Bab 19

68 8 1
                                    

Sarah meluruskan kaki kanannya, posisi kaki seperti ini lebih nyaman walaupun masih menyisakan denyut sakit. Tak terasa sudah 1/2 jam ia di sini menunggu antrian terhitung sejak mengantri di meja pendaftaran, punggung mulai terasa pegal seperti juga matanya karena menghabiskan waktu dengan menatap layar ponsel. Sarah memasukkan ponsel ke tasnya dan memejamkan mata, bukan karena mengantuk tapi karena matanya sepet.

Tak lama namanya dipanggil. Seperti terapi sebelumnya, ia ketiduran saat terapi. Selesai terapi ia menuju tempat pembayaran di lantai dasar dan kembali mengantri. Sarah melongokkan kepalanya ke arah lorong yang menghubungkan lobi dan ruang pembayaran. Dari pesan WA yang diterimanya tadi, Bisma mengabarkan kalau dia akan  sedikit terlambat,  nyatanya  sudah satu jam ia di sini dan Bisma belum datang. Ia berharap Bisma segera datang dan membayarkan tagihan terapinya. Bukannya ia tidak tahu malu, tapi mengeluarkan uang untuk kebutuhan selain makan dan sekolah cukup berat saat ini. Mengingat ini rumah sakit swasta kelas menengah tak heran jika terapi saja, tanpa tatap muka dengan dokter dan obat, biayanya  300 ribuan. Perasaan tidak ikhlas membayangkan kehilangan uang 300 ribu rupiah membuat perutnya mulas.

Sarah menghela nafas, dikeluarkannya buku notes kecil dan pensil dari ranselnya. Ia membuat coretan-coretan kasar membentuk sketsa sebuah ruangan. Coretannya terhenti saat namanya di panggil melalui pengeras suara. Dengan tergesa Sarah bangkit menyeret ranselnya, baru beberapa langkah notes yang dikepitnya jatuh. Saat membungkuk hendak mengambil, tangan lain sudah mendahului, dengan cepat ditariknya notes kecil itu, secepat ia berdiri. Pemilik tangan itu memiliki postur tubuh yang tinggi tanpa menengadah ia hanya bisa melihat kancing kemeja bagian atasnya.

"Hei!" sapa Sarah tanpa sempat menyembunyikan keterkejutannya saat menengadah matanya bertemu mata Bisma. Sarah buru-buru menurunkan masker ketika dilihatnya Bisma menatap dengan kening berkerut karena tidak mengenalinya.

"Eh hei. Maaf aku terlambat. Biar aku yang urus pembayarannya," Bisma menadahkan tangan meminta bukti pembayaran yang dipegang Sarah.

"Terima kasih." Sarah menyerahkan bukti pembayaran sambil tersenyum, dengan tertatih menjejari langkah Bisma menuju meja pembayaran. Bagaimanapun ini membuatnya lega karena ia tidak jadi kehilangan uang sebesar 300 ribu.

"Kamu duduk saja biar aku yang urus." Bisma mengibaskan lengan tanpa menoleh.

Seketika suasana hati Sarah berubah. Ia tersinggung dengan cara Bisma mengibaskan lengan dan bicara tanpa menoleh. Apa Bisma kira ia mau bergenit-genit karena memberinya senyuman. Harusnya ia menolak tawaran terapi Bisma atau menolak Bisma membayar tagihan terapinya. Baiklah ini akan jadi terapi terakhir, kalaupun nanti ia merasa membutuhkan terapi akan melakukannya sendiri, tekad Sarah. Ia lupa rasa mulas kehilangan 300 ribu rupiah yang tadi dibayangkannya. Mungkin Bisma merasa direpotkan karena harus bertanggung jawab dengan cideranya. Pasti mba Sinta atau Bu Astin yang memaksa Bisma untuk menanggung biaya terapinya sampai sembuh total.

"Aku antar kau pulang," ujar Bisma setelah melakukan pembayaran, duduk di samping Sarah.

"Tidak usah Om, saya bisa pulang sendiri," tolak Sarah.

Bisma mengangguk lalu menoleh,"Besok atau lusa bisa terapi? Mungkin dibutuhkan 1 atau dua kali lagi terapi. Besok aku bisa menjemputmu sehabis magrib."

Tentu saja bisa, sejak kegiatan kuliahnya dibekukan sementara, ia punya banyak waktu kosong. "Saya bisa sendiri Om jadi waktunya disesuaikan dengan kegiatan saya."

"Ok." Bisma sedikit membungkukkan badan sehingga kepalanya sejajar dengan Sarah dan menatap Sarah  dengan intens sambil tersenyum tipis. Untuk sesaat pandangan keduanya bertaut. Sarah bisa dengan jelas melihat alis mata Bisma yang tebal, mata coklat di balik kacamatanya dan rambut-rambut halus di dagu Bisma. Sepertinya rambut Bisma lebih panjang dari yang terakhir dilihatnya, bagian depan rambutnya yang belah tengah menutupi keningnya. Sarah juga bisa melihat guratan tulang rahang Bisma yang tegas. Ia mencium parfum lembut namun maskulin yang digunakan Bisma.

Kaca mata dan potongan rambut baru Sarah membuatnya terlihat berbeda, lebih rapih, tanpa rambut yang menjuntai secara acak dipelipisnya karena terlepas dari ikatannya, dan entah bagaimana kacamata itu membuat Bisma merasa dejavu. Sarah mengingatkannya pada seseorang yang entah siapa dan di mana.

"Kacamata baru?"

Pertanyaan Bisma menghentak kesadaran Sarah, buru buru ia memalingkan wajah yang kini terasa memanas. Garis wajah Bisma masih melekat di benaknya, bahkan kini tampak lebih detail, perasaan hangat menjalari tubuhnya. Ya Tuhan ini pasti pengaruh hormone PMSnya. Hormon yang bisa merubah perasaan dengan tiba-tiba dan kadang tak terkendali seperti saat ini.

"Iya." Lalu dengan tergesa dimasukkannya notes dan pensil ke dalam ransel."Saya duluan ya Om," pamit Sarah lalu menyeret langkahnya yang terpincang-pincang dengan tergesa tanpa menunggu jawaban ya dari Bisma, ia khawatir Bisma mendengar jantungnya yang berdetak kencang.

Bisma termangu di tempat duduknya, kenapa pertemuannya jadi sesingkat ini? Padahal ia ingin mengetahui perkembangan cidera di kaki Sarah, bertanya tentang keluhan yang dirasakannya . Tapi sikap defensive Sarah yang tiba-tiba membuatnya enggan mencegah kepergian Sarah.

Bisma memperhatikan langkah Sarah yang menjauh. Cara berjalan Sarah sudah lebih baik dari terapi sebelumnya, Sarah hanya sedikit menyeret kaki kirinya yang tertutup kulot bermotif etnik sepanjang betis. Sejujurnya ia takjub, bagaimana Sarah tetap melakukan aktivitas dengan kondisi kaki sakit, tetap mengajar les keponakannya dan mungkin ke kampus – ia tahu dari Sinta jika Sarah kuliah tingkat akhir. Dari caranya menggigit bibir, wajah lelah dan pucat, ia tahu Sarah menahan rasa sakit. Itu membuat rasa bersalahnya bertambah terlebih saat terapi dia datang terlambat. Pemeriksaan ke rumah sakit memang kerap menyita cukup banyak waktu, dengan rangkaian antrian meja pendaftaran, antri pemeriksaan/terapi, pembayaran dan apotik.

Bisma mengikuti punggung Sarah hingga masuk lift. Sesaat pandangan mereka beradu sebelum pintu lift tertutup.

Bisma mengalihkan tatapannya pada print out pembayaran, mengeja nama lengkap Sarah dalam hati. 

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang