Mau donk votenya....
Bang Lubis menunjuk mobil SUV putih yang terparkir di sisi kanan, mobil yang ia hapal betul siapa pemiliknya. Frans menjulurkan kepalanya dari jendela mobil, tersenyum memamerkan deretan giginya yang tersusun rapih dan putih. Tapi Sarah tidak tertarik membalas senyumnya. Teringat ia semalam tidak tidur sementara Frans tidur pulas karena mabuknya. Tapi dalam hati ia mengapresiasi tanggung jawab Frans.
Frans membukakan pintu mobil untuknya,"Sorry ya Sa, gue telat."
Sarah menjawab hanya dengan mengeluarkan suara ehm sambil melangkah masuk ke dalam mobil . Frans kembali ke belakang setir, bang Lubis sudah duduk di sebelahnya.
"Gue minta maaf, ini semua gara-gara gue ngajak ke kelab."
Sarah tak menjawab ia hanya menghela nafas yang sebenarnya untuk menahan semua umpatan yang ingin ia lontarkan.
"Anak-anak semalam udah ke sini tapi ga bisa mengeluarin lo karena lo masih diinterogasi."
"Iya, ngobrolnya nanti aja Frans, gue mau tidur, belum tidur dari kemarin. Drop ke tempat Alin, motor gue di sana."
"Ok." Dari kaca spion Frans melihat Sarah memejamkan mata, kedua tangannya dilipat di dada.
Mobil yang dikendarai Frans membelah jalan yang padat merayap.
"Jadi kapan kau lulus kuliah Frans?" tanya bang Lubis memecah keheningan.
"Masih cuti Bang, ini semester terakhir cuti."
"Akh kau, aku tidak tanya soal cutimu tapi kapan kau lulus. Kau punya planning kan kapan mau lulus?"
"Kalau lancar tiga semester lagi."
"Kalau lancar? Harus kau buat lancarlah, itu namanya target. Punya bapak banyak duit, keenakan kau, Frans."
Frans tertawa, matanya awas menatap jalan padat merayap di depannya. Jika diingat-ingat ia memang jarang sekali memasang target dalam hidupnya, semuanya dibiarkan mengalir, karena ia berprinsip, masa muda hanya sekali jadi nikmati setiap momen, jangan mempersulit diri.
"Carilah motivator agar cepat beres kuliah."
"Maksudnya harus ikut kelas motivasi gitu Bang."
"Bukan begitu. Aku dulu suka sama calon istriku dan dia yang jadi motivasiku untuk cepat selesaikan kuliah, kerja dan nabung buat nikahin dia."
"Saya tidak berniat nikah muda Bang."
"Ya nggak harus selesai kuliah langsung nikah. Akupun kerja dulu cari uang baru nikah. Artinya kalau kau tidak bisa membayangkan masa depanmu sendiri, carilah orang yang bisa membuatmu bisa membayangkan masa depan bersamanya."
"Masalahnya Bang, setiap dekat sama cewek, aku tidak membayangkan masa depan." Frans tertawa. Ia menikmati setiap momen bersama perempuan-perempuan yang mencari perhatiannya. Rasanya malah mengerikan membayangkan masa depan dengan mereka.
"Dasar playboy kelas teri kau!"
Frans tertawa. Ia tidak tersinggung sedikitpun dengan perkataan bang Lubis yang sudah dianggapnya seperti Om nya sendiri. Ia ingat saat masih sekolah SMP dan SMA bang Lubis yang dipercaya ayahnya untuk mengurus pembayaran uang sekolah, mengambil rapot bahkan menghadap guru BP jika dirinya bermasalah. Ayah dan Ibunya terlalu sibuk untuk mengurus hal remeh temeh seperti itu.
"Berapa sih usiamu?"
"25."
"Dan masih minta uang sama orangtua?"
"Aku kerja Bang."
"Main musik? Tidak cukup membiaya hidupmu kan?"
"Iya sih," kata Frans, melalui kaca spion ia melihat Sarah yang masih tertidur, posisi tubuhnya tidak berubah, menyandar miring ke kanan dengan pelipis menempel di jendela. Ia bersyukur Sarah tertidur lelap, bagaimanapun ia tidak mau Sarah mendengar bang Lubis mengulitinya.
"Aku bukan mau ikut campur urusan pribadimu, Frans, cuma sayang dengan semua previlege yang kau punya. Tapi kalau kamu memang ingin serius di musik, seriuslah di sana, total, sampai penghasilannya bisa mencukupi kehidupanmu, jangan setengah di sana setengah di sini."
"Iya Bang."
"Sebenarnya aku ingin ngobrol soal kejadian semalam dengan temanmu secara langsung hari ini, tapi kasian juga dia, capek dan pasti masih stres itu."
"Dijadwalkan saja Bang, besok atau lusa, kalau perlu ke kantor Abang, nanti aku yang antar Sarah ke sana."
Bang Lubis mengangguk-ngangguk. "Eh kita kemana ini, kok belok ke sini?"
"Kita makan siang dulu Bang, sudah jam 11, Sarah juga sepertinya belum makan." Frans memarkir mobilnya di bawah pohon yang terletak di sisi paling kanan tempat parkir. Suasana masih lenggang, hanya dua mobil yang terparkir di sana.
"Sa, bangun Sa, kita udah sampai," panggil Frans dari balik kemudi.
"Ehm."
"Kita udah sampai."
Sarah membuka matanya yang terasa berat, melihat dari jendela mencari tahu keberadaannya. "Di mana ini?" tanyanya ketika disadarinya, ini bukan halaman rumah Alin.
"Kita makan siang dulu, lo belum makan kan?" Frans keluar dari mobilnya.
"Iya." Sarah merapikan ikatan rambutnya sebelum turun dari mobil. Ia melihat berkeliling, tempat yang rasanya pernah ia kunjungi. Resto dengan konsep kebun dikelilingi pohon-pohon ketapang yang membuat rindang, kolam ikan di sisi kanan dengan air mancur buatan yang membuat suara gemericik air. Bunga-bunga dalam pot disusun rapih, beberapa pohon anggrek menempel di batang pohon ketapang.
Sarah menuju toilet. Walaupun perutnya sudah meronta minta diisi tapi akan mengerikan jika ia makan dalam keadaan muka bantal, mulut masam dan mungkin bau keringat karena tidak mandi dari kemarin.
"Sa, mau pesan apa, biar gue pesenin," pertanyaan Frans menghentikan langkahnya yang tergesa.
"Apa aja deh tapi yang ada kuahnya ya."
Sarah tergidik begitu melihat bayangan dirinya di cermin toilet, rambutnya kusut di beberapa bagian, mata merah, kantung mata bengkak, kulit wajah kering dengan beberapa gurat bekas lipatan di pipi mungkin karena saat tidur di mobil tadi pipinya menempel di kaca. Ia melepas ikat rambutnya, menguar rambut dengan tangan lalu mengikatnya kembali. Membasuh muka dan mengeringkannya dengan tisu tangan karena tidak mungkin makan di depan orang dengan keadaan muka basah bukan. Ia juga membasahi tengkuk dan lehernya untuk memberikan efek segar.
Pesanannya sudah terhidang begitu ia sampai di meja. Sup iga yang masih mengepulkan uap hangat, sepiring nasi, sate, dan segelas es jeruk. "Thanks Frans," guman Sarah. Ia langsung menyantapnya, tak dihiraukan obrolan antara Frans dan bang Lubis. Ia benar-benar lapar dan hidangan di meja sangat menggugah seleranya.
"Lapar ya Sa, nambah?"
Sarah mendongkak dan mendapati Frans dan bang Lubis menatapnya sambil tersenyum
Sarah merasakan mukanya memanas karena malu tapi lebih memalukan terlihat malu jadi Sarah memutuskan menyeret piring sate ke arahnya,"Ya lapar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Run To You (Completed)
General FictionKisah kriminal yang dibalut cerita romantis atau kisah romantis yang dibalut cerita kriminal, yang penasaran baca aja ya.... Bagi Sarah kehidupannya saat ini adalah segera menyelesaikan kuliah sambil mencari uang dengan maksimal agar bertahan hidup...