Bab 2 Bisma

180 14 1
                                    

Begitu kaki Bisma menginjak lobi hotel dan melemparkan pandangan ke arah kanan yang merupakan restoran dari hotel, ia sudah bisa melihat keberadaan Ibunya. Sosok dan penampilannya selalu menarik perhatian atau lebih tepatnya dibuat menarik perhatian. Mengenakan blus warna keemasan, celana krem membungkus kakinya yang panjang dan lenjang dengan ketat, duduk  bersilang kaki. Tangannya yang dihiasi jam tangan berantai kuning keemasan terangkat saat mengibaskan rambut bergelombangnya yang berwarna kecoklatan ke belakang. Lalu ia menopang dagu dengan tangannya, jemarinya yang menempel di pipi memperlihatkan kuku yang panjang terawat dan bercat merah. Kacamata hitam bertengker di atas pelipis. Tas branded di pangkuannya memberi kesan glamor, selain tentu saja wajahnya yang full make up dengan alis terukir sempurna. Penampilannya tidak menampakkan bahwa usianya sudah lebih dari setengah abad.

Di depannya duduk perempuan yang tidak bisa dilihat dengan jelas wajahnya karena duduk menyamping jika dilihat dari arahnya berjalan. Dari pakaian, sepatu stilleto yang dikenakan, tas merah berlogo huruf H yang terletak di depannya, bisa pastikan perempuan itu satu frekuensi dengan ibunya.

Sepertinya mereka terlibat percakapan santai, karena dia melihat Mami, begitu ia memanggil ibunya, ekspresif saat bicara diselingi tawa. Bisma berdehem mengisyaratkan kehadiran dirinya.

Mami seketika menoleh.

"Malam, Mam, maaf telat ada rapat mendadak."

Bisma menarik kursi dan duduk di samping Mami dan mengangguk pada perempuan yang duduk di hadapannya, namun begitu mata keduanya bertemu, sontak perempuan itu berucap,"Ini Bisma?"

Bisma mengangguk melempar senyum. Ia taksir perempuan itu seusia Maminya.

"Nggak ingat ya sama Tante? Tante Airin, mamanya Amita? Masih ingat Amita?"

Untuk sesaat Bisma mengerutkan kening, mencoba mengingat beberapa nama teman SMA dan kuliahnya.

"Amita teman kamu waktu TK, tante dulu tinggal di blok O waktu kamu masih tinggal di Cempaka Putih."

Ya Tuhan tentu saja ia tidak ingat, siapa yang ingat nama-nama teman TK kecuali yang masih berteman sampai saat ini.

"Amita baru menyelesaikan spesialisnya tahun ini," terangnya tanpa diminta."Kapan-kapanlah kalian ketemu, pasti nyambung obrolannya kalau sama-sama dokter."

Bisma menanggapi dengan anggukan sekedar basa-basi karena ia tidak bisa membayangkan bertemu teman TK yang nama dan wajahnya sudah benar-benar hilang dari ingatannya.

"Kabari saja kalau Amita kebetulan ke sini," ujar Maminya dengan antusias.

Bisma mendehem, ia memiringkan kepalanya ke arah Maminya lalu berbisik ke telinganya,"Ada hal penting apa yang ingin Mami bicarakan?"

Mami mendelik tanda tak senang.

"Karena Bismanya sudah datang, aku pulang dulu ya Ta, kalau nggak ada halangan, minggu depan aku mampir ke salonmu." Tante Airin beranjak dari kursi, Mami ikut berdiri, mereka melakukan ritual yang biasa dilakukan banyak perempuan jika akan berpisah, saling menempelkan pipi kanan dan kiri.

Begitu Tante Airin hilang dari pandangan, Maminya berkata, "Sebenarnya tidak ada yang penting. Mami hanya ingin tahu kabarmu dan Sinta, kebetulan juga Mami lagi di sini."

"Kabar kami baik Mam."

"Sinta masih enggan ya bertemu Mami." Ekspresi wajah Mami berubah sendu. Mami meraih cangkir kopi dan menyeruputnya. Seolah tegukan kopi bisa meredam semua rasa kecewa dan sedihnya.

Bisma memilih tak menanggapi, membiarkan Mami mengukir penyesalannya sendiri. Ia melambaikan tangan pada pramusaji yang kemudian mendekatinya. Dipesannya secangkir teh hangat tanpa gula, walaupun sebenarnya ia menginginkan kopi tapi sudah seminggu ini  berusaha mengurangi asupan kafein.

"Mami ketemu Mia kemarin."

Bisma mengangguk. Mia mengabarkan hal yang sama melalui pesan whatsapp kemarin.

"Katanya kalian sudah seminggu tidak bertemu?"

"Iya aku sibuk, ada simposium di luar kota, baru kemarin pulang."

"Harusnya begitu pulang kamu menemuinya, kaliankan tinggal di apartemen yang sama."

"Beda tower, beda lantai, tidak bisa dibilang dekat, Mam."

Pramusaji datang mengantarkan pesanan Bisma. Untuk sesaat Bisma fokus pada kepulan uap dari cangkir teh yang secara samar meruapkan aroma melati. Sungguh ia tidak ingin lagi mendengar Maminya berbicara mengenai hubungannya dengan Mia. Ia tidak suka Mami ikut campur dan serba mau tahu.

Mami memandangnya penuh selidik ,"Kalian lagi berantem ya?"

Bisma mengangkat alis,"Kami baik-baik saja, Mam." Hubungannya dengan Mia memang baik-baik saja, walaupun tak semulus jalan tol. Sesekali berbeda pendapat, ada beberapa pandangan hidup yang berbeda tapi semua masih bisa ditoleransi. Sampai beberapa minggu lalu, Mia mengatakan kalau salah satu investor klinik kecantikan yang dikelolanya adalah Ibunya.

"Ya Tuhan, Bis, aku kaget lho waktu tahu ibu bos itu ibumu. Kamu kok nggak pernah cerita sih Bis, soal ibu kandungmu," kata Mia waktu itu.

Sebenarnya ia enggan membahas masa lalu keluarganya dengan orang lain."Tapi sekarang kamu sudah tahu kan dari Mami?" Mia nampak senang dan antusias dengan hal ini.

Ia hanya sebatas tahu jika ibunya memiliki klinik kecantikan yang tersebar di beberapa kota besar. Tanpa ia duga, Maminya mulai ikut campur dalam hubungan mereka. Mengirim pesan yang isinya menyarankan untuk menjual apartemen dan mencari rumah karena harga rumah cepat naik. Menanyakan apakah ia sudah bertemu keluarga Mia dsb.

"Kalau kamu kelak menikah dengan Mia, cabang klinik kecantikan Mami yang di Bintaro, sahamnya Mami kasih buat kalian, jadi klinik itu full untuk kalian. Hitung-hitung sebagai hadiah perkawinan kalian." Jika tawaran itu ia terima artinya ia mengikatkan diri seumur hidup pada Ibunya.

Lain waktu Maminya berpesan,"Mami suka kain tenun yang kamu kasih ke Mia oleh-oleh dari Lombok, tapi Mia itu lebih cocok pake warna terang." Ini benar-benar mengganggu terlebih pesan-pesan itu datang dalam waktu kapan saja. Bisma akhirnya mengabaikan pesan-pesan itu.

"Tahun ini usiamu 31 Bis, waktunya serius memikirkan kapan melamar Mia." Suara Mami membuyarkan lamunan Bisma.

Bisma mengatupkan bibirnya rapat-rapat terlebih untuk menahan emosinya. Jika dirinya tahu pertemuan ini hanya akan membicarakan hubungannya dengan Mia, ia tidak akan datang. Sejujurnya ia belum memikirkan ke arah sana karena ada berbagai pertimbangan selain ia merasa perlu jeda waktu untuk diri sendiri, setelah kurang lebih 12 tahun waktunya dihabiskan untuk sekolah.Ia baru merampungkan  pendidikan spesialisnya enam bulan lalu. Pendidikan yang menguras waktu, tenaga dan keuangannya karena beasiswa tidak mencover biaya pendidikannya 100 %.

"Apa lagi sih Bis yang kamu cari? Pekerjaan kamu sudah cukup baik. Gajimu pasti cukup. Apa yang kurang dari Mia, cantik, pintar, nggak neko-neko, mandiri, dari keluarga baik-baik."

"Kriteria itu juga yang ada di diri Mami tapi kenapa pernikahan Mami dengan Papa gagal, bahkan Mami tega meninggalkan kami."


Wajah Mami berubah tegang. Lalu hening. Rasa bersalah merayapi Bisma terlebih begitu ia melihat mata Mami berkaca-kaca. Tapi di sisi lain ia lega sudah melontarkan satu dari sekian pertanyaan dari masa lalu yang selalu memenuhi benaknya.

"Aku minta maaf, Mi. Ini sudah malam, kita sama-sama perlu istirahat. Aku pulang, salam untuk om Hans."

Jam menunjuk di angka 11 ketika Bisma keluar dari lobi hotel, menembus jalanan kota yang lenggang. Ia mampir di sebuah coffee shop berharap segelas kopi hangat melarutkan semua perasaan yang membuat kepalanya penat, misinya untuk mengurangi kafein malam ini gagal. Kalau saja tidak bertemu dengan Maminya, saat ini ia sudah tidur dengan pulas di kamarnya dengan tenang.

Bisma tengah menyesap kopi ketika telepon di sakunya bergetar.

"Halo Dok? Posisi di mana?" tanya suara di sebrang sana.

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang