Obat pereda nyeri tidak benar-benar menghilangkan rasa nyeri hanya memperkecil intensitas rasa nyeri. Kepalanya masih pusing, betisnya masih menimbulkan denyut kesakitan, dahinya perih, jemari tangannya sakit. Hari ketiga berada di rumah sakit ini, dokter belum mengijinkan ia dijenguk keluarga atau teman dengan alasan kondisinya belum stabil. Hanya bang Lubis dan Frans yang diijinkan menjenguk karena mereka pengacaranya.
iPad yang dipinjamkan Frans kemarin cukup membantu mengatasi kejenuhannya. Ia menonton bisa film atau membuat sketsa.
Suasana hatinya membaik dan terkendali setelah sesi konseling dengan dokter Rosi. Ia pun bisa tidur nyenyak. Ia tahu itu karena salah satu pengaruh obat penenang yang diresepkan dokter Rosi. Ruangan VIP yang baru ditempatinya pun cukup membantu membuatnya nyaman. Ya pagi tadi suster memindahkan ruang rawat inapnya, dari ruangan yang berkapasitas dua orang ke ruang VIP, katanya atas permintaan kuasa hukumnya. Dan ia bisa menduga pasti itu ide Frans.
Sebuah ketukan di pintu membuat Sarah mendongkak dari iPadnya. Pintu terkuak, Frans muncul sambil tersenyum. Tangannya menjinjing sebuah kantung belanja berlogo brand sebuah roti. Dia mengenakan kaos putih dengan jaket dan celana denim. Rambut gondrong yang menutupi tengguknya dibiarkan tergerai dan nampak masih basah. Wajah tampan, tubuh proporsional, rahang tegas memberi kesan manly membuat dia selalu nampak menarik apapun pakaian yang dikenakannya. Sebagai perempuan normal tentu saja ia terpesona. Andai ia tidak melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Frans bergaul bebas dengan banyak perempuan, mungkin ia akan membiarkan dirinya jatuh cinta pada Frans.
"Hai, Sa." Frans meletakkan tas belanja di meja lalu menghampiri Sarah. Duduk di kursi yang ada di samping bed bersamaan dengan itu Sarah mencium wangi sabun yang menguar.
"Frans terima kasih kamarnya walaupun sebenarnya itu nggak perlu. Gue jadi nggak enak hati."
"Sa, yang gue lakuin ini belum seberapa dengan apa yang lo alami ."
"Berhenti menyalahkan diri sendiri Frans. Ini semua sudah di luar kendali lo. Lo udah berusaha maksimal melindungi gue."
Frans menghela nafas.
Dari ekspresi wajah yang ditunjukkan Frans, Sarah tahu jika Frans masih merasa yang menimpanya adalah kesalahan dia.
"Kalau lo terus merasa bersalah gue yang tidak bisa tenang Frans."
"Ok, kita tidak perlu membahas itu lagi. Kita sudah impas," ujar Frans sambil mengulurkan tangan.
Sarah mengangguk dan membalas jabat tangan Frans.
"Frans, gue takut. Apa setelah ini semuanya akan baik-baik saja?"
"Tentu saja Sa." Frans mencondongkan tubuhnya, ditatapnya Sarah lekat-lekat seolah dengan cara itu ia bisa meyakinkan Sarah. "Tinggal selangkah lagi semuanya selesai. Pelakunya sudah tertangkap, mereka dikenai pasal berlapis. Setelah kamu sembuh dan kasus ini selesai, hidupmu kembali normal."
"Kamu yakin?" Sarah menurunkan pandangannya, Frans membuatnya jengah.
"Tentu saja," tegas Frans. Dengan ragu tangan kanan Frans terjulur ke atas kepala Sarah, ketika Sarah tidak memberi reaksi dengan memelototi , Frans menyentuh rambut Sarah, lalu dengan tangan sedikit bergetar diusapnya rambut Sarah. Ada banyak kata yang ingin ia ungkapkan, ada banyak janji yang ingin ia ucapkan tapi semua seperti tersangkut di tenggorokannya. Sayangnya momen yang dirasanya romantis itu hanya terjadi sesaat karena menit berikutnya Sarah berkata,"Frans awas lo kalau macam-macam."
Frans terkekeh,"Gue nggak pernah lupa dengan ancaman lo." Sebenarnya ia ingin sekali berkata,"Gue sayang banget sama lo, Sa." Tapi lidahnya kelu untuk mengatakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Run To You (Completed)
General FictionKisah kriminal yang dibalut cerita romantis atau kisah romantis yang dibalut cerita kriminal, yang penasaran baca aja ya.... Bagi Sarah kehidupannya saat ini adalah segera menyelesaikan kuliah sambil mencari uang dengan maksimal agar bertahan hidup...