61. S2: Permintaan egois

292 36 28
                                    

Hujan semakin menjadi-jadi. Angin bertiup kencang, membawa serta butiran hujan yang menghantam tubuh mereka dengan deras. Namun, tak satupun dari mereka yang berniat untuk berteduh. Mereka hanya berdiri di tengah hujan, saling memandang dalam diam.

Halilintar tahu betapa sakitnya yang dirasakan Ice saat ini. Namun, ia juga tidak bisa memaafkan begitu saja apa yang telah dilakukan Ice.

"Ice, gue nggak tahu harus ngomong apa lagi. Gue cuma berharap lo bisa jujur sama gue dari awal," kata Halilintar, suaranya samar-samar karena suara hujan.

Ice hanya diam, air matanya terus mengalir deras membasahi pipinya. Ia menyesal telah berbohong pada teman-temannya. Ia juga menyesal telah menyakiti hati Gentar.

"Gue minta maaf, Hali. Gue tahu kesalahan gue," ucap Ice dengan suara bergetar.

Halilintar menghela napas panjang. "Gue maafin lo, Ice. Tapi, lo harus ingat, kepercayaan itu nggak bisa dibangun dalam waktu singkat."

"Kami udah percaya banget sama lo, Ice. Tapi kenyataan yang lo sama orangtua lo sembunyiin itu bikin kepercayaan kami ke lo itu mulai hilang," lanjutnya, Halilintar menarik tangan Ice agar berteduh, tetapi Ice menggeleng dan tetap berdiri di sana.

"Ice jangan hujan-hujanan terlalu lama, jangan biarin pengorbanan Blaze buat lo jadi sia-sia!" bentakan Halilintar membuat Ice tersentak kaget, ah ternyata Halilintar sama saja seperti Gentar.

Mau selama apapun Ice bersama mereka, dia tidak akan bisa menggantikan Blaze, kembarannya itu.

Kata-kata Halilintar menusuk hatinya. Ia menyadari bahwa apa pun yang ia lakukan, ia tidak akan pernah bisa menggantikan keberadaan Blaze. Rasa bersalah dan penyesalan semakin mendalam.

"Gue nggak pernah mau ngambil alih hidup Blaze, Hali. Semua ini bukan keinginan gue," lirih Ice.

Halilintar menatap Ice dengan tatapan iba. Ia tahu bahwa Ice juga menderita karena semua ini. Namun, ia tidak bisa begitu saja melupakan apa yang telah terjadi.

"Gue tahu, Ice. Tapi, lo harus sadar bahwa tindakan lo yang nyembunyiin kenyataan kalau Blaze meninggal karena donorin jantung sama paru-paru buat lo itu salah," ucap Halilintar.

Hujan semakin reda. Mereka berdua masih berdiri di tempat yang sama, saling menatap satu sama lain.

"Gue minta maaf, tapi lo mau percaya sama ucapan gue kan?"

Halilintar mengangguk pelan. "Gue percaya sama lo, Ice."

Mereka berdua berjalan pulang bersama. Sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak bicara.
Keesokan harinya, Ice mendatangi Gentar. Ia ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang telah ia perbuat.

"Gentar, gue minta maaf. Gue tahu apa yang udah gue lakuin itu salah," ucap Ice.

Gentar menatap Ice dengan tatapan dingin. "Lo pikir permintaan maaf lo bisa ngebalikin nyawa Blaze?"

Ice menggeleng pelan. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengembalikan nyawa Blaze.

"Gue tahu, gue nggak bisa ngebalikin nyawa Blaze. Tapi, gue bener-bener nyesel. Gue nggak pernah bermaksud buat nyakitin kalian," lirih Ice.

Gentar terdiam, hatinya masih terluka. Ia merasa dikhianati oleh orang yang selama ini ia percayai sebagai adik angkatnya.

"Lo bilang lo nggak pernah bermaksud buat nyakitin gue, tapi nyatanya lo udah nyakitin gue banget. Lo bohong sama gue, lo sembunyiin kenyataan yang sebenernya. Lo pikir gue nggak sakit hati?" tanya Gentar.

Ice menunduk, ia tidak bisa membantah apa yang dikatakan Gentar. Semua yang dikatakan Gentar memang benar.

"Gue tahu, gue salah. Gue minta kesempatan buat bisa perbaiki semua ini," ucap Ice.

Gentar menghela napas panjang. Ia menatap Ice. "Lo mau gue percaya lagi sama lo setelah semua yang udah terjadi?"

"Gue nggak tahu, tapi gue akan berusaha buat buktiin kalau gue bisa dipercaya lagi," kata Ice sambil melihat Gentar.

Gentar masih ragu. Ia tidak tahu apakah ia bisa memaafkan Ice atau tidak.

Sementara itu, Halilintar yang mendengar percakapan antara Ice dan Gentar merasa iba pada kedua sahabatnya. Ia tahu bahwa mereka berdua sama-sama terluka.

"Kalian berdua jangan kayak gini terus. Gue nggak tega ngelihat kalian kayak gini," ucap Halilintar.

Halilintar menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan suasana. "Gentar, gue ngerti lo lagi sakit hati. Tapi, Ice juga udah minta maaf. Kita semua butuh waktu buat sembuh."

Gentar menatap tajam ke arah Halilintar. "Lo pikir semudah itu? Ice udah nyakitin kita. Dia bohong sama kita semua. Gimana gue bisa percaya lagi sama dia?"

Ice yang mendengar perkataan Gentar semakin merasa bersalah. Ia ingin sekali membuat Gentar memaafkannya, tapi ia tidak tahu harus melakukan apa.

"Gue mohon, Gentar. Kasih gue kesempatan," pinta Ice memohon.

Namun, Gentar tampak bergeming. "Gue nggak tahu harus percaya sama lo lagi, Ice. Tapi, kalau lo mau gue maafin, lo harus lakuin satu hal."

Semua mata tertuju pada Gentar, menantikan apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Lo harus berpenampilan seperti Blaze. Gue mau lihat lo bisa jadi Blaze yang sesungguhnya. Kalau lo bisa, mungkin aja gue bisa maafin lo," ucap Gentar.

Halilintar berusaha mencegah Gentar agar tidak bersikap seperti itu pada Ice. "Gentar, itu nggak adil buat Ice. Lo nggak bisa maksa dia buat jadi orang lain."

Namun, Gentar tidak menggubris perkataan Halilintar. Ia bersikeras pada permintaannya. "Ini satu-satunya cara. Kalau dia bener-benar menyesal, dia pasti mau ngelakuin apa aja."

"Ice, lo nggak usah dengerin dia. Dia lagi emosi," bujuk Halilintar.

Ice menatap Halilintar, lalu menatap Gentar. Ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan Gentar. Dengan berat hati, Ice mengangguk setuju.

"Oke, gue akan lakuin apa yang lo mau," ucap Ice.

Gentar tersenyum sinis. "Bagus. Mulai sekarang, lo harus jadi Blaze. Lo harus lakuin semua hal yang biasa dilakukan Blaze. Kalau lo gagal, jangan harap gue akan pernah maafin lo."

Ice mengangguk lagi.

Halilintar menggebrak meja di dekatnya sehingga membuat Gentar dan Ice tersentak kaget.

Pemuda bernetra ruby itu menarik napas panjang. Berusaha menahan emosinya. "Kalau lo berani nurutin permintaan nggak masuk akal dari Gentar, mending kita nggak usah ketemu lagi," ancamnya pada Ice.

Ice yang mendengar ancaman itu merasa ragu-ragu.

Halilintar menatap tajam pada Gentar. Nada suaranya meninggi, menunjukkan betapa marahnya ia saat ini. "Gentar, lo nggak punya hak buat maksa Ice jadi orang lain! Blaze udah nggak ada, dan Ice nggak bisa menggantikan dia!"

"Kenapa nggak? Ice kan kembarannya Blaze," kata Gentar, dia mengambil foto almarhum Blaze yang ada di dekatnya.

"Lihat, mereka mirip banget kan, beda warna mata sama baju doang," kata Gentar sambil menunjuk foto itu.

Halilintar menggeleng pelan, dia tak menyangka Gentar sampai seperti ini.

Halilintar menepis foto itu dengan kasar. "Mirip wajah nggak berarti sama! Blaze itu unik, dia punya kepribadian yang nggak bisa digantikan sama siapapun, termasuk Ice!"

Matanya menatap tajam pada Gentar. "Lo nggak punya hak buat nyakitin Ice kayak gini, Gentar!"

Gentar terdiam, tatapannya kosong. Dia teringat pada semua kenangan indah bersama Blaze. Rasa sesak memenuhi dadanya.

"Ice nggak akan pernah bisa ngegantiin Blaze."

"Tapi dia kembarannya Blaze! Mereka punya banyak kesamaan," bantah Gentar.

Ice yang sedari tadi diam di dekat mereka mulai menarik napas dalam-dalam. Paru-parunya terasa sakit.

Bersambung.

Lanjut?

eccedentesiast (Halilintar Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang