Bab 26

89 9 3
                                    

Hai hai salam kenal buat pembaca semuanya. Terima kasih atas apresiasi   teman-teman dengan memberikan vote dan komen.

Maafkan kalau masih banyak typo


Setelah pertemuan dengan Bisma di rumah sakit seminggu lalu, Sarah tidak berharap bertemu Bisma lagi agar rasa tertariknya tidak terlampau jauh. Pada akhirnya Bisma akan menjadi satu dari beberapa lelaki yang ia sukai diam-diam lalu menghilang dari ingatannya, dari hidupnya. Rasa suka yang timbul karena kekaguman akan penampilan, ketampanan atau karakternya. Hal yang wajar untuk perempuan normal bukan, tertarik pada lawan jenis. Sekedar suka no hard feeling

Tapi tawaran Bisma untuk mengantarnya pulang hari ini memporak-porandakan pertahanan hatinya terlebih saat Bisma melemparkan senyum  padanya.  Senyum yang tulus dan menenangkan, begitulah yang ia rasakan. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya terasa hangat, saat bersamaan ia merasa gugup.

"Seat beltnya," Bisma mengingatkan sambil menunjuk seat belt sebelum menstarter kendaraannya. Tak lama kendaraan melaju meninggalkan halaman rumah diiiringi lambaian tangan Alisa.

Sarah memasang seat beltnya. Ia tidak pandai membuka percakapan dan tidak akan memaksakan diri dengan membuka percakapan basa-basi. Ia memfokuskan pandangan pada keramaian jalan di sekitarnya. Yang mencolok adalah jeef merah di depannya, nampak besar dan gagah, sementara kendaraan yang ditumpanginya nampak kecil. Dari menguping obrolan Frans ia jadi tahu harga jeff ini bisa mencapai 1 milyar. Kira-kira berapa penghasilan pemiliknya? Menoleh ke kanan, dilihatnya seorang ibu membonceng dua anak berseragam sekolah dasar tanpa helm. Menemukan ibu-ibu membonceng anaknya tanpa helm di sekitar jalan perumahan, ia bisa mentolerir tapi di jalan raya besar dan sepadat ini seperti menantang maut. Sarah tergidik.

"Ada apa?"

"Oh tidak apa-apa, aku hanya ngeri, ibu dan anak-anaknya tidak memakai helm di jalan sebesar ini. Banyak kendaraan besar lalu lalang."

"Kebanyakan orang kurang aware soal safety, menganggap remeh. Oh iya tiga minggu lalu kamu main musik di coffee shop ya?"

"Eh, iya. Om tahu dari mana?"

"Aku kebetulan makan di sana. Jangan panggil Om kedengarannya tidak enak. Jangan panggil bapak juga karena belum bapak-bapak. Bisma saja."

Seperti kebanyakan orang Indonesia, ia dibesarkan dengan tata krama dan sopan santun berbahasa, jadi merasa bersalah jika memanggil orang yang usianya lebih tua tanpa embel-embel.

"Selain main di sana biasanya main di mana lagi?"

"Kadang acara wedding, mall, acara kantor, ulang tahun, tergantung permintaan."

"Dalam kota?"

"Selama ini kebanyakan sekitaran Jabodetabek. Tapi kami menerima tawaran di luar kota tambahannya fee untuk penginapan dan transport."

"Mungkin Om, maksud saya Mas Bisma, mau memakai jasa kami untuk pernikahan atau acara tunangan." Sebenarnya ini bukan murni penawaran tapi rasa ingin tahu soal status Bisma. Ya Tuhan kenapa ia jadi sekepo ini. Dan akhirnya ia memilih embel-embel mas dari pada Ka atau abang seperti ide yang pernah dilontarkan Alin.

"Biasanya berapa biayanya?" Ehm, jadi sepertinya Bisma baru berencana tunangan, masuk akal karena di jarinya belum ada cincin. Alasan kuat untuk mengubur perasaan sukanya. Sarah bersyukur Bisma berbicara tanpa menoleh padanya karena pandangannya fokus pada kepadatan jalan raya di depannya. Keadaan ini mengurangi kegugupan Sarah.

"Untuk detail biaya langsung ke manager kami," Sarah mengeluarkan kartu nama dari saku tasnya lalu meletakkannya di dashboard. Bisma meraihnya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya tetap memegang kemudi.

"Acara kantor juga bisa."

"Kudengar dari mba Sinta kamu kuliah. Apa tidak mengganggu kuliahmu."

"Kuliah saya hampir selesai."

"Aku kira kalau pemain piano klasik tidak bisa main keyboard lho."

"Prinsipnya sama saja sih Om, kalau dipelajari bisa." Sejujur ia memang lebih suka musik klasik atau instrument sayangnya pasar itu terlalu sedikit. Dulu ia bisa idealis memilih musik hanya yang ia sukai. Sekarang semua dipilih berdasarkan kebutuhan, bukan soal suka atau tidak suka. Ia belajar keyboard secara otodidak, belajar dari youtube dan media sosial karena basic nya piano klasik.

Sarah menarik nafas lega ketika akhirnya kendaraan sampai di depan pagar rumahnya. Sungguh tidak mudah bicara dengan nada setenang mungkin sementaranya jantungnya berdebar tak karuan dan rasa gugup melingkupinya. Permainan perasaan yang tidak bisa ia kendalikan.

"Terima kasih banyak Om, eh mas Bisma." Sarah melepas seat beltnya.

"Aku ingat pernah kemari diajak ayahmu menemani main catur." Ucapan Bisma membuat Sarah menghentikan gerakannya menarik tuas pintu kendaraan.

"Iya Ayah suka main catur sayangnya tidak punya lawan tangguh di rumah. Ibu tidak suka catur, adikku yang paling kecil suka catur tapi dia bukan lawan tangguh untuk Ayah. Ayah kadang sengaja nongkrong di pos satpam untuk main catur dengan satpam jika libur." Mengingat itu membuat hati Sarah menghangat seulas senyum tersungging di bibir tanpa ia sadari.

"Akupun bukan lawan yang tangguh untuk ayahmu."

"Terima kasih banyak sudah mengantar."

"Oh ya Sarah, jika perlu bantuan jangan sungkan menghubungiku."

Sarah menoleh dengan kening berkerut. Kalimat itu dikatakan Bisma dengan nada penuh simpati tapi tetap saja menghadirkan rasa tersinggung, marah dan malu.

"Terima kasih tapi saya baik-baik saja," Sarah berkata dengan nada ketus, bibirnya merenggut. Ia turun dari kendaraan dan berjalan menuju pintu pagar rumah. Sarah bisa merasakan Bisma yang bergegas menyusul di belakangnya, dengan tungkai kakinya yang lebih panjang Bisma dengan cepat menyusul langkah Sarah dan kini sudah dia berdiri menghadang Sarah tepat di depan pintu pagar.

"Hey, jangan marah," ujar Bisma dengan nada penuh penyesalan. "Maksudku kita bisa berteman. Aku kenal baik ayahmu. Ayahmu teman diskusi saat aku jadi dokter residen. Aku hanya mau membalas kebaikannya."

Sarah menghela nafas, rasa tersinggungnya belum hilang. "Aku baik-baik saja dan Ayah pasti tidak mengharapkan balasan."

Sarah memalingkan wajah dari Bisma dan menjatuhkan pandangannya pada sulur-sulur pohon bunga mawar yang membentuk semak di sudut pekarangan rumahnya. Bunga mawar yang ditanam Ayahnya saat ia kecil karena Ibunya menyukai bunga mawar. Dari sebatang pohon mawar kecil dan ringkih kini batang itu sekarang kokoh dan kuat, sulurnya sudah mencapai atap carpot. Ibu akan memetik bunga-bunga itu dan menyimpannya di vas bunga.

"Sarah,"panggilan itu menghentak lamunan Sarah. Kini matanya bertemu mata Bisma dan menimbulkan reaksi tak terduga, desiran halus seperti merambati tubuhnya.

"Aku paham. Maksudku....

"Terima kasih. Sudah magrib saya harus segera masuk." Adzan magrib yang berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari situ membuat Sarah memiliki alasan sempurna untuk menyudahi percakapan ini walaupun dengan cara tidak sopan. Ya sangat tidak sopan memotong percakapan orang lain dan menyudahinya begitu saja, apa kata Ibunya jika dia tahu.

"Ya. Aku pamit pulang." Bisma berbalik, berjalan menuju kendaraannya.

Saat bersamaan Sarah merasakan hatinya senyap, seperti ada bagian di hatinya yang lepas.

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang