menangkap ponsel yang menunjukkan alat pelacak.

“Aku cuma bawa pistol satu sama pisau, nanti ku pinjamin pistol aja,” kata Beliung lalu melirik ke spion motornya.

Dengan kecepatan tinggi, Halilintar dan Beliung melaju mengikuti arah yang ditunjukkan oleh alat pelacak di ponsel. Halilintar terus memantau pergerakan titik biru di layar, sementara Beliung fokus mengemudi di tengah kemacetan kota.

“Hati-hati, Senior Beliung! Ada mobil di depan!” Halilintar memperingatkan saat mobil di depan mereka tiba-tiba mengerem mendadak.

Beliung dengan sigap membanting setirnya, menghindari tabrakan dengan mobil di depan. “Ngagetin aja kamu Bocah!” Beliung berteriak.

“Maaf Senior!” Halilintar menundukkan kepalanya.

Mereka terus melaju mengikuti arah pelacak, melewati jalanan yang ramai dan sempit. Halilintar semakin cemas, dia tidak tahu apa yang terjadi pada Solar.

“Titik biru berhenti di sini,” Halilintar menunjuk ke layar ponselnya Beliung yang dia pegang.

Beliung menghentikan motornya di depan sebuah gudang tua yang terbengkalai. Mereka turun dari motor dan mendekati gudang tersebut, mengintip ke dalam melalui jendela yang pecah. Di dalam, mereka melihat Solar terikat di kursi dengan mulut yang dilakban.

“Solar!” Halilintar berteriak dan segera membuka pintu gudang, meninggalkan Beliung yang menepuk dahinya karena kecerobohan Halilintar.

“Bocah ceroboh, sejak lupa ingatan jadi payah,” kata Beliung dengan kesal.

Dua orang preman muncul dari balik tumpukan barang bekas menyerang Halilintar.

Mereka menendang Halilintar secara bersamaan, Halilintar terjatuh lalu menendang satu preman yang mencoba menusuknya dengan pisau.

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang