Bab 6

93 14 1
                                    

Makasih yang sudah baca cerita ini....


Perlu waktu hampir setengah hari sampai Frans akhirnya menemukan orang yang bersedia menjadi pengacara Sarah dan mengeluarkannya dari kantor polisi. Menghubungi beberapa kenalan pengacara yang tidak lain karyawan Papanya di kantor hukum miliknya, meminta rekomendasi jika ada kolega mereka yang bersedia. Karena menurut hukum yang ia pahami selama kuliah, seorang saksi pun membutuhkan pengacara karena saksi belum tentu paham hukum.

Jika Sarah terbukti bersalah melakukan penusukan, lebih membutuhkan seorang pengacara. Tapi ia yakin Sarah bukan pelakunya keyakinan itu pula yang ia jaminkan pada bang Lubis. Keyakinan yang berlahan mulai goyah mengingat ia sebenarnya tidak terlalu mengenal Sarah. Ia baru mengenalnya kurang lebih satu bulan lalu. Sarah yang lebih banyak diam dengan ekspresi wajah datar. Ia teringat kejadian di suatu malam, malam yang juga menjadi awal perang dinginnya dengan Sarah. Malam itu mereka manggung di sebuah coffe shop, Café Senja, membawakan lagu-lagu sesuai tema yang diminta pihak Café yang mengambil tema tribute to Beatles

Selesai tampil, turun dari panggung, seorang pengunjung meraba bokong Sarah, begitulah yang ia dengar, karena ia sendiri tidak melihatnya. Yang ia saksikan adalah ketika Sarah menarik kerah baju seorang lelaki dan tangan kanannya mengepal hendak meninju wajah lelaki itu.

Ia melihat raut kemarahan tergambar diwajah lelaki itu, giginya gemertak dan wajahnya mendongkak dengan sikap menantang dengan sinis.

"Apa? Mau lebih?" lelaki itu tersenyum mengejek. Suaranya cukup lantang sehingga beberapa orang yang dekat dengan tempat  kejadian menoleh. Detik berikutnya Sarah meninju rahang lelaki itu dan menghentakkan kerah baju yang dipegangnya. Bukan hanya lelaki itu yang terkesiap kaget juga semua yang melihat kejadian itu.

Lelaki itu maju dengan tinju yang siap dilayangkan. Reflek ia menarik Sarah mundur dan menengahi perkelahian itu,"Sorry Bro, kita selesaikan dengan damai. Gue minta maaf atas nama teman gua ini. "

"Apa? Lo meminta maaf untuk gue? Seharusnya dia yang meminta maaf," teriak Sarah. "Kamu sama brengseknya." Telunjuk Sarah mengarah ke wajahnya, ia tercekat, harga dirinya terhempas. Rasa malu dan marah bercampur jadi satunya terlebih saat itu pengunjung coffee shop mulai mengerumuni keributan itu.

Lalu sekuriti datang dan dengan tegas membubarkan kerumuman. Ia, Sarah dan lelaki itu dibawa ke sebuah ruangan, pihak café meminta diselesaikan secara damai.

"Dia benar, kau berengsek, harusnya kau menuntut pria itu meminta maaf pada Sarah,"kata Alin dengan kesal.

"Masalahnya kan gue nggak menyaksikan krologinya."

"Itulah pentingnya bertanya agar tidak tersesat," ujar Alin.

"Gede juga ya nyalinya si Sarah, dia yang berantem gue yang deg-degannya setengah mati," ujar Rudi.

Sejak itu Sarah bersikap sinis dan tidak segan menunjukkan sorot mata tidak suka terhadapnya.

Tapi dia tidak mau pusing toh pertemuan mereka sebatas pekerjaan. Lagi pula ia tidak suka berurusan dengan perempuan keras kepala dan sombong seperti Sarah. Tapi sejujurnya, di lubuk hati terdalam kejadian itu masih menyisakan rasa sesal hingga kini karena pelecehan seksual adalah hal yang tidak bisa ditolerir. Menyentuh perempuan karena kesepakatan atau atas dasar suka sama suka, berbeda dengan tanpa ijin.

Mungkin kejadian penusukan ini bisa jadi kesempatannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Sarah.

Frans melirik jam tangannya, 30 menit sudah berlalu sejak bang Lubis keluar dari mobil dan masuk ke kantor polisi. Ia menoleh ke arah pintu masuk kantor, yang terlihat dua polisi muda, mungkin seusianya keluar dari sana disusul petugas kebersihan, itu terlihat dari pakaian dan sapu yang dibawanya.

***

Orangtuamu sudah datang," sebuah suara membuat Sarah mengangkat wajah. Petugas yang tadi mengantarnya berdiri di ambang pintu. Tertulis nama Wisnu di seragamnya.

Gawat, siapa yang mengabari tantenya? pikir Sarah. Ia beranjak dari kursi mengikuti langkah pak Wisnu.

Sampai di sebuah ruangan, petugas memintanya duduk di kursi panjang yang menempel di dinding samping pintu. Tak jauh darinya, di depan meja seorang lelaki dengan setelen licin jas hitam tengah berbincang-bicang dengan petugas lalu menandatangani sebuah berkas di meja. Rambutnya yang kelimis tersisir rapih ke belakang menyentuh kerah jas. Celana dan jas yang dikenakannya nampak kebesaran atau karena tubuhnya yang kekurusan. Orang yang tidak dikenalnya.

Lalu lelaki itu menoleh, memberinya isyarat untuk mendekat lalu menunjuk berkas yang harus ditandatanganinya.

Sarah tidak langsung menandatangi berkas itu, ia merasa harus membacanya. Ya bagaimana jika isinya malah membuatnya jadi terlibat masalah lebih jauh.

"Sudah aku baca, tinggal tanda tangan. Aku pengacaramu."

Pengacara? Apa para petugas mengira ia pelakunya sehingga butuh pengacara?

"Kalau saya tidak mau menandatangani?"

"Kau tidak bisa pulang." Logat medannya begitu kental.

"Tapi bukan saya pelaku penusukan itu."

"Memang bukan, kau hanya sebagai saksi. Ini hanya pernyataan bahwa kau bersedia dimintai keterangan dan jadi saksi jika diperlukan selama penyelidikan kasus ini berlangsung atau sampai pelaku ketemu."

"Kalau saya menolak?" Ia benar-benar tidak mau berurusan lebih lama dengan petugas termasuk sebagai saksi.

"Kau bisa dikenai pasal menghalangi penyelidikan."

Dengan bibir cemberut dan gerakan enggan Sarah menandatangi berkas itu.

"Saya bisa pulang sekarang?'

"Ya, mana barangmu?"

"Tidak ada."

Lelaki kelimis berjas itu menyerahkan berkas pada lelaki berpakaian seragam di meja sebrang sambil mengucapkan terima kasih.

"Namaku Lubis. Panggil saja bang Lubis," katanya saat mereka berjalan keluar gedung kantor petugas, tangannya terjulur diiringi senyum lebar yang jenaka, kontras dengan suara dan mimik wajahnya yang keras.

"Sarah. Terima kasih, Bang." Sarah menghela nafas lega.

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang