Bab 4 Visum

116 13 1
                                    

Lorong yang menghubungkan dua sayap gedung bagian belakang itu selalu nampak senyap, pun di siang hari. Hanya petugas kebersihan yang rutin melaluinya pada pagi dan sore hari. Lorong itu memang lorong yang buntu, lorong yang menghubungkan sayap gedung rawat inap, kamar jenazah dan laboratorium forensikyang terletak di ujung. Tidak setiap hari kamar itu terisi jenazah kalaupun terisi umumnya tidak sampai 12 jam, jenazah akan diambil keluarganya.

Hanya segelintir dokter dan perawat yang sesekali terlihat beraktivitas di sana, diantaranya dokter Bisma, seorang dokter forensik muda, bertugas di sebuah rumah sakit umum swasta milik sebuah universitas yang memiliki jurusan kedokteran. Jadi selain sebagai dokter yang praktik di RS, ia juga mengajar di universitas tersebut. Ia tidak pernah membayangkan jika akhirnya memilih jadi dokter forensik. Saat memutuskan kuliah kedokteran cita-citanya menjadi dokter spesialis lain yang nampak keren dan menghasilkan banyak uang, sebut saja misalnya spesialis penyakit dalam.

Ya walaupun uang bukan alasan utama saat memilih jurusan kedokteran tapi bayangan menjadi dokter sukses, terkenal, dengan antrian pasien cukup panjang, berkelebat di benaknya. Tapi garis hidup mempertemuannya dengan seorang dokter forensik senior saat ia menjalani intership di sebuah rumah sakit. Bermula dari obrolan di kantin rumah sakit, saat ia tidak sengaja duduk semeja. Dari obrolan basa-basi di mana kuliah kedokterannya, bagaimana kesannya menjadi dokter koas sampai tawarannya untuk mampir ke tempat praktiknya.

"Mampirlah kalau ada waktu kalau kamu penasaran." Jadilah suatu pagi sehabis jaga malam, ia berpapasan di lorong dengan dokter Danuardja. Ia memberanikan diri menyapa, mengingatkan percakapan mereka tempo hari.

"Bisa, tapi benarkan tugasmu sudah selesai?"

"Sudah, Dok, semalam shift  terakhir, jadi hari ini ya libur."

Setengah hari itu dengan menahan lelah, ia melihat dan mendengarkan 'kuliah' umum mengenai kedokteran forensik secara detail dengan contoh studi kasus yang pernah menjadi headline berita nasional.

Ilmu kedokteran forensik menggelitik rasa penasaran dan keingintahuannya lebih dari yang ia duga, bagaimana sesosok mayat hanya dari sebuah tusukan, satu pukulan atau satu tusukan jarum bisa mengungkapkan sebuah kasus yang besar. Ini mengingatkannya pada buku-buku detektif seperti Sherlock Holmes,  Agatha Cristie yang dibacanya saat remaja atau film seri CSI

Menangani 'pasien' yang membutuhkan analisa forensik di rumah sakit swasta  seperti ini tidak sesibuk di rumah sakit polri seperti yang ia rasakan saat jadi dokter residen, jadi bisa lebih detail dan memiliki waktu lebih cukup saat meneliti penyebab kematian seseorang. Dan yang terpenting tanpa intervensi beragam kepentingan.

Seperti malam menjelang pagi ini, korban penusukan dari ruang IGD diantarkan ke sini dan polisi meminta keterangan penyebab kematian lebih pasti. Kabarnya penusukan terjadi di sebuah kelab malam.

"Malam, Dok,"sapa seorang perawat dan seorang dokter residen begitu Bisma masuk ke  ruangan lab. forensik.

"Malam," jawabnya, ia bergegas menuju meja yang terletak di sisi kanan ruangan, mengeluarkan sarung tangan medis dan mengenakannya.

"Gimana, Don?" tanyanya pada dokter residen yang tengah memegang iPad.

Dokter residen yang dipanggil Don berperawakan kecil, bahasa tubuhnya memperlihatkan sikapnya yang gesit, dia menyerahkan berkas di tangannya yang tak lain sebuah form hasil pemeriksaan. Bulan keempat 'mengikuti' dokter Bisma dia mulai terbiasa dengan kamar aktivitasnya  tapi bukan tanpa merasakan bulu kuduknya meremang ketika memasuki ruangan, itu sebabnya ia selalu meminta Pak Jat, perawat senior yang bertanggung jawab di sini menemaninya.

Bisma meminta perawat membuka kain yang menutup tubuh korban. Sesosok lelaki muda terbujur kaku di sana, masih dengan pakaian lengkap. Bercak darah memenuhi bagian depan tubuhnya, di bagian dadanya terdapat luka yang terbuka, menampakkan bagian daging yang terkoyak. Darah disekelilingnya mulai mengering.

Ia menduga usia lelaki muda ini awal 20-an. Beberapa gigi depannya yang menghitam karena karies menandakan dia seorang perokok. Bau alkohol masih tercium. Mati di usia problematik dengan cara yang sama problematiknya.

Lalu pandangan Bisma beralih pada berkas di tangannya, memeriksa sampel apa saja yang sudah diambil Don sebelum kedatangannya.

"Pemeriksaan darah selesai sekitar 30 menit lagi Dok." Terang Don tanpa diminta.

Bisa mengangguk, masih menekuri berkas di tangannya, mencocokan data di kertas dan hasil pengamatannya.

"Ada temuan jejak di sekitar lukanya? Mungkin nanti dibutuhkan pihak kepolisian jika dilakukan penyelidikan lanjutan. Sidik jari dan lain-lain."

"Sudah Dok."

Bisma membungkukkan tubuhnya, mengamati kedalaman luka. Satu tusukan dalam, besar dan tak beraturan, kemungkinan korban ditusuk dan dirobek.

"Jantungnya kena ya?" mengkonfirmasi penglihatannya pada dokter residen yang berdiri di sampingnya. "Pak Jat, bisa ambilkan pinset?"

Bergegas pak Jat menuju laci meja dimana peralatan bedah tersimpan, ia mengambil pinset dan menyerahkannya pada Bisma.

Dengan pelan dan hati-hati, Bisma menggeser bagian dada yang terkoyak hingga terbentuk luka menganga di bawahnya lalu mengarahkan senter ke dalamnya.

"Berapa centi, Don?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya.

"Delapan senti dan merobek jantungnya."

"Sudah jelas ya ini penyebab utama kematiannya."

"Ia Dok."

"Pelaku sepertinya orang yang paham cara menggunakan belati, tenaganya juga cukup kuat mendorong belati hingga sedalam ini dengan satu kali tusukan." Di bawah lampu operasi Bisma masih mengamati sobekan di dada korban, membuat beberapa analisa di benaknya.

"Satu lagi Dok, pelaku sepertinya menggunakan tangan kiri untuk menusuk."

"Maksudmu pelaku kidal?"

"Ya terlihat dari posisi belati dan sayatannya."

Bisma mengamati kembali luka tusukan itu, mencocokan dengan keterangan yang diberikan Don. Mengetahui secara pasti menyebab kematian penting walaupun melalui visum luar, terlebih ini adalah kasus pembunuhan, surat laporan kematian menjadi sangat penting sebagai barang bukti jika kasus berlanjut ke pengadilan.

"Sudah ada info kapan keluarga korban akan ambil jenazahnya?"

"Katanya orangtua korban di luar kota jadi masih dalam perjalanan."

Bisma mengangguk-ngangguk, lalu memberi perintah pada perawat untuk memasukkan jenazah ke ruang pendingin jenazah. Ia tidak tahu apa pihak keluarga dan kepolisian nanti meminta otopsi atau tidak, jadi pilihan menyimpan jenazah di ruang pendingin untuk pengawetan lebih 'aman' dibanding disuntik formalin. 

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang