Bab 21

73 8 1
                                    


"Lucu juga ngeliat lo akur sama Frans," komentar Alin. Ia tengah mematut dirinya di depan cermin, mengoleskan skin care ke wajahnya.

"Apanya yang lucu?" Sarah yang tengah tiduran di sofa bed menoleh ke arah Alin.

"Kesabaran dan ketabahan Frans menghadapi sikap ketus dan galak lho. Akhirnya Frans menemukan karmanya."

Alin dan Sarah tertawa bersamaan. Mereka baru selesai latihan untuk acara manggung nanti malam di café sebuah hotel. Setiap hari rabu, ia dan Alin mengisi acara live music di restoran sebuah hotel. Kontrak yang baru didapatkannya seminggu lalu. Mereka manggung tidak selalu dalam formasi lengkap, tergantung permintaan klien. Tidak jarang hanya ia dan Alin seperti permintaan sebuah café hotel ini. Pernah juga hanya ia sendiri yaitu saat diminta menjadi pengisi musik di acara tunangan, pemilik acara hanya ingin suara piano karena katanya lebih syahdu dan intim.

"Gue emang sebel sama cowok yang suka tebar pesona kayak si Frans. Dipikirnya semua perempuan tertarik sama kegantengannya." Sarah mendengus. "Ditambah lagi gue masih kesel dengan kejadian di kelab. Dia yang mabuk dan main cewek, gue yang kena sial."

"Sebenarnya gue juga salah, harusnya gue pulang bareng lo naik transportasi online. Maafin gue ya Sa."

"Sudahlah jangan dibahas." Sarah mengibaskan lengan, ditariknya bantal kursi yang tergeletak di lantai, dijadikan alas kepala.

"Jadi tiga bulan ini lo ga ada kegiatan ke kampus donk." Alin meratakan cream skin care di wajah. 

"Gue masih mau usahain sih Lin, minta bang Lubis minta surat keterangan dari petugas dan menghadap dekan."

Alin manggut-manggut. "Ini yang gue suka dari lo, Sa, pantang menyerah."

"The power of kepepet Lin. Sebenarnya gue males urus-urus kayak gini, ribet, makan waktu." Entah bagaimana berita keterlibatannya pada malam penusukan sampai pada pihak kampus sehingga mereka meminta menyelesaikan masalah hukum alih-alih menyelesaikan tugas akhirnya. Tentu saja ia keberatan karena menunda artinya ia tidak bisa lulus semester ini dan artinya ia harus membayar uang UKT lagi. Jadi ia berusaha kuliahnya tetap lanjut dengan jaminan dari petugas dan pengacaranya jika ia hanya sebagai saksi bukan pelaku.

"Iya, sih. Semoga tetap lanjut Sa, kuliah lo jadi bisa lulus semester ini."

"Thank's. Moga lo juga nyusul gue lulus tahun ini."

"Akh gue sih santai," Alin mengibaskan lengannya."Maksimal 9 semensterlah. Mau muas-muasin masa kuliah." Alin dan Sarah tertawa.

"Dasar. Eh gue tidur ya, bangunin pas ashar." Ia memang mengantuk dan badannya terasa lemas.

"Oke." Dengan ujung mata Sarah melihat Alin masih mematut diri di depan cermin.

Baru saja Sarah terlelap, dering telepon membangunkannya."Ya Tuhan, kaget gue!"

"Telepon lo, Sa. Bisma! Siapa tuh?" tanya Alin dengan tatapan penuh selidik sambil menyerahkan ponsel yang masih berdering dan nama Bisma tertera di sana.

Sarah tak menjawab, ia memberi kode pada Alin untuk diam karena ia akan mengangkat telepon.

"Iya Om. Sudah kemarin. Tidak...Hari ini tidak bisa saya sedang di luar. Besok? Belum tentu bisa juga, nanti saya kabari.Ya."

Sarah menutup teleponnya dengan desahan kesal, Bisma memintanya untuk terapi sekali lagi sekaligus bertemu dokter untuk kontrol terakhir. Membayangkan duduk berjam-jam menunggu antrian terapi, dokter dan pembayaran membuatnya tergidik.

"Sarah, lo nggak seputus asa itu kan? Bermain api dengan om-om?" tanya Alin dengan ekspresi penuh simpatik begitu Sarah menutup telepon. 

"Apa sih Lin, ini memang Omnya murid gue."

"Oh. Tapi buat apa dia telepon lo, memangnya dia walinya murid lo? Hati hati lo Sa, ngaku bujangan tahunya beranak satu, ngaku duda tahunya LDR sama istrinya. Sori Sa, gue bukan maksud ikut campur urusan lo tapi sebagai teman gue merasa perlu mengingatkan lo."

Sarah menghembuskan nafas dengan kesal. "Dia orang yang mobilnya gue serempet. Dia nyuruh terapi biar kaki gue cepet sembuh."

"Kirain gue dia nggak tanggung jawab. Kok lo nggak pernah cerita?"

"Karena tidak ada hal menarik untuk diceritakan," jawab Sarah sambil mengangkat bahu. Ia bisa membayangkan reaksi Alin jika menceritakan pertemuan dengan Bisma, Alin akan mendramatisir dan meromatisasinya persis novel-novel romance yang sering dia baca. Ia pikir, hal konyol itu tidak akan terjadi jika Alin sudah punya pacar karena ia bisa meromantisasi kisahnya sendiri. Ingatan itu membuat Sarah tersenyum sendiri.

"Nah kan lo senyum-senyum sendiri pasti ada sesuatu."

"Lo mau tahu kenapa gue tersenyum Lin? Karena dugaan gue, lo nggak akan sekepo ini jika sudah pacar." Sarah tertawa lalu meletakkan ponsel di nakas sebelum kembali memposisikan diri terlentang di sofa bed  mencari momen rasa ngantuk  yang kemudian mengantarkannya terlelap.

"Gue suka geli aja gitu lho kalau gadis muda panggil Om sama cowok yang bukan Omnya, kesannya gimana gitu. Apa dia sudah tua? Sudah menikah?" Alin duduk di ujung sofa, menatap Sarah  penuh selidik.

"Mana gue tahu." Sarah menjawab dengan nada tak acuh. Ia memang tidak tahu dan tidak mau tahu. Tidak semua hal harus diketahui apalagi itu menyangkut urusan pribadi. Kekepoan Alin membuat Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dia bujangan tua ya, kalau masih muda sepantaran, lo nggak mungkin manggil dia Om. Kalau setua om gue dan sudah menikah lo pasti manggilnya Bapak."

"Gue nggak sedetail itu memikirkan sebuah panggilan. Kalau usianya lebih tua pasti gue panggil dengan embel-embel, Mas, Om, Bapak, Abang, ya suka-suka gue."

"Terus kenapa lo manggil dia Om?"

Sarah memutar bola matanya ke atas."Karena ponakannya panggil Om, sesimple itu Lin."

"Tapi Sa, lo kan bukan keponakannya, kenapa ikutan manggil Om?"
"Entahlah ide itu datang begitu saja. Sudah akh gue mau istirahat nih." Sebenarnya rasa ngantuknya hilang begitu telepon berdering tapi rasa lelah masih menyergapnya, jadi Sarah memaksakan diri memejamkan mata untuk beristirahat.

"Pasti ada penjelasan logis, misal wajahnya memang seperti om-om."

Sarah tidak punya kriteria atau standar seperti apa yang dimaksud berwajah om-om untuk lelaki yang usianya kisaran 30. Yang pasti ia merasa panggilan mas atau kaka rasanya terlalu akrab padahal ia dan Bisma baru bertemu. Akh sudahlah kenapa ia harus repot memikirkan soal panggilan. Sarah mengabaikan perkataan Alin, memilih meletakkan batal sofa di atas mukanya sekaligus kode untuk Alin kalau ia mau tidur, tidak bisa diajak ngobrol lagi.

"Dia tampan Sa?"

Sarah ingat debaran jantung dan desiran halus saat bertatapan dengan Bisma. Apa itu karena Bisma tampan? 

"Mungkin." Sarah menguap, dalam kelelahan dicarinya sisa rasa kantuk yang dapat meninabobokannya. 

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang