Jantung Sarah berdebar lebih cepat ketika kendaraan yang dikemudikan Frans tinggal beberapa ratus meter lagi dari tempat yang akan mereka tuju, kelab malam di mana penusukan terjadi.
"Jadi kita mau ke sini? Serius ?" Frans menatapnya dengan kening berkerut sebelum memutar setir ke arah kiri, berbelok masuk ke parkiran kelab malam. "Misal nih ya Sa, gue yang jadi pelaku nggak bakal gue datang ke sini lagi karena sama aja dengan bunuh diri. Tim penyidik kasus lo pasti sudah beberapa kali diam-diam ke sini." Frans bicara tanpa menoleh, ia memperlambat laju kendaraannya, matanya melirik kanan kiri mencari tempat parkir yang kosong.
"Gue ke sini bukan mencari pelaku yang wajahnya pun gue nggak tahu. Nggak banyak yang gue ingat saat kejadian malam itu, tapi gue merasa ada yang miss. Ngerti nggak lo maksud gue? Gue merasa melihat sesuatu tapi nggak yakin." Sarah menghela nafas."Kelelahan gue menghadapi kasus ini sudah mencapai puncaknya. Lo nggak tahu rasanya diminta mengulang-ngulang menceritakan kejadian yang sebenarnya lo nggak mau mengingatnya. Lo takut setiap mengingatnya. Perut lo mendadak mulas setiap menceritakannya. Kadang terpikir buat kabur, kemana aja gitu biar gue bisa hidup normal tapi kalau gue kabur ntar malah gue dikira pelakunya."
Frans menginjak rem begitu kendaraan menempati tempat yang pas di antara deretan kendaraan lain yang sudah terparkir. "Sori Sa ini semua gara-gara gue," ujar Frans dengan nada penuh penyesalan.
Sarah mengibaskan lengan,"Itu nggak usah dibahas lagi. Ayo kita masuk." Sarah membuka pintu kendaraan. Terlihat beberapa orang lalu lalang sekitar pintu masuk kelab.
"Frans janji ya, lo ga mabuk?"
"Nggak."
"Mana kunci mobil lo?"
"Buat apa?""Sini biar gue yang pegang. Kalau lo mabuk gue pulang duluan bawa mobil lo."
"Emang lo bisa nyetir?"
"Bisa tapi sim gue udah mati sejak 3 tahun lalu.""Baiklah." Dengan pasrah Frans menyerahkan kunci mobil.
"Apa kita berpura-pura menjadi sepasang kekasih?" Frans mengulurkan tangannya dengan senyum jahil.
"Tentu saja tidak." Sarah mendelik sambil mengibaskan tangan dan berjalan mendahului Frans.
Frans menjejari langkah Sarah, masuk ke kelab. Musik hingar bingar menyapa pendengaran keduanya.
Sarah dan Frans duduk bersisian di meja bar. Sarah memesan minum tanpa alkohol virgin mojito. Frans hendak memesan wine tapi Sarah mengikut lengan dan memelototinya. Akhirnya Frans memesan Mocktail non alkohol.
Lantai dansa nampak penuh. Wajah-wajah penuh suka cita menari dengan kedua tangan terangkat ke atas. DJ di atas panggung meneriakkan kata penyemangat untuk semua pengunjung menikmati setiap hentakan musik.
Sarah menyesap minumannya.
"Lo mau turun ga?"
"Nggak. Kalau lo mau turun, turun aja gue nunggu di sini. Tapi jangan lama-lama."
"Ok." Frans menghabiskan minumannya lalu turun dari kursi. Awalnya ia berniat menemani Sarah duduk di meja bar, tanpa hentakan musik, suasana di lantai dansa dan melihat beberapa orang di sana yang dikenalnya membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bergabung.
Lantai dansa terletak di tengah-tengah, mudah di akses dari sisi manapun. Kemungkinan pemuda yang tertusuk itu mengejarnya untuk mengambil ponsel atau akan menemuinya di meja bar untuk mengambil ponselnya. Lalu siapa yang menusuknya? Di mana dia ditusuk? Saat di lantai dansa atau sebelum masuk ke lantai dansa. Tidak ada yang memperhatikan saat dia berjalan gontai karena tusukan, orang mengira mabuk, terlebih dalam kondisi lampu berpendar-pendar.
Apakah dua orang itu sengaja menabraknya? Dua pria bertopi dengan wajah yang hampir tenggelam dalam topi yang dikenakannya. Ia merasa penabraknya yang terakhir memelototinya walaupun ia tidak bisa melihat matanya karena terhalang topi.
Suara tawa membuyarkan lamunan Sarah. Saat menoleh dua pria gempal baru saja duduk di stool di samping kanannya. Kedua pria itu duduk menyamping, saling berhadapan, salah satu memberi isyarat pada bartender, memesan minuman. Kemudian ia menyadari meja bar yang tadinya lenggang kini hampir semua kursinya terisi. Di samping kirinya duduk seorang perempuan semampai, mengenakan terusan pendek tanpa lengan memamerkan kulitnya yang seputih pualam, wangi parfumnya tajam, bergelendot manja pada lelaki yang berdiri di sampingnya. Sarah mulai merasa tidak nyaman. Rasanya aneh seorang diri duduk di sini dan tak melakukan apa-apa. Sarah menekuri gelasnya, ia melirik jam tangannya berharap Frans segera datang kemudian ia tertegun ketika matanya menangkap warna hitam di telunjuk pria gembal yang duduk di sampingnya. Tangan pria itu tengah mengetuk-ngetuk meja bar mengikuti irama musik. Sarah mengernyitkan kening memusatkan penglihatannya, warna hitam itu sebentuk tato bergambar abstrak. Ia merasa pernah melihatnya, bukan melihat tatonya tapi telunjuk dengan noda hitam. Ya, rasanya pernah melihatnya tapi di mana?
Jantung Sarah berdebar kencang, saat beberapa detik kemudian ia menyadari, salah satu pria yang menabraknya saat itu meletakkan telunjuk di bibirnya dan nampak penampakan noda hitam di telunjuknya. Perawakan kedua pria itu sama dengan pria yang menabraknya saat kejadian penusukan. Perut Sarah mendadak terasa mulas. Dengan hati-hati Sarah kembali melirik kedua pria yang duduk dengan posisi menyamping dan saling berhadapan. Keduanya mengenakan topi. Sarah mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas dan menghembuskan berlahan-lahan. Tentu pria ini belum tentu yang melakukan penusukan tapi mungkin dia tahu sesuatu, melihat penusukan itu...
Pelan-pelan Sarah menegakkan punggungnya, merubah posisi duduk menjadi menyamping menghadap pria itu, pura-pura mengedarkan pandangannya seolah-olah mencari seseorang tapi wajah kedua pria itu tetap tidak bisa dilihatnya dengan jelas karena topi yang mereka kenakan menutup hingga kening. .
Sebuah ide melintas di benak Sarah. Ia menunduk, meletakkan ponsel di meja, jari tangan kanannya menscrol-scrol ponsel, tangan kirinya memegang gelas soft drink yang kemudian ia miringkan sehingga isinya mengenai tangan pria itu.
Terdengar pria itu mengaduh dengan nada kaget, menoleh padanya, rahangnya terlihat mengeras, Sarah membayangkan mata pria itu melotot di bawah topinya.
"Maaf Om, saya tidak sengaja." Sarah panik mencari-cari sesuatu yang bisa melap cairan di tangan pria itu. Bartender yang menyadari keributan kecil itu menyerahkan beberapa lembar tisu. Sarah menarik nafas lega.
"Maaf Om," ulang Sarah, memberanikan diri mendongkak untuk melihat pria itu saat bersamaan ia merasakan tangannya sedikit bergetar karena ketakutan. Sarah menelan ludah, ia tidak mengira akan semenegangkan ini melihat wajah si telunjuk hitam. Wajahnya bulat dengan pipi chuby. Beberapa bintik jerawat kemerahan nampak kontras dengan kulit pipinya yang putih. Dan bibir pria itu membuat ingatannya kembali ke malam itu, bibir tebal berlekuk seksi dan mengkilat seperti habis menggunakan pelembab.
"Harusnya kau berhati-hati," katanya sambil menatapnya dengan bibir merenggut, sementara tangan kanannya melap sikunya yang terkena minuman Sarah.
"Iya Om saya minta maaf."
Pria itu tidak berhenti menatapnya, membuat jantung Sarah berdebar ketakutan. Temannya mengusap-ngusap bahu pria itu seolah-olah menenangkan. Kedua pria itu memiliki garis wajah yang mirip, bulat dengan pipi chubby, tapi entah bagaimana teman pria itu terlihat lebih tampan dan manly dibanding si telunjuk hitam.
"Iya tidak apa-apa." Temannya menggerakkan kepala seperti sebuah isyarat menyuruhnya pergi dari situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
Run To You (Completed)
General FictionKisah kriminal yang dibalut cerita romantis atau kisah romantis yang dibalut cerita kriminal, yang penasaran baca aja ya.... Bagi Sarah kehidupannya saat ini adalah segera menyelesaikan kuliah sambil mencari uang dengan maksimal agar bertahan hidup...